Annisa Resmana saat membaca puisi di Perpustakaan Nasional pada acara PPN XIII. Foto: PojokTIM 

PojokTIM – Dunia telah bergerak ke arah di mana banyak hal ditandai dengan angka. Alih-alih merasa teraleniasi, Annisa Resmana justru mencoba berdamai dengan angka dan mencari keindahan di baliknya. Hal itu tercermin dalam buku antologi puisinya berjudul Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham.

“Dunia sudah sangat angka. Sebentuk statistik yang kering. Tetapi dengan intuisi dan kepekaan, kita bisa menemukan banyak keindahan di balik angka. Contohnya pasar saham,yang dipenuhi candlestick yang bagi sebagian orang membuat pusing, namun bisa aku jadikan metafora (yang indah),” ujar Annisa di sela-sela acara Pertemuan Penyair Nusantara ke-XIII (PPN XIII), di kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Jumat (12/9/2025).

Menurut Annisa, setiap orang memiliki tabungan kosakata yang dipungut dari perjalanan hidupnya. Karena sekolahnya bukan di bidang sastra, Annisa memiliki glosarium dari benda-benda yang sesuai dengan pengalaman hidupnya.

“Aku mengakrabi isu-isu sosial politik sehingga dalam puisiku terdapat banyak kosakata yang berhubungan dengan dunia politik seperti (Niccolò) Machiavelli, demokrasi dan lain-lain. Beda misal aku menggeluti tata boga, mungkin akan muncul kata-kata seperti tepung, kue dan sebagainya. Beda lagi jika latar belakang (pendidikan)-ku sastra, mungkin aku akan akrab dengan bulan, laut dan senja,” ujar Annisa yang menyelesaikan program pascasarjana pada Kajian Stratejik dan Global.

Telinga yang Tidak Dijual di Pasar Saham adalah buku antologi puisi pertama Annisa yang baru saja dibedah di PDS HB Jassin, TIM. Judul itu diambil dari salah satu puisinya yang mendapat banyak respon positif, termasuk dari sastrawan kondang Acep Zamzam Noor.

Annisa berharap, buku puisinya dibaca oleh laki-laki karena di dalamnya juga banyak bercerita tentang masalah yang dihadapi perempuan tanpa harus memberi garis tegas pada sisi gender, feminis atau maskulin.

“Saat perempuan bekerja di luar wilayah domestik, pertanyaan atau cibiran di belakang selalu tentang suami atau anak yang tidak terurus. Seolah di balik karir seorang istri ada suami atau anak yang menderita. Lucunya, hal itu tidak berlaku sebaliknya,” cetus Annisa sambil tertawa getir.

Tidak ingin larut dalam stigma berdasar gender, Annisa juga menggunakan sudut pandangan yang sama ketika laki-laki dicibir karena tidak bisa memperbaiki jendela, tidak bisa memasang bola lampu, atau tidak suka naik gunung yang kemudian dipertanyakan kejantanannya.

“Aku mencoba mendudukan persoalan sesuai porsinya. Bukan hanya dari sudut perempuan, tapi juga laki-laki karena stigma-stigma berbasis gender bukan hanya melukai perempuan, namun kadang juga kadang laki-laki,” tegas Annisa yang juga pengajar freelance pada sekolah-sekolah swadaya yang dikelola NGO dan sudah merilis 2 buku dongeng untuk anak.

Annisa merupakan salah satu peserta PPN XIII di Jakarta. Puisinya yang berjudul Pelabuhan Sorong terpilih dalam antologi Layang-Layang Tak Memilih Tangan yang diterbitkan panitia PPN XIII.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini