PojokTIM – Jika ingin belajar menulis puisi yang langsung diajar oleh penyair terkenal, bergabunglah dengan SkesBAR. Peserta tidak hanya belajar teori satu arah, namun langsung praktek dan bebas bertanya sampai benar-benar paham apa itu puisi dan bagaimana cara menulisnya.

“SkesBAR sudah beberapa kali mengadakan kegiatan proses kreatif. Bukan hanya puisi, namun juga seni lainnya, termasuk melukis,” ujar AD Rina, inisiator SketsBAR, di sela-sela workshop penulisan puisi di Kafe Sastra Balai Pustaka, Jakarta, Minggu (25/5) sore.

Dalam acara yang menjadi bagian dari kegiatan Parade Masa, pameran buku-buku terbitan Balai Pustaka sejak masa Pujangga Lama, SketsBAR menghadirkan penyair nasional Emi Suy dan Giyanto Subagio. Pesertanya beragam, dari mahasiswa sampai pekerja kantoran.

Menurut Rina, SketsBAR berawal dari komunitas Membaca Raden Saleh, yang secara rutin mengadakan kegiatan membaca bersama novel Pangeran dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Komunitas itu berkembang dan melahirkan komunitas-komunitas yang kegiatannya lebih spesifik seperti menulis puisi, melukis, dan lain-lain.

“Dalam pertemuan kali ini, kami mengambil tema olah pikir, olah rasa,” terang Rina.

Tidak Harus Indah

Menurut Emi Suy, menulis puisi tidak harus dengan kalimat indah karena akan terjebak dengan kata-kata klise yang sudah sering digunakan seperti renjana, malam, pantai dan lain-lain.

“Puisi tidak harus (menggunakan bahasa) indah, yang penting berguna. Sebab, puisi yang baik adalah puisi yang bisa menyentuh hati dan merangsang atau mengganggu pikiran pembacanya,” ujar penulis trilogi sunyi itu.

Emi menambahkan, dalam proses penciptaan puisi, ada fase editing yang sangat penting. Sebab saat ide dituangkan, masih teringat dengan emosi terhadap obyek yang menjadi pemantik proses kreatif. Setelah diendapkan, puisi dibaca ulang lalu dilakukan editing.

“Saat melakukan editing, maka yang digunakan pikiran, bukan lagi emosi. Pentingnya pengendapan karya dan editing diumpamakan porsinya sampai 70 persen dari keseluruhan proses penciptaan puisi,” terang Emi.

Peran pembaca, demikian Emi, sangat penting karena akan menentukan seberapa bergunanya sebuah puisi. Emi mengibaratkan pembaca sebagai cermin, di mana semakin bening cermin itu maka tafsirnya semakin jernih.

“Meski begitu, tidak perlu risau ketika pembaca menafsirkan (puisi) tidak sesuai maksud kita. Pembaca menafsirkan teks yang dibaca sesuai latar belakang pendidikan, lingkungan sosial, dan pengalaman yang dimiliki,” tegas Emi.

Sementara Giyanto Subagio menekankan pentingnya menjadi diri sendiri dalam berkarya. Sebagai sebuah ekspresi personal, bentuk dan cara penulisan puisi setiap penyair tentunya berbeda-beda sesuai karakter dan kepekaan yang dimiliki.

“Puisi merupakan bahasa hati. Oleh karenanya, meski menulis obyek yang sama, bentuk dan cara pengucapannya tentu berbeda-beda,” kata Giyanto yang pernah membidani lahirnya berbagai komunitas sastra.

Giyanto menekankan pentingnya bersandar pada tradisi penulisan puisi Angkatan 45, terutama karya-karya Chairil Anwar sebagai pelopor puisi modern Indonesia. “Puisi dengan bahasa mendayu-dayu, mengeksplorasi romantisme alam, sudah lewat. Puisi harus memiliki pesan yang kuat dengan menggunakan bahasa yang tepat. Apa pesannya, tentu sesuai dengan kepekaan masing-masing ketika berhadapan dengan sebuah obyek. Laut di masa lalu menjadi metafora tentang kerinduan dan kekaguman. Namun saat ini, laut bisa saja menjadi metafora terhadap ketidakadilan sosial sepanjang diksinya tepat,” terang Giyanto.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini