PojokTIM –Seni baca puisi di atas panggung tidak memiliki panduan sehingga setiap pembaca menciptakan style sendiri yang dianggap paling tepat. Hal itu selaras dengan kebebasan pembaca untuk mengekspresikan tafsir atas teks. Namun, karena hal itu pula, pemenang dalam sebuah lomba baca puisi sangat dipengaruhi oleh siapa jurinya. Peserta yang ingin menang akan berusaha meniru style baca puisi jurinya.

Terlebih dalam perkembangannya tidak bisa dibedakan lagi mana baca puisi, dan mana deklamasi. Juri yang menyukai baca puisi secara an sich tentu tidak sreg ketika peserta membaca disertai gerakan teaterikal. Sebaliknya, juri yang menganggap baca puisi sebagai deklamasi, sangat mungkin langsung mengeliminasi pembaca puisi yang tatapannya terpaku pada naskah yang dibawa.

Demikian antara lain bahasan yang mengemuka dalam diskusi Meja Panjang dengan tajuk Deklamasi atau Seni Baca Puisi?” yang digelar Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bekerjasama dengan PDS HB Jassin di selasar Lantai 5 Gedung Ali Sadikin kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman ismail Marzuki (PKJ TIM), Kamis (29/8/2024),

Diskusi menghadirkan dua dedengkot sastra yakni Remmy Novaris DM yang juga ketua DSJ, dan Jose Rizal Manua, pendiri Bengkel Deklamai. Acara yang dihadiri hampir 100 peserta itu dipandu Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arif.

Dalam paparannya, Remmy mengatakan deklamasi berasal dari bahasa latin Declamare of declaim yang berarti membaca puisi dengan lagu dan menggerakkan badan. Pengertian senada terdapat dalam KBBI di mana deklamasi adalah penyajian sajak yang disertai lagu dan gaya. Atas dasar itu, Remmy menyimpulkan deklamasi adalah seni yang dialih-wahanakan dari puisi atau sudah menjadi bentuk kesenian tersendiri sebagaimana musikalisasi puisi, dan lain-lain.\

“Cara mendeklamasikan puisi adalah dengan dihafal dan dibawakan atau diucapkan dan mengayunkan kalimat pada puisi itu, sambil melakukan gerakan yang berusaha menjelaskan setiap kata atau kalimat sedemikian rupa,” terang Remmy.

Lebih jauh Remmy memaparkan, seni membaca puisi dikenalkan oleh WS Rendra sesudah pulang dari luar negeri di tengah maraknya seni deklamasi di tanah air. Sebagai seorang sutradara teater, Rendra memiliki kiat tersendiri dalam untuk menampilkan pertunjukan membaca puisi yang memikat yakni dengan dengan membawa teks puisi ke atas panggung.

Rendra berupaya menunjukkan bagaimana sebuah teks puisi dapat benar-benar dinikmati oleh yang mendengarkannya tanpa disertai gerakan-gerakan yang berlebihan.

“Sekaligus mengikis seni deklamasi yang dianggap berlebihan, membosankan dan tidak menarik,” tegas Remmy.

Dalam perkembangannya, pembaca puisi tidak lagi membaca teks karena tuntutan untuk melakukan gerakan dalam mengekspresikan naskah sebagaimana seni deklamasi. Teks puisi sudah dihafal sehingga kertas berisi teks puisi yang dibawa ke atas panggung tak labih hanya aksesoris.

Pendapat Remmy mendapat sanggahan dari Jose Rizal. Menurut Jose, deklamasi dan seni baca puisi tidak ada bedanya. Deklamasi hanyalah sebuah istilah lain dari baca puisi yang dikenalkan oleh anak-anak muda di tahun 1957.
“Mansyur Samin bahkan sudah membentuk kelompok deklamasi di tahun 1957,” ujar Jose membantah anggapan Remmy bahwa seni deklamasi tidak diketahui sejarahnya.

Jose yang dalam diskusi itu menyandarkan argumennya pada pendapat Rendra, tegas mengatakan seni baca puisi dengan gerakan berlebihan sehingga makna puisi tidak tersampaikan dengan baik, hanyalah bentuk pembacaan puisi yang buruk.

“Konteksnya bukan hafal atau tidak, tapi tersampaikan atau tidak pesan puisi yang dibacakan kepada penonton atau pendengarnya,” ujar Jose.

Jose justru mempertanyakan relevansinya ketika pembaca puisi tidak boleh menghafaf, melainkan hanya membacanya dari teks di atas panggung. “Apakah ketika membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Luka, kita tidak boleh hafal padahal isinya hanya “ha ha”. Siapa pun yang pernah membaca puisi itu pasti langsung hafal isinya,” kata Jose.

Jose menutup paparannya dengan menegaskan agar tidak ada lagi perdebatan soal baca puisi dan deklamasi karena keduanya sama saja. Demikian juga dengan perlu atau tidaknya menghafal puisi yang akan dibacakan. Faktanya, saat ia hafal dengan puisi yang dibacakan selalu memenangkan lomba baca puisi dengan juri yang berbeda-beda.

Diskusi semakin menarik ketika peserta yang hadir saling memberikan argumen. Fanny J Poyk, Ujang Kasarung, dan yang lain tetap meyakini seni baca puisi berbeda dengan deklamasi. Sedangkan Iyut Fitra hingga R Mono Wangsa berada di sisi argumen berbeda.

“Seni pertunjukan dan lomba adalah 2 wilayah berbeda. Kalau lomba harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan, misalnya harus bawa teks. Sementara dalam pertunjukan pembaca puisi a bebas menafsirkan isi puisi, vokal, dan ekspresi sepanjang pesan puisi tersampaikan,” ujar Iyut Fitra.

Mayoritas peserta diskusi menolak adanya penyeragaman dalam baca puisi. Namun demikian, boleh-boleh saja DKJ membuat panduan membaca puisi untuk kepentingan penjurian dalam lomba sehingga peserta tidak terbebani keharusan meniru cara baca puisi yang disukai juri.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini