PojokTIM – Gerimis sore turun tepat ketika Isson Khairul bersama PojokTIM meninggalkan kawasan Taman Ismail Marzuki menuju Hotel Le Meridien di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu (29/6/20224). Ada janji bertemu dengan teman penulis dari Malang, Jawa Timur yang sedang mengikuti kegiatan Gerakan Literasi Nasional yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek.
“Merawat silaturahmi,” ujar Isson.
Ucapan yang untuk sebagian orang mungkin terdengar klise. Tapi bagi yang mengenal Isson dengan baik, tentu paham ucapan itu bukan basa-basi. Status-statusnya di dinding Facebook menjelaskan bagaimana upayanya merawat silaturahmi dan pertemanan. Langkahnya selalu ringan ketika mengunjungi teman-temannya, termasuk yang usianya jauh di bawahnya.
Tidak mengherankan persahabatannya dengan Tommy F. Awuy, Jose Rizal Manua dan tokoh-tokoh sastra lainnya yang dikenal sejak tahun 70-an tetap terawat dengan baik hingga kini. Demikian juga dengan teman-teman kuliahnya di Sekolah Tinggi Publisistik. Isson yang pernah mengelola Majalah GADIS, LISA, NooR, serta data center berbasis media massa, tidak sungkan bergabung dengan para juniornya yang masih aktif di media TV dan radio, untuk melakukan liputan peristiwa di berbagai daerah.
“Apalagi yang saya cari?” kata Isson ketika ditanya mengapa tidak mempublikasikan puisi dan cerita pendeknya seperti di era 80-an.
Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Kompasianer yang gemar menandai dan mengabadikan tempat-tempat yang disinggahi disertai caption yang menggiris hati.
Anda sangat memahami seluk-beluk Taman Ismail Marzuki (TIM). Bukan hanya tempatnya namun juga orang –orang yang berkegiatan di dalamnya. Dari mana Anda mendapat pengetahuan itu?
Saya masuk TIM mulai 1981. Waktu itu, TIM merupakan ruang belajar yang mahal karena kita bisa mendengarkan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) berceramah, Toety Heraty, dan tokoh-tokoh hebat dari berbagai daerah tampil di TIM. Bukan hanya seniman, tapi akadermisi dan kelompok intelektual. Kalau sekarang seperti tempat-tempat seminar berbayar yang menghadirkan pembicara-pembicara hebat. Hampir setiap minggu ada acara-acara berbobot. Diskusi teater, sastra, seni rupa, dan lain-lain. Waktu itu pusatnya di Teater Arena.
Saya ambil contoh Azril, doktor pemusik tradisional, mengajar di ISI (Institut Seni Indonesia) Padang Panjang. Hampir setiap 3 bulan sekali tampil di TIM. Demikain juga Teater Gandrik (Yogyakarta). Jadi tontonan di TIM saat itu sangat beragam dan berkelas. Ini menunjukkan pertukaran kreatifitas dari berbagai daerah sangat tinggi. TIM tidak hanya sebagai pusat kesenian Jakarta, tetapi menampung kegiatan kebudayaan dan kesenian dari berbagai daerah di Indonesia. TIM benar-benar menjadi tempat penggiat seni dan budaya belajar. Datang ke TIM benar-benar untuk cari ilmu. Itu value-nya
Bagaimana kemasan acara-acara pada saat itu?
Kegiatan yang diadakan terbuka untuk umum, tidak birokratis, karena mereka menganggap bagian dari tanggung jawab intelektual. Orang seperti Gus Dur, Toety Heraty adalah orang-orang yang berpikiran terbuka, tidak mengambil manfaat dari yang ada di TIM, dan dekat dengan kalangan seniman. Wawasan kesenian dan intelektual mereka mumpuni.
Untuk mendukung kegiatan mereka, pengelola TIM memberikan ruang dan informasi yang memadai baik ke dalam maupun ke luar. Setiap bulan ada kalender kegiatan yang menjadi panduan masyarakat, baik masyarakat Jakarta, maupun wisatawan atau mereka yang sedang ada kegiatan di Jakarta. Termasuk pada kedutaan-kedutaan besar sehingga mereka bisa merekomendasikan ketika ada warga negaranya yang sedang ada di Jakarta.
Bagaimana kondisi TIM saat ini?
Sekarang kegiatan di TIM seperti tidak terkonsep. Pengelola TIM pasrah pada siapa yang mau mengadakan kegiatan selama bisa mendatangkan penonton. Jadi abai terhadap sosok yang akan tampil dan tidak peduli pada kualitas pertunjukan.
Dulu ketika kelompok baru, belum dikenal, akan tampil di TIM, ada semacam tim penilai yang datang ke tempat laithannya, ke sanggarnya untuk melihat sejauh mana kesiapannya, dan bagaimana kualitasnya. Jadi kelompok yang akan pentas di TIM benar-benar sudah teruji. Tidak asal-asalan. Demikian juga pembicara dalam diskusi-diskusi atau seminar di TIM. Dilihat dulu apakah dia punya kapasitas, kompetensi. Apakah sudah layak atau belum dijadikan narasumber. Semua melalui penilaian sehingga wajar ketika itu TIM menjadi barometer kesenian di Indonesia.
Apa yang harus dilakukan oleh penggelola dan penggiat kesenian untuk mengembalikan marwah TIM?
Saya kira harus dimulai dari programnya. Ketika dilakukan revitalisasi, salah satu poin adalah karena keberadaannya di ibu kota. Banyak orang asing. Diharapkan orang-orang asing atau para wisatawan menjadikan kunjungan ke TIM sebagai salah satu agenda mereka dalam konteks pariwisata budaya. Jika programnya tidak terencana dengan, baik, bagaimana bisa mencapai tujuan itu?
Saya tidak menolak perubahan. Itu sebuah keniscayaan. Tetapi ada hal-hal lama yang masih relevan diterapkan ketika belum ada hal-hal baru yang dapat menggantikan. Misal, soal sosialisasi atau promosi kegiatan di TIM. Kalender TIM harus dihidupkan lagi. Hanya saja caranya yang mungkin berbeda. Jika dulu dicetak, sekarang mungkin cukup pakai brosur elektronik.
Nah, membuat program yang baik dan mempromosikannya, adalah salah satu cara mengembalikan marwah TIM sebagai ruang belajar, pusat kegiatan kreatifitas dan intelektual. Pengelola TIM harus merancang program untuk satu tahun, atau 6 bulan, yang berkualitas, memenuhi standar kompetensi. Kualifikasi dan jenisnya harus diperhitungkan seperti yang dilakukan era 80 sampai 90-an.
Ini tantangan terbesar bagi pengelola untuk mengembalikan TIM sebagai ruang belajar untukreatifitas dan intelektualitas. Jangan hanya berpkir bagaimana meramaikan, tapi abai terhadap kualitas. Tanpa pertunjukan dan kehadiran tokoh-tokoh intelektual, sulit menumbuhkan (kembali) kepercayaan masyarakat, apalagi mendatangkan respek dari para pelaku dan penggiat seni dari seluruh Indonesia.
Seberapa penting kehadiran kelompok kesenian dan dan kebudayaan dari luar Jakarta dalam kaitan mengembalikan TIM sebagai ruang belajar?
Kehadiran kelompok-kelompok seni dari luar Jakarta menaikkan reputasi TIM sebagai pusat kesenian nasional. Bukan sebatas pusat kesenian Jakarta. Kalau pengelolaannya tetap seperti sekarang, TIM bisa tergelincir menjadi ruang-ruang yang bisa disewa oleh siapa saja, di mana pengelola TIM tidak peduli dengan program dan kualitasnya. Ini sangat berbahaya, karena pada akhirnya, apa bedanya TIM dengan ruang-ruang sewa di tempat lain.
Jika kualitas pementasannya ditingkatkan, orang-orang yang tampil juga memiliki kredibilitas, apakah TIM masih menarik untuk didatangi penonton?
Lihat saja Perpustakaan Jakarta. Karena terus di upgrade baik koleksi buku, dan juga layanannya, pengunjungnya selalu ramai. Saat akhir pekan, Sabtu-Minggu, pengunjungnya ribuan. Rata-rata anak-anak muda, pelajar dan mahasiswa. Mereka bisa pesan buku yang belum ada, sebagai bagian dari cara Perpustakaan Jakarta menyerap keinginan pengunjung. Ini kan model layanan fasilitas publik yang sudah maju. Pengelola tidak hanya menyediakan, tapi juga mendengar masukan dari pengguna.
Mestinya itu juga dilakukan oleh pengelola TIM. Setelah lama stagnan karena ada revitalisasi, kemudian pandemi Covid-19, maka upaya untuk mengembalikan marwah TIM harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Salah satu tools-nya adalah program.
Contohnya, jika Kenduri Cinta-nya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) tampil di TIM, pasti penontonnya ramai. Tidak usah diapa-apakan pasti ramai. Persoalannya sekarang, bagaimana memfasilitasi atau menghadirkan kelompok seni yang setara itu. Ini tugas pengelola TIM yang harus terprogram dengan baik, bukan kegiatan sporadis karena ada yang mengajukan. Sebab jika inisiasinya bukan dari pengelola TIM, tapi dari siapa yang datang, akhirnya tidak terprogram dengan baik.
Saya curiga, pengunjung Perpustakaan Jakarta tidak tahu TIM sebagai pusat kesenian. Mereka murni sebagai pengunjung perpustakaan, bukan pengunjung TIM. Padahal mereka bisa didekati dan dirangkul oleh pengelola TIM melalui brosur, atau pemberitahuan dari ruang informasi bahwa di TIM sedang ada kegiatan ini-itu. Saya tidak melihat ada upaya ke arah itu. Mereka yang sedang berkegiatan di TIM seolah-olah berjarak dengan pengunjung perpustakaan.
Dulu, saat masih ada (bioskop) Twenty One, sebelum nonton, atau sambil menunggu jam tayang film, mereka melihat-lihat pameran lukisan, menonton acara baca puisi, atau nonton teater. Ada magnet di TIM untuk mendatangkan penonton di luar komunitas seni. Sebagian dari mereka akhirnya tahu bahwa di TIM bukan hanya ada gedung bioskop tapi juga pertunjukkan seni, diskusi dan lain-lain.
Nah, sekarang tidak ada lagi Twenty One, tapi ada Perpustakaan Jakarta yang minat pengunjungnya mungkin lebih dekat dengan kesenian, khususnya sastra. Mestinya ini kesempatan. Tetapi saya belum melihat bagaimana strategi pengelola TIM merangkul mereka, untuk menjadi bagian dari penonton TIM.
Isson Khairul bersama Sri Widyowati Kinasih, penulis dari Malang, Jawa Timur, dan PojokTIM. Foto: Ist
Apakah karena tidak ada pengelola tunggal di TIM? Seperti kita ketahui sekarang ada ada BLUD (Badan layanan Umum Daerah) di bawah Dinas Kebudayaan atau yang lebih kita kenal sebagai UP PKJ TIM, ada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan di mana di dalamnya ada PDS HB Jassin, lalu ada juga Jakpro.
Saya kira itu bukan alasan utamanya. Sejak dulu juga ada blok-blok, atau pihak-pihak yang juga memiliki kewenangan di TIM. Ada Dewan Kesenian Jakarta, ada Akademi Jakarta, ada IKJ (Institut Kesenian Jakarta, Planetarium, dan lain-lain. Tetapi semuanya menjaga citra TIM. Kalau sekarang kita tanya, siapa yang punya tanggungjawab untuk mengembalikan marwah TIM, pasti bingung. Jakpro-kah? Dinas Kebudayaan-kah? Orang luar melihatnya hanya TIM, sebagai satu kawasan, tetapi di dalamnya ada 2 atau 3 rumah yang punya manajemen serta kepentingan sendiri, dan berinduk pada tempat yang berbeda-beda. Saya kira ini yang harus segera dituntaskan agar tidak terkesan tidak ada otoritas yang memimpin di TIM. Jalan masing-masing seperti di rumah kontrakan.