PojokTIM – Puluhan seniman yang biasa berkegiatan di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) terlihat antusias menghadiri acara peluncuran buku “Mereka Ada di TIM: Kiprah, Gagasan dan Pemikiran”, Rabu (30/10/2024) di Plasa Promenade TIM.

“Banyaknya persoalan yang sekarang menyelimuti TIM bukan alasan untuk ditinggalkan. Kita harus bersama-sama menyuarakan persoalan yang terjadi untuk mengembalikan marwah TIM sesuai Pergub yang ditandatangani Gubernur Ali Sadikin tahun 1968,” ujar Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Bambang Prihadi ketika membuka acara peluncuran buku tersebut.

Kegiatan peluncuran juga diisi dengan diskusi yang dipandu Aquino Hayunta dengan narasumber Ketua Simpul Seni DKJ Imam Ma’arif dan penulis buku, Yon Bayu Wahyono.

Imam Ma’arfi menyoroti kondisi TIM yang kini tidak lagi mencerminkan sebagai tempat aktifitas seniman. Kehadiran lembaga-lembaga di luar kesenian menghancurkan memori kolektif tentang TIM yang dulu disegani sebagai tempat penasbihan seniman tanah air.

“Apakah kita masih membutuhkan TIM?” tanya Imam dengan nada retoris.

Sementara Yon Bayu menjelaskan mengapa menulis tentang para seniman yang berkegiatan di TIM.  “Idenya sederhana saja, bahwa gagasan dan pemikiran siapa saja yang pernah dan sedang berkiprah serta berproses di TIM layak dicatat. Tidak hanya mereka yang telah menjadi legend. Saya meyakini, naiknya seseorang tidak terlepas dari orang-orang di sekitarnya, teman diskusinya, pemuji dan pengkritiknya, bahkan yang menjadi “anak tangganya”,” ujar Yon Bayu.

Acara semakin semarak ketika memasuki sesi tanya jawab. Sebagian memuji, namun tidak sedikit juga yang mengkritik.

“Buku Mereka Ada di TIM merupakan terobosan untuk mencatat kiprah dan pemikiran para seniman. Jika saat ini sebatas mereka yang berkegiatan di TIM, mungkin kelak bisa diperluas cakupannya sehingga jejak dan kiprah para seniman bisa terdokumentasi dengan baik,” ujar Evan Ys  dari Badan Bahasa Kemendikbudristek.

Hal senada dikatakan Ireng Halimun. Menurup perupa yang aktif menggelar pameran lukisan, jejak para seniman, apa pun latar belakanganya wajib dicatat. “Jangan lihat capaiannya saja, tapi catat juga kiprahnya karena tidak semua seniman bisa mencapai puncak, Tetapi mereka sudah berkiprah, sudah berkarya sehingga layak namanya juga ikut dicatat,” tegas Ireng.

Sementara Madin Tyasawan dan Raden Mono Wangsa Saradani menyoroti kurangnya sudut pandang terkait TIM dan membuka peluang terjadinya penyimpangan sejarah karena tidak ada kriteria khusus untuk menyeleksi nama-nama yang dimuat dalam buku tersebut.

“Buku ini tidak memiliki sudut pandang. Sangat disayangkan karena tidak tergambar soal TIM,” ujar Madin, mantan anggota komite Teater Dewan Kesenian Jakarta.

Tampak hadir pengamat sastra Maman S Mahayana, Sunu Wasono, Arief Joko Wicaksono, Putra Gara, Remmy Novaris DM, Slamet Widodo, Kurnia Effendi, Halimah Munawir, Riri Satria, Nanang R Supriyatin, Fanny J. Poyk, Puji Isdriani, Budi Soemarno, Dian Mariyana dan lainnya.

Acara yang dimulai pukul 14.00 berakhir tepat pukul 16.00 WIB yang dilanjutkan dengan acara perpisahan dengan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Jakarta Firmansyah yang telah memasuki masa purnabakti.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini