PojokTIM– Jati diri Taman ismail Marzuki (TIM) sebagai Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) harus dipertahankan di tengah dinamika yang ada. Terlebih sampai saat ini Jakarta masih menyandang status sebagai Ibu Kota sampai terbitnya Keputusan Presiden tentang pemindahan Ibu Kota sesuai Pasal 63 UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Demikian dikatakan Ketua Masyarakat Penggiat Seni Indonesia (MPSI) Mujib Hermani dalam diskusi yang digelar di Posko SaveTIM, Sabtu (9/10/2024) malam. Selain diskusi yang menghadirkan Mujib, Kepala UP PKJ TIM Arif Rahman, Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Imam Ma’arfi, dan Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) Riri Satria dengan moderator Yon Bayu Wahyono dari PojokTIM, acara bertajuk Napak Tilas 56 Tahun TIM, juga diisi dengan pembacaan puisi, tarian dan pentas musik.

“Hadirnya lembaga-lembaga lain di lingkungan PKJ TIM mengakibatkan terjadinya tumpang-tindih kewenangan. Kondisi demikian sangat merugikan pekerja seni yang selama ini berkegiatan di TIM. Seniman kehilangan ruang berekspresi. Bahkan untuk menggelar acara ini (peringatan HUT TIM, red) kami harus melapor ke Jakpro, UP PKJ TIM, dan mendapat kurasi dari DKJ,” tutur Mujib.

Menurut Mujib, untuk menuju status baru Jakarta sebagai Kota Global, maka keberadaan TIM sangat strategis. Untuk itu perlu ditumbuhkan ekosistem berkesenian yang sehat di lingkungan TIM dengan melibatkan seniman secara aktif.

“Seniman harus menjadi subyek dari semua kebijakan yang menyangkut TIM,” tegas Mujib.

Menanggapi hal itu, Arif Rahman mengatakan, pihaknya hanya melaksanakan kewajiban yang diperintahkan oleh pemda. Arif mengingatkan, dalam membuat kebijakan, pemda telah menyerap aspirasi para seniman. Salah satunya dengan hadirnya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) PKJ TIM.

“Konsekuensi dari BLUD adalah mencari pendapatan, di mana pendapatan itu digunakan untuk membiayai kegiatan dan perawatan fasilitas di lingkungan PKJ TIM,” terang Arif.

Arif mendukung upaya Dewan kesenian Jakarta (DKJ) yang ingin kembali ke khittahnya sebagai pihak yang memberikan masukan dan melakukan kurasi terhadap kegiatan kesenian di lingkungan PKJ TIM seperti disampaikan Imam Ma’arif.

Penyair Giyanto Subagio membacakan puisinya dalam acara HUT TIM di Posko #saveTIM.

Sementara Riri Satria menekankan pentingnya melibatkan stakeholders yang kuat untuk membangun pusat kesenian seperti di Paris dan Ubud. Menurut pakar ekonomi digital dan teknologi informasi itu, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) dapat dijadikan benchmark untuk membangun ekosistem berkesenian di Indonesia, khususnya Jakarta.

“Dulu mungkin TIM yang menjadi tolok-ukur kesenian di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Namun sekarang, apalagi pasca revitalisasi, TIM telah kehilangan marwahnya sebagai pusat kesenian yang disegani,” tutur Riri.

Untuk mengembalikan TIM seperti dulu, menurut Riri, tidak mudah karena PT Jakpro sebagai pengelola aset terbesar TIM saat ini, harus mengejar pendapatan untuk mengembalikan dana revitalisasi sebesar Rp 1,4 triliun yang bersumber dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Yang bisa dilakukan seniman saat ini adalah menekan agar Jakpro, dan juga UP PKJ TIM, agar dalam operasionalnya senantiasa melibatkan seniman yang selama ini berkegiatan di TIM. Silakan Jakpro mencari keuntungan, tetapi jangan dengan menafikan keberadaan seniman sebagai pemilik sah kawasan TIM,” tegas Riri.

Sebelumnya Ketua Panitia David Karo-karo mengatakan pihaknya sengaja menggelar diskusi terbuka dengan tujuan agar para seniman dapat menyampaikan unek-unek dan pemikirannya terkait kondisi TIM saat ini.

“Daripada kita ngobrol di warung kopi, lebih baik sampaikan langsung kepada PKJ TIM dan DKJ. Terlebih saat ini momennya tetap yakni dalam rangka perayaan HUT TIM ke 56,” terang David.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini