PojokTIM– Nada bicaranya cepat dengan ekspresi penuh bersemangat setiap kali menyinggung soal perdamaian. Indonesia harus bisa menghilangkan sekat kedaerahan yang sempat menjadi sumber konflik, sebelum berbicara di fora dunia yang memiliki jangkauan lebih luas dalam rangka turut melaksanakan perdamaian dan ketertiban dunia.

“Hal paling sederhana, karena mungkin mendengar logat Batak-ku, tiap kali aku bertemu orang di Jakarta, mereka tanya, dari seberang ya? Kesal kali aku ditanya begitu. Sumatera Utara bagian dari Indonesia, dan aku bagian dari orang Indonesia. Mengapa pula masih ditanya dari seberang? Kesannya Sumatera Utara, Pulau Sumatera berada di tempat yang jauh, di seberang Indonesia,” ujar Edrida Pulungan ketika berbincang dengan PojokTIM, Minggu (2/6/2024).

Edrida tidak hanya omong-omong. Di tengah kesibukannya sebagai pegawai negeri di lingkungan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kompleks Senayan, Jakarta, Edrida telah melakukan sejumlah kegiatan dari skala daerah, hingga terlibat dalam forum-forum internasional yang menggemakan perdamaian.

“Bapakku menyatukan berbagai kelompok masyarakat di Padangsidempuan, menciptakan harmonisasi di tengah perbedaan suku dan budaya. Aku berusaha mengikuti jejaknya. Alhamdulilah aku pernah mengajar literasi, termasuk puisi, di daerah pedalaman Kalimantan Utara. Berinteraksi secara langsung dengan anak-anak suku Dayak. Aku mau melakukan itu karena aku yakin tidak ada halangan atau sekat apa pun – apakah suku, agama, ego kedaerahan dan bahkan batas negara – untuk mewujudkan perdamaian selama ada good will dari diri kira,” seru perempuan kelahiran Padangsidempuan, 25 April, yang telah meraih sejumlah penghargaan bergengsi seperti Top 10 Anugerah ASN Award Kemenpan RB kategori Future Leader Inovasi Pengembangan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Model Penta Helix Model.

Dari obrolan menjelang senja di selasar Gedung Trisno Soemardjo Kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), berikut hal-hal menarik yang disarikan PojokTIM.

Bagaimana Anda bisa diundang sebagai peserta Paris Peace Forum 2019 mewakili Indonesia dalam kapasitas sebagai penulis puisi?

Pada waktu Kementerian Luar Negeri bikin acara creative talk yang membahas tentang hal-hal kreatif dalam hubungan kerjasama luar negeri.di saat itu hadir wakil duta besar Perancis. Ketika sedang dikerumuni wartawan, aku tanya mengapa dalam talk show itu tidak ada perempuan, padahal Perancis sangat menghargai feminisme. Kemudian saya juga tanya tentang Paris Peace Forum yang merupakan forum diskusi tentang gagasan perdamaian dari berbagai negara.

Tidak disangka, dia suruh aku aplly puisi-puisiku tentang perdamaian. Iseng-iseng aku buka websitenya dan kirim tulisan yang mempromosikan perdamaian melalui sastra dan budaya, disertai beberapa puisi. Totanya sekitar 20 halaman. Sebenarnya, syaratnya harus tim, tapi ketika mengajak teman tidak ada yang mau. Sebab bingung tiket pesawat, dan segala macem. Akhirnya aku tidak pakai tim. Ketika lolos, aku presentasi ke beberapa lembaga untuk mencari bantuan. Hanya Pemprov DKI yang merespon. Itu pun hanya untuk beli tiket pesawat.

Anda tetap berangkat?

Iya, aku tetap berangkat ke Paris Peace Forum 2019 dengan tiket pesawat kelas ekonomi. Pasporku pun (warnanya) hijau, bukan biru seperti para diplomat. Di sana aku bertemu Prof Arief Rahman, seorang tokoh pendidik. Aku sempat ditraktir dan mendapat banyak masukan. Jadi aku pertama bertemu saat ikut program pertukaran pelajar ke Australia, kedua di Paris Peace Forum.

Edrida Pulungan dengan latar banner Paris Peace Forum. Foto: Ist

Sejak kapan Anda menulis puisi?

Sejak kecil aku sudash menulis puisi. Iseng-iseng saja. mulai serius ketika aku kuliah. Terlebih ketika ada yang rajin mengkliping puisi-puisi yang terbit di koran. Dibingkai dan dikirim melalui pos. Semacam pengagum rahasilah. Saat itu aku agak heran juga, kok penting bagi mereka. Padahal bagiku sekedar mengisi waktu luang.

Anda mendirikan Lentera Pustaka Indonesia, Peace Youth Corps Indonesia, dan hadir di berbagai acara diskusi tentang budaya, sampai acara kedutaan-kedutaan besar. Dari mana Anda mengawali semua ini?

Aku sudah terbiasa berorganisasi sejak remaja. Tapi saat kuliah, aku tidak punya waktu untuk berorganisasi karena aku kuliah S1 di 2 tempat, satunya di Padangbulan, Fakultas Ekonomi USU (Universitas Sumatera Utara), satunya lagi di Fakultas Bahasa dan Seni Unimed (Universitas Negeri  Medan). Jadi aku tidak bisa punya banyak waktu untuk kerja atau mengikuti kegiatan organisasi kampus karena harus bolak-balik.

Sebagai kompensasinya aku banyak membaca dan menulis. Aku baca semua koran dan buku  koleksi ayahku. Aku menulis puisi dan opini, lalu aku kirim ke koran-koran yang ada di Medan, termasuk Analisa dan Medan Bisnis.

Kebetulan di rumahku tempat berkumpulnya anak-anak muda. Ayahku sering terlibat dalam urusan pemberdayaan ;pemuda ketika tidak ada tugas putar layar tancap dari kantornya, Departemen Penerangan.

Anda sangat dekat dengan ayah?

Ayahku itu guru sekaligu panutanku. Kebetulan ayahku berjiwa aktivis, meski seorang birokrat. Beliau yang mengkonsep dan memperjuangkan pemekaran Padangsidempuan dari Tapanuli Selatan. Ayahku pernah sekolah di Yogyakarta, bisa (bahasa) kromo inggil. Kalau pulang dari dinas di luar, ayahku sering bawa buku-buku bacaan sampai kamus Bahasa Inggris. Aku melahap semua buku-buku itu, termasuk buku Berpikir Besar, Berjiwa Besar. Itu membuat aku punya banyak spektrum  Mungkin itu juga yang mempengaruhi cara berpikirku dan sisi humanisku. Meski anak kampung, tapi sejak kecil aku sudah punya wawasan global. Cara penulis-penulis itu memandang dunia, masuk ke otakku..

Ayahku sempat menyarankan aku jadi dokter. Tapi aku gagal masuk Fakultas Kedokteran. Akhirnya ayahku menyarankan jadi dosen, sementara ibu ingin aku jadi guru di kampung kami saja. Ibu tidak ingin aku pergi jauh. Ibuku kan bidan. Di rumah pun masih suka bantu orang melahirkan. Tapi aku tidak sering komunikasi dengan ibu, lebih sering dengan ayah.

Mengapa ibu tidak mendukung bekerja di luar negeri?

Ceritanya selesai kuliah, aku ke Australia, ikut program pertukaran pemuda mewakili Indonesia. Di sana aku mengajar Bahasa Indonesia di Darwin High School, menjadi support teacher dan menulis Buku Tahunan mewakili Indonesia. Saya juga bekerja sebagai Trainer di GTNT (Group Training Northern Territority) di Alice Spring. Ada kenangan indah di sana karena aku sempat travel ke Ayers Rock yang banyak lukisan aboriginnya. Aku sudah menjejakkan kaki di Monumen Alice Springs yang uniknya hari lahirku 25 April diperingati sebagai Anzaq Day atau Hari Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru

Saat itu terpikir olehku, aku ingin jadi diplomat. Bisa terbang ke mana-mana, Tapi ibu melarang karena mungkin aku perempuan. Ingin kerja tetap di dalam negeri. Tapi aku sempat nekad. Sepulang dari Australia, juga daftar ke Kemenlu (Kementerian Luar Negeri). Tahun 2007 sebenarnya aku lulus tes, tapi namaku mendadak hilang. Mungkin belum rejekiku. Jadi aku banyak berdamai dengan ketidakadilan di negeri ini. aku menyaksikan banyak ketidakadilan yang terjadi, namun aku simpan saja. Waktu akhirnya membuktikan, yang begitu kropos.

Sebelum meninggal, ayahku berpesan, bawa ibu ke Mekah, dampingi adikmu jadi sarjana. Aku akhirnya jadi dosen selama 5 tahun untuk melaksanakan amanat ayahku. Usia 28 tahun tugasku kemanusiaanku sebagai anak pertama, kalau dalam budaya Batak namanya Boru Panggoaran, yang harus menjaga nama baik keluarga, nama baik marga, selesai.

Edrida Pulungan dengan buku puisi yang menjadi tiket ke Paris Peace Forum. Foto: Ist

Setelah itu Anda hijrah ke Jakarta?

Tahun 2011 aku hijrah ke Jakarta karena dapat beasiswa dari Paramadina. Aku ambil S2 Hubungan Internasional (HI) karena aku senang dengan hal-hal yang terkait hubungan dan kerjasama internasional, cross culture, dan ragam lainnya.

Karena butuh dana untuk hidup di Jakarta, aku sempat mengajar dan bantu-bantu di (Setjen) DPD. Nulis pidato (untuk pimpinan DPD). Lama-lama spektrum yang aku bangun lintas kutub. Dengan pemerintah oke, dengan pengusaha dan pelaku bisnis oke, apalagi dengan komunitas pemuda. Bertemu dengan orang-orang yang punya ide yang belum terbayangkan, sangat menyenangkan. Berada di ruang-ruang diskusi, juga menyenangkan. Hal itu membuat aku merasa hidup itu menyenangkan jika memiliki banyak spektrum.

Tapi ibuku bilang, karena aku perempuan, cari pekerjaan yang tetap saja.Normal saja, tidak perlu sana-sini.

Akhirnya menjadi pegawai di Setjen DPD?

Iya, aku mulai dinas di Setjen DPD tahun 2011. Sebenarnya saat itu saya lolos beasiswa Fulbright ke Amerika Serikat tapi tidak bisa diambil karena peraturannya harus tugas 2 tahun dulu sebagai ASN. Jadi aku lepas beasiswa itu. Aku concern kerja di DPD sambil nulis buku, ngisi kolom-kolom media di Indonesia, di kawasan ASEAN, dan lain-lain. Termasuk menjadi Kompasinaer. Ikut kegiatan-kegiatan yang diadakan blog Kompasiana untuk pergaulan dan menambah wawasan.

Bagaiman awalnya masuk ke komunitas para duta besar?

Di Paramadina ada komunitas mantan-mantan dubes. Jadi aku sering ikut forum-forum mereka. Aku juga sering hadir dalam acara-acara kenegaraan yang dibuat oleh kedutaan besar negara-negara sahabat di Jakarta seperti ulang tahun negara mereka. Dari sana spektrumku bertambah lagi.

Momen yang akhirnya aku benar-benar menjadi bagian dari komumitas internasional melalui kedutaan-kedutaan besar adalah ketika dalam satu acara aku bertemu Prof Nabilah Lubis, seorang warga negara Mesir yang kemudian menjadi WNI setelah menikah dengan laki-laki dari Padangsidempuan. Beliau mengajar di UIN (Universitas Islam Negeri). Pada saat jamuan makan dia bilang, tabo ya, yang artinya enak. Aku kaget, karena wajahnya Arab kok ngomong Bahasa Mandailing. Prof Nabilah kemudian meminta fotoku dan dimuat di majalah berbahasa Arab, Allo Indonesia.

Sejak itu aku benar-benar merasa sebagai bagian dari komunitas internasoional. Aku benar-benar terkesan ketika kue ulang tahunku dibuat oleh salah satu dubes. Atau menjadi teman ngopi dubes Venezuela. Mereka yang orang-orang yang berpandangan luas, menghargai meritokrasi dalam jenjang karir, punya gagasan-gagasan besar, concern pada isu-isu keadilan, kesetaraan dan perdamaian.

Bagaimana ceritanya sampai bisa masuk Museum Rekor Indonesia atau MURI?

Jadi saat menghadiri Paris Peace Forum, aku sempat ditampilkan dalam video mereka sebagai 58 kontributor dunia, lengkap dengan namaku, Edrida Pulungan, Indonesia Poetry Writers. Setahun kemudian kedengaran sama Pak Jaya Suprana. Beliau tanya, kamu menulis sudah sampai Perancis ya? Aku bilang, iya, aku menulis buku kumpulan puisi tentang perdamaian dan aku diundang menghadiri Paris Peace Forum. Pak Jaya Suprana kemudian bilang apa yang aku lakukan layak masuk MURI. Tahun 2022, aku benar-benar dapat bukti rekor dari MURI. Aku pikir dapat rekornya kategori kebudayaan. Eh, ternyata kategori sains dan teknologi. Lalu dijelaskan mengapa dapat ketegori itu, karena yang aku ikuti bukan pertemuan budaya, tapi pertemuan multilateral high level meeting. Tidak semua orang bisa masuk. Ternyata nomor rekornya ulang tahun ibuku.

Kegiatan apa yang sedang Anda kerjakan saat ini, selain tugas rutin di kantor?

Masih tetap seperti biasa, menulis buku dan ikut kegiatan forum-forum diskusi. Aku sedang berupaya membranding Palembang sebagai kota wisata seni budaya melalui pentahelix model yakni dengan melibatkan pemerintah daerah, akademisi, dan tokoh adat, komunitas budaya dan sastra serta media.

Aku lihat Palembang memiliki potensi pariwisata dan ekonomi kreatif karena masyarakat yang menjunjung kearifan lokal, dan rajin ziarah ke makam-makam raja seperti Sultan Badaruddin.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini