PojokTIM – Kehadiran teknologi informasi dan artificial intelligence (AI) membuat banyak hal menjadi usang bahkan tidak dipakai lagi. Oleh karenanya, timbul pertanyaan apakah puisi masih penting di masa depan? Jika pertanyaan itu disodorkan kepada penyair, jawabannya tentu sangat subjektif karena berkaitan dengan kepentingan dan harapannya.
Lalu bagaimana jika ditanyakan kepada pakar teknologi digital? Riri Satria pun punya jawaban dari perspektifnya sebagai pakar teknologi digital yang hidup dalam dunia algoritma, mesin, dan logika matematika, namun menaruh cinta mendalam pada puisi.
“Matematika, algoritma, serta program komputer memiliki satu kesamaan dengan puisi yakni sama-sama merepresentasikan fenomena yang kompleks dengan simbol-simbol yang sederhana,” terang Riri Satria saat menjadi pembicara pada jumpa pers yang dikemas dalam acara diskusi dan pembacaan puisi menyambut pelaksanaan Pertemuan Penyair Nusantara ke XIII (PPN XIII) di Jakarta, 11-14 September mendatang. Pembicara lain adalah Ketua Dewan Pengarah Imam Ma’arif, Wakil Ketua Panitia Ismail Mustafa, dan Ketua Tim Kurator Maman S Mahayana dengan moderator Dikar W Eda.
Baca juga: https://pojoktim.com/ppn-xiii-tetap-digelar-di-jakarta-11-14-september-2025/
Riri melanjutkan, dari sudut pandangnya, puisi bukan sekadar permainan bahasa, tetapi cara lain manusia memahami keindahan hidup dan merangkum kompleksitas semesta. Ia menekankan bahwa puisi tidak hanya relevan bagi penyair, melainkan juga bagi siapa saja yang berusaha memahami dunia, termasuk mereka yang terbiasa bekerja dengan logika eksakta.
“Puisi tidak akan mati. Ia justru akan berevolusi mengikuti perkembangan zaman,” ujar Riri yang telah merangkum sejumlah literatur dan diskusi global mengenai masa depan puisi.
Menurut Staf Khusus Menko Pulhukam RI itu, salah satu hal yang menonjol adalah keterlibatan kecerdasan buatan dalam menciptakan karya sastra. AI mampu merangkai kata indah, meski ia sendiri tidak pernah merasakan keindahan itu. Konsep ini disebut meta-estetika, yaitu keindahan yang lahir dari mesin, tetapi tetap diarahkan oleh manusia.
Selain itu, puisi di masa depan juga akan bertransformasi menjadi jejaring luas melalui internet. Bentuk hypertext poetry memungkinkan satu teks menjelaskan teks lain, menciptakan jaringan puisi global. Dengan internet pula, karya bisa menyebar hanya dalam hitungan detik ke seluruh penjuru dunia. “Puisi masih relevan, justru karena teknologi membuatnya dapat diakses, diterjemahkan, dan didiskusikan secara real time oleh orang-orang di berbagai belahan dunia,” ungkap dosen UI tersebut.
Puisi di masa depan juga tidak lagi hanya berbentuk teks diam. Ia akan semakin multimedia, beralih wahana dengan memanfaatkan teknologi digital. Akan ada puisi yang hadir sebagai video, musik interaktif, bahkan karya visual yang hidup. Lebih jauh, interaksi antarpenyair akan berkembang menjadi tradisi berbalas puisi global. Satu bait diunggah, lalu dijawab oleh penyair lain di belahan dunia berbeda. Dengan demikian, rantai puisi internasional bisa terbentuk, membangun solidaritas kemanusiaan melalui seni.
Di sisi lain, penerjemahan otomatis membuat puisi kian universal. Bayangkan, sebuah puisi berbahasa Indonesia bisa langsung muncul dalam versi bahasa Inggris, Jepang, atau Arab sesaat setelah diunggah. Hal ini membuka ruang dialog lintas budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Salah satu konsep menarik yang dibahas Riri adalah artneering, perpaduan antara seni dan rekayasa. Baginya, teknologi bukan ancaman, melainkan bagian dari perkembangan seni itu sendiri. AI seperti ChatGPT sudah mampu menulis puisi. Namun ia menekankan, unsur seni sejati tetap berada pada manusia: kontemplasi, perasaan, dan makna. Mesin hanya menyediakan bentuk, sedangkan manusia memberi ruh. Dengan demikian, puisi di masa depan akan menjadi hasil kolaborasi antara kecerdasan buatan dan sentuhan manusia.
Selain persoalan bentuk, Riri juga menyinggung aspek kepemilikan. Di era digital, autentifikasi puisi bisa dilakukan dengan NFT (non-fungible token). Setiap karya yang direkam dalam sistem blockchain akan memiliki identitas unik, sehingga hak cipta penyair terjaga secara global. Teknologi ini, kata Riri, menjamin bahwa puisi tetap dihargai sebagai karya otentik meski beredar di dunia maya.
Puisi tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi keindahan, tetapi juga sebagai penjaga peradaban. Riri mengutip teori John Naisbitt tentang high tech, high touch: semakin tinggi teknologi, semakin dibutuhkan sentuhan kemanusiaan. Dalam konteks ini, puisi hadir sebagai pengimbang, memberi ruang bagi refleksi, empati, dan makna di tengah derasnya arus digitalisasi. Ia menegaskan bahwa pembahasan ini bukan tentang puisi masa lalu, melainkan puisi futuristik. Menurutnya, semua literatur yang ia baca mengarah pada satu kesimpulan: puisi tetap relevan di masa depan, hanya saja bentuk dan mediumnya berubah.
Riri menutup refleksinya dengan menekankan pentingnya membawa generasi muda, khususnya Generasi Z, untuk mengenal puisi masa depan. Mereka hidup di tengah dunia digital, dan puisi bisa hadir sebagai ruang untuk memahami diri dan peradaban tanpa kehilangan akar sejarahnya. Ia percaya, jika puisi mampu bertransformasi mengikuti perkembangan zaman, maka generasi muda akan tetap dapat menikmatinya. Bukan untuk mengulang-ulang romantisme masa lalu, tetapi untuk memperkaya peradaban di masa depan.
Bagi Riri Satria, puisi pada dasarnya adalah simbol kehidupan. Sama seperti matematika dan algoritma, ia menyederhanakan kompleksitas dengan cara yang indah. Maka, pertanyaan apakah puisi masih penting di masa depan sudah terjawab. Bukan hanya penting, tetapi juga semakin relevan.
“Puisi adalah cara manusia menggambarkan betapa indahnya Tuhan mendesain alam semesta ini,” simpul Riri Satria.