PojokTIM – Komunitas sastra di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) menjadikan karya sebagai medium dialog sosial. Tema-tema lokal, isu keseharian dan bahasa sehari-hari menjadi kekuatan sastra di TBM. Dengan pendekatan partisipatif, TBM menciptakan ruang inklusif bagi anak muda, ibu rumah tangga, hingga pekerja bahkan anak-anak untuk mengenal dan mencintai sastra.

Demikian dikatakan Ketua Divisi Program Forum TBM Jakarta, Virgina Veryastuti saat menjadi nara sumber pada acara Diskusi Meja Panjang di aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Minggu (27/7/2025). Acara diskusi tersebuit digelar Teater Moksa bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jakarta.

Selain Virgina, panitia menghadirkan 2 sumber lainnya yakni, Wakil Ketua Pengembangan Komunitas Sastra Jakarta Timur Ihwal Bens Satriadji, serta Pendiri Komunitas Sastra Jakarta Barat (Kosakata) Anto RistarGie.

Dilanjutkan oleh Virgina, di beberapa daerah banyak TBM-TBM yang dikelola oleh anak-anak muda pecinta sastra sehingga kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan berhubungan erat dengan kegiatan-kegiatan seperti menulis puisi, novel, musikalisasi puisi, teater dan lain sebagainya. “Contohnya, Panti Baca Ceria di Sumedang, dan Nemu Buku di Palu, Sulawesi Tengah,” kata Virgina.

Ditambahkan, ada banyak juga pecinta sastra yang kemudian membuat TBM sebagai tempat mereka untuk berdiskusi tentang sastra atau menjadi satu tempat mereka berlatih menulis sehingga muncul banyak karya sastra-karya sastra dari taman baca. Biasanya TBM mereka lebih banyak mahasiswa yang datang untuk membaca dan berdiskusi juga berkegiatan.

“Namun tidak semua TBM berkegiatan seperti di atas, tergantung bagaimana TBM itu dikelola oleh pendirinya. Di Jakarta, kebanyakan TBM berdiri dengan kegiatan utama menyelenggarakan PAUD (Pendidilkan Anak Usia Dini) sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah menyelenggarakan pendidikan usia dini dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan anak usia dini seperti Membaca Nyaring,” terang Virgina.

Sebelumnya, dalam diskusi yang mengangkat tema Di Antara: Kota, Komunitas Sastra dan Masyarakat, moderator Rijalul Fikri mengatakan kegiatan diskusi diadakan untuk menggali dinamika terkait persoalan komunitas sastra yang tumbuh di kota, dan mempertanyakan keberadaan, dampak, posisi, tantangan dan harapannya dalam lanskap kultural yang lebih luas.

Suasana Diskusi Meja Panjang. Foto: Erna Wiyono

Literasi Coffee Shop

Sementara menurut Ihwal Bens Satriadji, saat ini coffee shop menjadi tempat Gen Z beradu argumen. Mestinya hal itu bisa dijadikan lahan untuk perkembangan literasi dengan cara mengajak pelaku usaha meyediakan rak buku. Demikian juga di taman-taman kota yang banyak terdapat di Jakarta.

“Komunitas bisa berperan sebagai jembatan antara pengusaha coffee shop dengan konsumen yang didominasi kaum muda,” kata Ihwal.

Hanya saja Ihwal mengingatkan, bahwa membuat komunitas sangat mudah. Namun menjalankan dan mempertahankannya tidaklah mudah. “Prinsip hidup yang beraneka ragam warna dalam sebuah komunitas menjadi bagian interaksi yang dinamis sesama anggota walau sering juga berbenturan. Butuh kedewasaan dan kebijaksanaan anggotanya agar komunitas tetap bisa eksis dan mencapai tujuan yang dicita-citakan pada awal pendirian,” pesan Ihwal.

Sementara Anto RistarGie menuturkan, komunitas sastra hari ini berada dalam persimpangan: antara elitis dan membumi, antara kontemplatif dan praksis, antara estetika dan advokasi.

“Kemampuannya untuk menjangkau masyarakat luas sangat tergantung pada sejauh mana kita mampu keluar dari zona nyaman, membuka diri dan menyatu dengan denyut sosial kota,” kata Anto yang juga pembina Kosakata.

Menurut Anto, jika komunitas mampu terus bergerak, beradaptasi dan tetap mempertahankan daya kritis serta kesetiaan pada kemanusiaan, maka mereka bukan hanya akan hidup—tetapi akan menghidupkan. Di tengah arus kota yang menekan, komunitas sastra hadir sebagai ruang alternatif, tempat orang bisa diam sejenak, berpikir, menulis, berdiskusi dan menyuarakan kegelisahan.

Anto tidak ingin komunitas sastra hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah kota. “Kosakata ingin menjadi bagian dari denyut kultural Jakarta Barat. Sebagai penjaga nalar dan rasa, pemantik diskusi, kesadaran dan sebagai suara bagi mereka yang kerap tak terdengar,” tegas Anto.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini