PojokTIM – Hans Bague Jassin bukan saja Redaktur Abadi namun juga bertindak “bijaksana” dalam memperlakukan naskah yang dikoreksi. Ia tidak serta merta menolak naskah seseorang  tanpa disertai alasan dan penjelasan. Bahkan tidak jarang penjelasan panjang lebar.

Demikian dikatakan Sunu Wasono dalam Simposium Sastra HB Jassin, Jumat (26/9/2025), di aula PDS HB Jassin, Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Jakarta. Mantan dosen Universitas Indonesia menjadi panelis bersama Melanie Budianta, Roosfa Hashim yang merupakan perwakilan TBM Malaysia, dengan moderator Felencia Hutabarat dari Dewan Kesenian Jakarta.

“Jassin menyurati penulisnya terkait dengan penolakan terhadap naskahnya. Tidak jarang, karangan yang ditolak bukan karena jelek, tapi tidak cocok untuk dimuat karena faktor zaman. Jarang-jarang ada redaktur yang mau memberi petunjuk seperti itu,” terang Sunu, yang juga novelis.

Mengutip buku Surat-Surat 1943-1983, yang berisi kumpulan surat dan pandangan Jassin dalam kapasitas dan perannya sebagai kritikus dan redaktur majalah, Sunu mencontohkan alasan Jassin menolak naskah M. Dimiyati. Mula-mula Jassin menunjukkan kelebihan karya tersebut yang dinilainya “…benar-benar bagus!” Namun, tidak bisa dimuat karena tidak sesuai dengan cita-cita zamannya.

“Tapi Saudara, karangan-karangan itu tidak bisa dimuat. Saya sendiri merasa sayang sekali. Kebenaran yang pahit itu  tidak masanya sekarang  dikemuka-kemukakan, sebab mungkin tambah mengacaukan semangat yang memang sudah kacau sekarang ini oleh zaman pancaroba,” ujar Sunu mengutip surat Jassin kepada M. Dimiyati.

Menariknya, demikian Sunu, meski ditolak, Jassin justru menyemangati M. Dimyati untuk terus berkarya, dan menyediakan diri untuk menyimpan karya-karyanya. “Teruslah Saudara menulis secara ini, kalau tidak bisa dan tidak mau secara lain. Masyarakat tidak mau menerima, apa boleh buat. Biarlah disimpan sendiri saja. Dan sebagai penyimpan, ingin saya memajukan diri. Saudara kirimlah segala karangan, mana-mana  yang tidak bisa, biar saya yang menyimpannya.”

Sunu menilai, tawaran Jassin menunjukkan sikap kearifan sekaligus kewaskitaannya dalam membaca zaman. Ia tahu cerpen M. Dimyati yang ditolaknya, di masa  berikutnya akan diterima sebagai karya yang secara kualitas lebih baik daripada cerpen-cerpen masa itu.

“Tetapi, Jassin juga bisa tegas saat menolak karangan. Dia bilang jelek kalau memang jelek,” tegas Sunu.

Dicontohkan Sunu pada sebuah surat Jassin yang ditujukan kepada Herman Pratikto pada 20 Desember 1952. Surat tersebut dibuka dengan kalimat tegas yang menyatakan bahwa cerita pendek berjudul “Rosita” karya Herman Pratikto jelek. “Mengenai cerita pendek Saudara, “Rosita” yang saya paksa baca sampai habis atas permintaan Saudara,  saya cuma punya satu perkataan: jelek.”

Meskipun  Jassin mengatakan karyanya jelek, faktanya ia tetap memberi catatan panjang lebar terhadap “Rosita”.  Hanya saja, dalam catatan itu tidak ada pujian atau pengakuan dari Jassin. Namun demikian Jassin mengakhiri catatannya dengan kalimat yang bernada menasihati: “Carilah kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, dan kejernihan.”

Ditambahkan Sunu, dalam posisinya sebagai redaktur, Jassin tidak hanya menyaring tulisan atau karya sastra yang masuk, tetapi juga menyajikan tulisan sendiri mengenai berbagai topik, misalnya tentang aliran, moral cerita, originalitas, plagiarisme, genre sastra, kondisi penerbitan, dan sebagainya. “Tulisan-tulisan itulah yang menjadi  referensi pembaca sastra pada umumnya, termasuk para sastrawan,” terang Sunu sambil menambahkan sejumlah tulisan itu kemudian dibukukan dengan judul Tifa Penjair dan Daerahnja dan diterbitkan pertama kali tahun 1952.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini