PojokTIM – Kesan ‘angker’ perlahan sirna setelah perbincangan mengulik ke hal-hal yang berhubungan dengan keluarga. Nadanya terdengar bahagia saat menceritakan kebiasaan dalam keluarganya yang kuat dalam tradisi membaca.

“Ibu saya punya buku yang ditulis oleh kakek ibu saya dari sastra lisan menggunakan aksara Melayu, berbahasa Minang. Namanya Nabi Barampeh, cerita tentang masa kecil Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) saat berkelahi dengan Abu Jahal. Ibu membacakan kepada saya saat masih kecil. Menjelang tidur, fantasi saya terbawa oleh cerita Ibu: oh begini, zaman itu begini,” kenang Fatin Hamama R Syam, penyair, penggiat komunitas sastra, dan mantan dubber untuk film, termasuk sandiwara radio yang sangat terkenal di masanya, Butir-butir Pasir di Laut.

Lahir dan besar di Padang Panjang, Sumatera Barat, Fatin banyak menulis puisi religi. Sejak SD, Fatin sudah memenangi lomba cipta dan baca puisi. Karya-karyanya pernah dimuat di sejumlah media massa cetak antara lain, Semangat, Haluan dan Singgalang. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Papyrus, telah dicetak ulang beberapa kali.

Sempat menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Fatin kembali ke Indonesia dan mulai aktif mengikuti forum-forum sastra, termasuk menjadi Wakil Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Fatin juga terlibat dalam beberapa perhelatan sastra, baik dalam maupun luar negeri seperti Pertemuan Sastrawan Nusantara, Malaysia (1999), Dialog Utara VIII, Thailand (1999), Debat Sastra Akhir Abad di LKBN Antara (1999), Festival penyair Dunia di Seoul, Festival penyair Dunia di Korea Selatan, (1997), Festival Penyair Dunia di Sydney (Australia), dan Festival penyair Dunia di Kuala Lumpur (Malaysia).

Fatin meyakini, kebiasaan seseorang, terutama dalam bertutur kata, berasal dari didikan orang tuanya. “Bahasa yang kita ambil ke depannya (dalam berkomunikasi), itu bahasa yang diajarkan oleh Ibu,” ujar pendiri Komunitas Rumah Sastra Kampung Dukuh itu.

Berikut wawancara PojokTIM selengkapnya dengan Fatin Hamama R Syam di selasar Gedung Ali Sadikin, kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, usai menghadiri acara pembukaan pameran sastra, Kamis (31/7/2025).

Di tengah kesibukan, apakah Anda masih sempat menulis puisi?

Saya masih menulis puisi, dan selalu punya rencana untuk menerbitkan buku baru. Sebab puisi saya sudah banyak tetapi belum dibukukan. Saya kadang-kadang kehabisan waktu. Saya butuh waktu khusus untuk menatanya.

Menurut Anda, bagaimana perkembangan sastra saat ini?

Saya melihat sastra sangat berkembang. Setiap orang punya pilihan. Kita tidak bisa memaksakan semua orang harus menyukai puisi atau sastra, Tidak mungkin. Tetapi orang-orang yang bekerja untuk sastra, masih ramai, kan? Regenerasi juga sudah berjalan dengan baik. Banyak lomba baca puisi, lomba menulis dan lain-lain. Kalau ada yang bilang sastra makin terpinggirkan, saya bilang tidak. Orang yang bicara seperti itu adalah yang tidak masuk ke dalam kancah sastra saat ini sehingga tidak paham situasinya.

Kalau dulu, media untuk mempublikasi karya sangat terbatas. Hanya buku dan koran atau majalah, sehingga hanya Itu yang menjadi acuan. Ketika ada yang menerbitkan buku puisi, semua orang tahu. Demikian juga ketika koran menerbitkan puisi atau cerpennya, semua orang tahu kalau dia menulis.

Sekarang pilihan media banyak. Orang bisa mempublikasikan karyanya lewat berbagai media, termasuk media sosial. Jadi ketika seseorang mengatakan sastra tidak berkembang, atau seolah-olah sudah mati, karena tidak ada koran, jelas tidak benar. Sastra justru berkembang sangat signifikan mengikuti perkembangan zaman.

Sekarang banyak komunitas atau pertemuan sastra berdasar rumpun seperti Melayu. Apakah bentuk kebangkitan, atau sebatas ekspresi?

Itu bukan persukuan. Misal kita melihat komunitas Aceh, Melayu, Jawa, Sulawesi. Saya melihatnya sebagai bentuk kebhinnekaan. Setiap orang punya identitas sehingga sudah selayaknya mereka menumbuhkan dan mengembangkan identitasnya. Terlebih menurut saya, sastra atau bahasa lebih selaras dalam bahasa ibu. Setiap orang mempunyai bahasa ibu yang ungkapan atau narasinya sangat beragam, manis dan indah. Ini taman bunga yang luas, di mana bunga apa saja bisa mekar. Saya apresiasi itu.

Termasuk komunitas atau pertemuan-pertemuan antar rumpun Melayu yang melibatkan lintas negara?

Saya melihatnya sebagai perkembangan. Bahwa orang harus punya identitas. Jangan berpikir ini Indonesia, ini Malaysia, atau ini Brunei. itu hanya batas teritorial. Hanya KTP atau paspor kita. Tapi ada yang tidak bisa diingkari, bahwa pada awalnya kita satu rumpun. Darah dan kultur kita sama.

Tetapi jangan diartikan di luar konteks itu. Saya tetap melihatnya sebagai perkembangan, bahwa orang kembali kepada identitasnya, dan Indonesia merawat kebhinnekaan. Kesenian tidak mengenal batas, bahasa tidak mengenal batas. Demikian juga sastra dan budaya, tidak mengenal batas.

Jangan lupa, pertemuan serumpun, misalnya, juga bagian dari diplomasi budaya. Benar kita orang Indonesia dan punya kebudayaan sendiri. Tapi kita tidak menutup mata bahwa tetangga sebelah kita yang berbeda negara, juga tumbuh dari darah dan leluhur yang sama. Ketika kita bersama, bersatu, saya rasa dapat menjadi pengikat diplomasi kebudayaan yang lebih kuat dan lebih luas.

Apa arti komunitas bagi Anda?

Semua orang harus punya komunitas sebagai tempat dia berpijak. Bagi saya komunitas penting. Komunitas orang lain juga penting. Itu menandakan keberagaman yang harus dirawat. Bayangkan ketika semua orang disatukan dalam satu komunitas. Itu akan membebat pikiran, juga kebebasan kita. Saya melihat banyaknya komunitas sebagai tanda kecintaan pada dunia sastra yang semakin berkembang.

Biarkan komunitas bermunculan, tidak perlu ditakuti. Sebab pada akhirnya semua akan mengerucut. Jangan lupa, dulu Indonesia dibangun oleh komunitas-komunitas. Ada Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya yang pada akhirnya membentuk piramida, mengerucut menjadi Indonesia.

Pentingkah isu-isu sastra yang besar seperti di masa lalu?

Saya bilang itu penting. Tapi kita mengikuti alur zaman saja, jangan mengada-ada. Hanya karena merasa perlu ada isu, lalu dibuatlah isu. Itu tidak natural lagi, melainkan direkayasa. Kalau sekarang, misalnya tidak ada isu besar, adem-adem saja, maka dapat kita manfaatkan untuk berkarya, dan berkreatifitas.

Termasuk melahirkan genre baru?

Saya mengapresiasi lahirnya genre-genre baru. Sebab yang namanya budaya, harus berkembang. Kalau tidak berkembang, dia bukan budaya. Budaya adalah memahami keadaan yang lalu, mengadopsi untuk hari ini, dan untuk yang akan datang. Jadi tidak sebatas dirawat seperti yang dibilang orang. Pentingnya genre di sini karena manusia berpikir, tidak stuck pada satu pemikiran.

Apa itu juga yang menjadi latar lahirnya puisi esai?

Bukan, puisi esai itu (idenya) Denny JA. Suatu hari Denny JA bilang ke saya, dia punya banyak sekali kasus yang ingin disampaikan ke masyarakat dengan cara yang menarik. Saya lebih concern dengan puisi, kata Denny.Tetapi pembaca atau pendengarnyau tetap tahu bahwa itu fakta sebenarnya. Maka dibuatlah 5 puisi dengan tema yang berbeda-beda. Ada agama, TKW yang dipancung, LGBT, dan  kerusuhan. Meski demikian, puisi tersebut tidak berpihak ke mana pun. Hanya menyampaikan fakta dengan bahasa yang indah.

Misalnya tentang Minah Tetap Dipancung. Bercerita tentang TKW yang bekerja di Arab. Ketika akan diperkosa oleh majikannya, dia membela diri dan mengakibatkan majikannya terbunuh. Dengan kejadian itu Minah menghadapi hukuman gantung. Dari satu kasus ini, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Namun kalau diberitakan di koran, hanya sebagai laporan. Kalau diceritakan dalam bentuk kisah, bisa jadi cerpen, karya fiksi. Nah, Denny ingin menyampaikannya dalam bentuk puisi. Itu latar belakang lahirnya puisi esai.

Untuk bikin puisi esai, orang harus survei, riset, dan mencari narasumbernya. Dia juga harus mempelajari kasusnya. Awalnya, orang menulis puisi esai sampai 20 lembar sehingga tidak mungkin dibacakan dalam satu panggung karena mungkin durasinya bisa lebih dari setengah jam. Seiring berjalannya waktu, sekarang lebih padat, hanya 500 kata. Lebih pendek tapi tetap disampaikan bahwa ini kisah sebenarnya melalui catatan kaki.

Sudah berapa banyak kepengurusan Komunitas Puisi Esai yang terbentuk di daerah dan luar negeri?

Pengurus Komunitas Puisi Esai ada di Indonesia dan luar negeri. Untuk ASEAN. presdiennya Datuk Jasni Matlani, saya wakil presidennya. Sedang pengurus Komunitas Puisi Esai di Mesir mayoritas mahasiswa Indonesia yanga sedang belajar di sana. Kalau di Indonesia, masih kita kelola bersama-sama.

Sudah berapa buku antologi puisi esai yang diterbitkan?

Saya tidak tahu persis angkanya. Tapi yang pasti sudah lebih dari 200 buku.

Apa ada kegiatan rutin puisi esai?

Kita punya Festival Puisi Esai yang digelar setiap bulan Desember. Kegiatannya satu bulan penuh, dari pementasan dan baca puisi esai, sampai pemutaran film.

Harapan Anda untuk sastra ke depan?

Ketika saya masuk ke sekolah-sekolah, tidak ada anak yang bercita-cita menjadi sastrawan. Itu menjadi pilihan terakhir dari banyak pilihan. Mereka berpikir sastra tidak menghasilkan uang. Kita pun sulit untuk menjelaskan bahwa bagi sastrawan yang penting berkarya, uang menyusul. Namun, kadang kita sendiri juga menghadapi dilema. Apa benar, sastra bisa menjadi profesi? Atau tetap sebagai kegiatan sampingan dari pekerjaan lain sehingga ketika kita menekuni sastra sama seperti mewakafkan diri.

Atau mungkin ada pengaruh dari penampilan sejumlah sastrawan yang terkesan urakan?

Saya tidak tahu. Tetapi di masa lalu, penampilan sastrawan, termasuk penyair, bersih-bersih. Baik pakaiannya maupun  cara hidupnya. Sastrawan di masa itu termasuk golongan priyayi dan intelek. Tutur katanya, etika dan esttikanya, serta bahasa tubuhnya, mencerminkan sebagai orang yang terpelajar. Lihatlah Amir Hamzah, HB Jassin dan lain-lain. Mereka perlente. Namun sekarang seperti semaunya, baik dalam berpakaian, dan juga bertutur kata.

Upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan minat siswa pada karya sastra dengan cara sastrawan masuk sekolah, apakah cukup efektif?

Sastra tumbuh dari keluarga. Yang pertama dari bahasa ibu. Bagaimana ibu mengajarkan kita berbahasa – dalam pengertiaan luas, bukan hanya kata-kata. Cara ibu mendidik, kelak menjadi bahasa jiwa kita. Keras pendidikan ibu, kita akan menjadi keras, dan sebaliknya. Yang ingin saya katakan, bahasa pertama, yang membuka pikiran anak-anak yang akan tumbuh, berasal dari ibu dan ayah.

Jadi kalau sastra mau tumbuh, jangan ke sekolah, atau tempat lain. Pulanglah sastrawan-sastrawan itu ke rumah. Membuka ruang untuk anak-anaknya agar mencintai sastra. Menumbuhkan kreatifitas anaknya. Mengajarkan cara bertutur yang bagus. Mengajarkan etika dan estetika dalam berbahasa. Ayo, mulai dari si sastrawan kepada anaknya. Nantinya, saat anaknya bertemu dengan teman-temannya, maka dia akan bercerita bahwa bapaknya mengajarkan baca buku, mengajarkan menulis puisi.

Saya merasakan sekali pengaruh dari cara Bapak dan Ibu mendidik saya sehingga saya mencintai dan menekuni sastra. Sebelum saya tidur, Ayah bercerita. Atau ketika sudah selesai membaca buku, Ayah akan bilang kepada saya, sudah membaca ini-ini-ini. Ayah menguasai Bahasa Inggiris, Bahasa Jeoang, dan Bahasa Belanda-nya juga bagus. Jadi setiap Ayah selesai membaca buku di perpustakaan (pribadi) saya disuruh duduk di kursi untuk mendengarkan cerita tentang isi buku yang baru dibacanya.

Ada baiknya buku yang kita baca, pengetahuan yang kita punya, share ke anak-anak. Sewaktu anak saya masih kecil, ketika beli buku, saya baca dulu. Jadi ketika mereka selesai baca dan bercerita, saya nyambung. Sebelum zaman smartphone, saat jalan jauh saya akan baca buku dan anak-anak mendengarkan. Sekarang kita kehilangan ruang yang seperti itu.

Apa yang terjadi saat ini, rendahnya minat baca dan budaya literasi, sebagian juga karena kita kehilangan waktu untuk mendongeng pada anak-anak. Jadi kalau ditanya, bagaimana membangun Indonesia ke depan, maka jawabannya adalah bangun keluarganya. Ada hal menarik dari kunjungan saya ke Brunei. Ketika jam makan siang, orang tuanya wajib pulang. Mereka makan bersama sehingga bisa bertemu dengan anak-anaknya. Mengajari anaknya cara berkomunikasi. Kalau anak-anak sudah digiring sejak kecil, maka besarnya tinggal merawat.

Nah, saya berharap, suatu hari para sastrawan bisa membawa keluarganya dalam acara-acara kesenian. Saya pernah melakukan di KSI. Dulu ketika akan rapat, apalagi sampai menginap, saya bilang ke anggota untuk datang bersama keluarganya. Dengan begitu anak atau cucu kita tahu aktifitas kita dan punya imajinasi sendiri terhadap kegiatan sastra.

Apa tanggapan Anda tentang TIM saat ini?

TIM yang sekarang berbeda dengan 30 tahun lalu. Tentu saja ada perbedaan pendapat terkait perubahan yang terjadi. Namun hal itu tidak mempengaruhi hubungan antar seniman di TIM. saya Sengangap mereka yang “hidup” di TIM adalah saudara, dan merasa kita satu keluarga. Tidak melihat asal komunitasnya. Hanya saja memang banyak anak-anak baru yang berkegiatan di TIM dan tidak semunya saya kenal.

Terhadap mereka yang bilang terjadi perpecahan antarseniman di TIM, saya tidak sependapat. Kalau pun ada, itu hanya sebentar, cabik-cabik bulu ayam. Pada akhirnya, semua akan baik-baik saja.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini