PojokTIM – Ketika (kembali) “bermain” di Taman Ismail Marzuki (TIM) saya banyak mengenal nama-nama besar di bidang kesenian yang sering menjadi perbincangan di tataran nasional, semisal Sutardji Calzoum Bachri, Jose Rizal Manua, Maman S Mahayana, Putu Wijaya, dan lain-lain.
Tetapi saya tidak mengenal siapa orang-orang yang menjadi teman diskusinya, teman seangkatan yang berproses bersama, namun tidak seberuntung beliau. Namanya hilang begitu saja karena karyanya kurang mendapat publikasi, kurang mendapat perhatian publik. Padahal mungkin karya dan pemikirannya tidak kalah hebat, minimal layak dicatat sebagai bagian dari proses besar, dalam sebuah perjalanan panjang, dalam sebuah panggung besar bernama kesenian.
Saya beruntung punya teman-teman yang memberi saya banyak informasi seperti Remmy Novaris DM, Nanang R Supriyatin, Giyanto Subagio, dan lain-lain. Saya menjadi tahu, di tahun-tahun lalu, ada satu nama yang memiliki peran cukup dominan dalam proses perjalanan Yayasan PDS HB Jassin. almarhum Endo Senggono yang pernah menjabat sebagai kepala pelaksana PDS HB Jassin.
Sosok yang dekat dengan kalangan seniman dan – katanya- humble. Namun ketika saya searching di Googgle, saya tidak mendapat banyak informasi tentang Endo Senggono. Di laman kompascom tertanggal 15 Juni 2009, hanya ada pemberitahuan jika yang bersangkutan akan membedah buku karya Sastri Bakry dan Pipiet Senja. Ada beberapa lainnya, namun situsnya sudah tidak dapat diakses.
Kiprah Endo Senggono cukup menarik karena bersinggungan langsung dengan tokoh-tokoh kesenian tanah air. Bahkan sempat menjadi editor buku antologi “Maha Duka Aceh” yang diterbnitkan oleh PDS HB Jassin tahun 2005, di mana para penyair terkemuka Indonesia seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail dan lain-lain ikut menyumbangkan karyanya.
Kiprah dan pemikiran Endo Senggono pasti layak dicatat dan dibukukan sebagai bagian dari proses perjalanan kesenian tanah air, khusus di Taman Ismail Marzuki. Sayang sekali kitab tidak sempat mencatatnya.
Berangkat dari situ, saya berpikir untuk mulai mencatat kiprah, gagasan dan pemikiran siapa saja yang pernah dan sedang berkiprah di lingkungan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM. Tidak hanya mereka yang telah menjadi legend. Saya meyakini, naiknya seseorang tidak terlepas dari orang-orang di sekitarnya, teman diskusinya, pemuji dan pengkritiknya, bahkan yang menjadi “anak tangganya”.
Menurut saya semua layak dicatat. Semua layak didengar pemikirannya. Semua layak diabadikan dalam sebuah buku. Kebetulan saya memang ingin mengenal dan belajar dari mereka, sehingga tercetuslah keinginan mendirikan website bersama Pulo Lasman Simanjuntak, Nanang dan Giyanto. Dengan kemampuan seadanya, saya mendirikan website pojoktim.com
Belakangan karena ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan, Lasman pamit dari PojokTIM, dan masuklah Erna Winarsih Wiyono meski akhirnya saya suruh tidak aktif dulu karena beberapa alasan klise.
Mulailah saya mendatangi satu persatu teman-teman yang tengah berkiprah di TIM tanpa melihat berapa jumlah karyanya, berapa penghargaan yang telah didapat, Saya mewawancarai Nurhayati sampai Sutardji, mewawancara Piet Yuliakhansa sampai Jose Rizal, dari Putu Wijaya, Maman S Mahayana sampai Julia Utami.
Dari Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi sampai anggota Simpul Seni Aquino Hayunta. Dari kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jakarta Firmansyah sampai Kasatpel UP PDS HB Jassin Diki Lukman Hakim. Dari kepala Dinas Kebudayaan Jakarta Iwan Henry Wardhana sampai Kepala UP PKJ TIM Arif Rahman.
Jika ada yang layak saya ceritakan, tentu keseruan saat mewawancarai orang-orang yang memang sudah expert di bidang kepenulisan, bahkan jurnalis senior. Saya pun meminta kepada beliau-beliau ini untuk mengoreksi tulisan saya. Beberapa pasrah, lainnya cukup antusias. Terima kasih para senior Arif Joko Wicaksono, Adi Darmadji Woko, Kurniawan Junaedhie, Kurnia Effendi, Fanny J. Poyk, dan lain-lain.
Setelah puluhan wawancara itu saya unggah di pojoktim.com beberapa orang menyarankan agar dibukukan, termasuk Jose, Riri Satria, dan Imam Ma’arif. Dengan berbagai dinamika, buku itu akhirnya bisa diterbitkan oleh Penerbit Teras Budaya dengan judul “Mereka Ada di TIM: Kiprah, Gagasan dan Pemikiran”.
Sayangnya, karena untuk edisi pertama ini hanya memuat 50 wawancara, ada beberapa wawancara yang tidak dapat diikutikan. Mudah-mudahan akan saya terbitkan untuk edisi berikutnya. Mohon maaf jika dalam pemilihannya dianggap ada unsur subjektifitas.
Terima kasih kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jakarta, Dinas Kebudayaan Jakarta, UP PDS HB Jassin, UP PKJ TIM, Simpul Seni DKJ, dan semua pihak yang telah membantu terbitnya buku “Mereka Ada di TIM: Kiprah, Gagasan dan Pemikiran” dan dilauncing di Plasa Promenade TIM, 30 Oktober 2024.
Jakarta, 30 Oktober 2024