PojokTIM– Penyair Perempuan Indonesia (PPI) memilih puisi sebagai jalan pulang. Sebab sejauh-jauhnya pergi, setinggi-tingginya naik gunung, pulang adalah kata terakhir. Termasuk jalan pulang untuk menyampaikan pesan.
Demikian dikatakan Ketua Umum PPI Kunni Masrohanti dalam acara peluncuran dan diskusi buku kumpulan puisi Nyulam Kata di Tanah Lada di aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Antologi yang berisi 86 puisi karya 19 penyair PPI plus Isbedy Stiawan ZS dan Kurnia Effendi (Kef), tmengusung tema adat dan tradisi Lampung. Buku seri keempat Pulang ke Kampung Tradisi (PKT) yang diterbitkan oleh PPI tersebut merupakan hasil kunjungan dan riset ke Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) pada 6-7 Juli 2024.
“Mengapa PPI memilih tradisi? Sebenarnya bukan ketradisiannya, melainkan nilai-nilai luhur yang ada dalam tradisi. Hal itulah yang menjadi akar dan landasan dalam berkarya,” ujar Kunni.
Acara yang dihadiri sejumlah sastrawan dan penyair ternama seperti LK Ara, Sutardji Calzoum Bachri, Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia (HPI) Asrizal Nur, Ketua Umum Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria, Ketua TISI Octavianus Masheka, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arif dan Hasan Aspahani, penyair Nanang R Supriyatin, Wig SM, dan para mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Tangerang serta Universitas Negeri Jakarta, juga diramaikan dengan pembacaan puisi dan penampilan musikalisasi puisi dari Tersajakkanlah dan Nyapoe.
“Peluncuran antologi puisi Nyulam Kata di Tanah Lada bukan hanya menandai terbitnya sebuah karya, namun bukti bahwa sastra dapat menjangkau banyak sisi. Kami dari Perpustakaan Jakarta PDS HB Jassin mengucapkan selamat dan berharap perpustakaan bukan sebatas ruang baca, tetapi rumah bersama untuk berkarya dan berdialog,” ujar Tia, Kasatlak Perpustakaan Jakarta.
Penyerahan buku Nyulam Kata di Tanah Lada ke PDS HB Jassin
Selain Kunni, dalam diskusi yang dipandu Devie Matahari, dua nara sumber yang dihadirkan yakni editor Rini Intama dan kuraktor Ratna Ayu Budhiarti menjelaskan mengapa banyak puisi yang gagal diikutkan dalam buku Nyulam Kata di Tanah Lada.
“Ini bukan buku biasa karena berbasis tradisi dan riset. Penyairnya terjun langsung ke lapangan untuk mencari tahu apa itu mitos, ritus budaya, sejarah, kearifan lokal yang ada di Tubaba. Itu yang menarik,” ujar Rini.
Sebagai editor, demikian Rini, dirinya menerima karya-karya yang masih mentah, lalu melakukan perbaikan seperlunya sebelum diserahkan ke kurator. Rini mencontoh kesalahan mendasar yang banyak dijumpai seperti penulisan judul dan penggunaan titik dua.
“Ada yang menulis nama lalu (diberi) titik dua. Itu tidak boleh. Titik dua khusus ketika puisi itu ditujukan kepada siapa,” terang Rini yang juga penyair senior.
Sementara Ratna Ayu mengatakan, tugas kuratorial sangat berat karena harus mempertimbangan visi misi PPI yang selalu ingin mempersembahkan puisi yang lebih baik. Tidak ingin terkesan hanya karena punya uang lalu bikin buku.
“Kita tetap mengedepankan kualitas. Kita harus punya ciri khas, dan bukan karya kaleng-kaleng,” ujar penyair asal Garut itu.
Ratna ingin seluruh puisi yang masuk bisa diikutkan dalam antologi. Namun sayangnya, ada penyair yang terkesan asal mengirim karya, terburu-buru, sehingga diminta untuk mengirim ulang. “Bukan (puisinya) jelek, tapi ada yang didominasi unsur personal, melenceng dari tema, atau Lampung-nya sekedar tempelan. Padahal yang diinginkan, karyanya betul-betul menggambarkan tradisi yang masih berjalan di Lampung,” kata Ratna.
Mintarsih, penyair asal Lampung mengenakan Siger saat membacakan puisinya.
Selesai acara, anggota PPI langsung melanjutkan PKT ke Malang untuk mengunjungi Suku Tengger,