PojokTIM – Banyak pembaca puisi yang telah menghafal teks saat naik ke panggung sehingga kertas atau gadget catatan puisi yang dipegang, hanya dijadikan pemanis. Ketua Dapur Sastra Jakarta Remmy Novaris DM menyebut pembacaan puisi model tersebut sebagai pembohongan publik.
“Untuk apa ke atas panggung membawa kertas puisi, jika sudah dihapalkan? Jika kertas puisi itu tidak ubahnya aksesori pertunjukan, bukankah itu bentuk kebohongan publik,” ujar Remmy melalui akun Facebook.
Menurut Remmy, jika puisi sudah dihapal, lebih baik tidak membawa kertas catatan ke atas panggung. Peragakan saja sesuai kemampuan si pembawa puisi. Jika sudah demikian maka istilah “baca puisi” dapat diganti dengan “pembawa puisi”.
“Atau kembalikan saja ke definisi awal seni deklamasi. Paling tidak seni baca puisi, bukan seni membohongi publik. Kecuali si pembaca puisi benar-benar membacakannya di atas pangggung,” tegas Remmy.
Status Facebook Remmy mendapat tanggapan beragam, termasuk dari pendiri Toko Buku Bengkel Deklamai, Jose Rizal Manua. Selain memberikan komentar langsung pada akun Remmy, Jose, yang sudah memenangkan berbagai lomba baca puisi tingkat dunia, juga memberikan argumen tentang pembacaan puisi yang diunggah di akun Facebook pribadinya.
Menurut Jose, membaca puisi bukanlah sekedar melagu-lagukan ucapan, bukan pula sekedar membesar-besarkan suara atau sekedar mengeras-pelankan volume atau menjelas-jelaskan kata melalui gerakan atau gerak gerik.
“Membaca puisi di depan hadirin atau penonton pada hakekatnya adalah suatu upaya menyampaikan isi-maksud puisi tersebut secara lisan melalui penghayatan dan penafsiran dengan intensitas tertentu dan dengan siasat yang memikat. Oleh karena itu, seorang membaca puisi atau deklamator, terlebih dahulu harus menafsirkan atau memahami isi-maksud dari puisi atau sajak yang akan dibacakannya,” ujar Jose.
Tentu menarik mendiskusikan apakah pembacaan puisi harus diartikan secara harfiah sebagai “orang yang sedang membaca”, ataukah pembaca puisi harus menghafal teksnya terlebih dahulu agar bisa totalitas dalam mengekspresikan isi dan makna puisi saat dipanggungkan.
Kedua pemikiran tersebut akan didiskusikan dalam Forum Meja Panjang dengan tajuk “Deklamai atau Seni Baca Puisi?” yang ditaja Dapur Sastra Jakarta (DSJ) bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Jakarta serta PDS HB Jassin.
Tentu Imam Ma’arif tidak akan membiarkan tema menarik ini berlalu begitu saja. Sebagai moderator, Ketua Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKj) yang juga pembaca puisi handal tersebut diharap bisa “membakar” suasana sehingga diskusi benar-benar bergizi, punya greget, dan syukur dapat menjadi panduan pembacaan puisi, kini dan mendatang.
I
ni diskusi yang tak biasa. Bukan diskusi kaleng-kaleng karena melibatkan para suhu. Jika tanggal 29 Agustus 2024 pukul 14.00 WIB kalian ada urusan sepele, sekedar menemui kenangan atau orang yang diharap bisa menghapus kenangan, sebaiknya tinggalkan dan bergegaslah ke aula PDS HB Jassin, Gedung Ali Sadikin Lantai 4 kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM). Cikini, Jakarta Pusat.
Selepas menyaksuikan diskusi ini, dijamin kalian akan lebih paham apa itu baca puisi. Bukan sekedar melagukan dengan suara meliuk, disertai gerakan monoton yang wagu dan memalukan. Tidak perlu merasa bisa jika faktanya masih butuh banyak belajar.
Ditunggu ya …