PojokTIM – Anak-anak tampak riang berlarian mencari tempat kosong yang ditinggalkan kawannya dalam sebuah lingkaran di selasar Lantai 2 Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.  Dengan telaten Endin SAS mengarahkan supaya mereka tertib, tidak bertabrakan dengan temannya. Setelah itu mereka kembali duduk, menghafal dialog dari naskah yang akan dimainkan.

“Untuk trailer (pratonton) film horor,” ujar Endin kepada PojokTIM usai melatih akting dan menghafal dialog kepada 9 anak berusia 5-7 tahun.

Endin dikenal sebagai seniman serba bisa. Selain menulis naskah drama dan script, Endin merangkap sebagai pemain, asisten sutradara (astrada) hingga sutradara film. Di dunia kepenyairan, Endin telah menerbitkan antologi puisi tunggal berjudul Color Bar yang sampai sekarang masih bisa dibeli di marketplace. Endin yang mengawali karirnya dari teater, juga pernah pentas komedi secara rutin di Ancol, bahkan pernah main lenong menggantikan Mandra ketika komedian Betawi itu berhalangan hadir dalam sebuah acara.

“Sekarang saya banyak berkegiatan di Jakarta Timur. Kalau di Pusat, hanya bantu-bantu, atau ketika ada festival. Kadang juga menghadiri acara yang dibuat oleh teman-teman untuk memberikan dukungan,” ujar Endin.

Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Endin SAS yang dilakukan, Jumat (4/7/2025).

Tadi melatih anak-anak untuk pementasan teater atau film?

Itu untuk film. Talent-talent yang akan ikut syuting. Rencananya untuk film disabilitas. Tapi karena kita juga akan bikin trailer horor, dan mereka ingin ikut, jadi sekalian saja latihannya.

Apa kesulitan utama saat melatih anak-anak?

Mendisiplinkannya. Mereka masih senang bermain, tidak mau tertib. Lari sana, lari sini. Biasanya setelah 24 kali pertemuan, mereka mulai paham dan bisa mengikuti ritme latihan dengan lebih tertib. Tetapi tergantung orang tua juga. Kalau lagi latihan ada orang tuanya, mereka akan sering lari ke orang tuanya. Minta minum, minta jajan. Ada saja alasannya agar tidak ikut latihan. Makanya, saat latihan biasanya saya suruh orang tuanya menjauh. Tidak berada di sekitar lokasi latihan supaya anak-anak fokus.

Bagaimana memilih talent?

Umumnya mereka dari sanggar, jadi sudah punya kemauan sendiri. Kalau untuk trailer, di tahap awal, kita langsung menentukan peran dan memberi kesempatan untuk berlatih. Nanti kita adakan evaluasi. Yang tidak kalah penting ada support dari orang tuanya. Biasanya para orang tua membantu konsumsi atau kebutuhan lain selama latihan.

Namun untuk full movie, kita saring lagi. Bagi yang belum layak, tidak kita libatkan karena bisa mengganggu jadwal produksi.

Sejak kapan main teater?

Sejak tahun 1988. Saya memang berangkat dari teater, tapi otodidak. Pernah bergabung banyak seniman termasuk Remy Sylado. Saya juga pernah bergabung dengan Lenggang Jakarta pimpinan Muchtar Effendi yang homebase-nya di Kemayoran. Sekarang saya punya grup teater sendiri. Namanya Dokter Teater, khusus untuk remaja. Sedang untuk anak-anak saya punya Sanggar Khatulistiwa. Keduanya di Jakarta Timur.

Bagaimana awalnya Anda terjun di film?

Dari teater, saya banyak berkenalan dengan orang-orang film. Sampai kemudian, sekitar tahun 1994, saya bergabung dengan Idola film, punya Maria Oentoe. Dalam perjalanannya, saya banyak bekerja sama dengan orang-orang akademisi seperti Didi Petet, Sena A Utoyo, dan lain-lain. Saya pernah jadi asisten Didi Petet di beberapa film yang diproduksi PH (production house)-nya. Waktu itu Didi Petet tidak puas dengan asisten dari mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta), sehingga kemudian merekrut saya dan Bejo Sulaksono. Kalau Bejo jadi astrada, saya yang bikin script. Lain waktu Bejo jadi sutardara, saya astradanya.

Di film, saya berperan apa saja, termasuk menjadi property man. Di samping itu, saya belajar menulis script hingga jadi astrada. Meski demikian, dalam setiap produksi, saya juga ikut main. Termasuk ketika menjadi astrada. Misalnya ketika jadi asistennya John D Rantau untuk 2 film, Wage dan Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi, saya juga ikut main.

Kalau di teater pernah tampil di mana saja?

Saya pernah pentas di hampir semua panggung di TIM. Saya juga pernah tampil di CCF (Centre Culturel Francais, kini IFI-Institut Francais d`Indonesie) Kedubes Prancis. Pernah juga pentas di gedung Indonesia Kaya. Dulu pernah pentas komedi di Ancol, rutin tiga bulan sekali.

Kabarnya pernah main lenong?

Saya hanya bantu di bidang artistik, di Sanggar Batavia. Tetapi memang pernah main lenong karena darurat. Saat itu group lenong Mandra tidak bisa pentas karena Mandra sebagai ikonnya tidak tampil. Nah, akhirnya digantikan grup kami, Panggung Artis Ibu Kota (PAPIKO), yang baru berlatih sebulan. Meski PAPIKO sudah dijadwalkan pentas pertiga bulan oleh pihak Ancol, namun kami tetap menerima tawaran itu dan langsung manggung karena kami sudah terbiasa melakukan improvisasi di panggung. Jadi tidak ada kesulitan .

Anda sudah terlibat dalam berapa film?

Tidak terhitung, banyak sekali. Tapi paling berkesan saat jadi astrada untuk film Pelangi di Matamu di mana Mona Ratuliu menjadi bintangnya.

Film genre apa yang paling sering Anda mainkan?

Kalau di film, saya pernah main hampir di semua genre dari musikal, drama, drama komedi. Yang belum cuma main di film perang.

Bagaimana Anda melihat kondisi perfilman sekarang dengan tahun 90-an?

Dulu sutradara masih memiliki otoritas sebagai kapten di lapangan, sehingga bisa menentukan pemain. Otoritasnya kuat dan tidak bisa ditawar. Produser dan pemain wajib mengikuti arahan atau keputusan sutradara. Kalau sekarang tidak bisa. Campur tangan produser sangat menentukan. Misal kita sudah menentukan pemainnya A, tiba-tiba produser nitip pemain. Mau tidak mau kita harus pasang. Bahkan pemain pun kadang ikut campur. Aneh, tapi begitulah kondisi saat ini.

Berapa banyak film yang sudah pernah tayang di bioskop jaringan Cinema 21?

Sudah ada beberapa, jumlahnya saya lupa. Tapi yang pasti tidak semua film bisa tayang di Cinema 21. Gampanag-gampang susah. Kalau sekedar masuk, mudah. Tapi untuk tayangnya, susah. Sampai sekarang kabarnya masih ada 300 film horor yang antri untuk tayang. Tapi produksi horor terus jalan. Dua produksi film horor saya juga sudah selesai syuting. Judulnya Tahajud dan Guna-guna Pelakor di mana saya sebagai astrada sekaligus pemain. Namun sampai sekarang film itu belum ditayangkan.

Genre horor masih punya penonton?

Masih banyak peminatnya. Misalnya di Jakarta tidak meledak, bisa saja penontonnya meledak di Jawa Barat atau di Jawa Timur. Karena horor dekat dengan keseharian kita. Lingkungan kita juga masih dipenuhi cerita horor. Lagi pula biaya produksi film horor tidak terlalu tinggi. Bahkan dengan budget minimalis masih bisa dikerjakan. Namun sayangnya, cerita horor Indonesia masih berkutat di Jawa. Padahal di luar Jawa, juga banyak budaya horor. Kalimantan, Sulawesi, Papua, banyak menyimpan cerita horor yang belum tergali oleh sutradara maupun penulis.

Menurut Anda, apa yang membedakan teater dengan film?

Saya menganggap film hanya sebagai industri. Kita kerja dapat uang, sehingga kurang puas secara batin. Dulu proses produksi satu episode FTV selama 2 minggu, atau 10 hari, sehingga kita punya waktu untuk melakukan eksplorasi. Misal akting pemain kurang, masih bisa kita poles. Kalau sekarang, targetnya hanya 3-4 hari untuk produksi. Jadi sulit untuk menjaga mutu. Kalau di teater, prosesnya bisa berbulan-bulan sehingga kualitas terjaga. Di situlah kita mendapat kepuasan batin.

Apa komentar Anda tentang TIM yang sekarang?

Suasananya berbeda. Kita menjadi berjarak dengan teman-teman. Dulu antar anggota grup membaur. Meski grup kita berbeda, namun selesai latihan, kita ngumpul. Dalam berkreasi kita boleh beda-beda, apalagi misalnya untuk festival di mana kita bersaing. Tetapi di luar itu tetap berbaur.

Keberadaan gedung-gedung yang sekarang bukan berarti jelek. Semua pasti berubah mengikuti perkembangan zaman. Hanya saja ada beberapa hal saya anggap tidak berpihak pada seniman. Salah satu yang mencolok adalah gedung Graha Bakti Budaya di mana sewanya sampai ratusan juta. Pemerintah tidak bijak. Ini kan tempat orang berkreasi dan berekspresi. Teater butuh waktu berbulan-bulan untuk produksi dan cari sponsor. Jika harus membayar sewa gedung ratusan juta,  dari mana bisa menutup biaya produksi.

Okelah ada gedung alternatif seperti PPSB (Pusat Pelatihan Seni Budaya). Tapi lucu juga kalau seniman Jakarta tidak bisa pentas di TIM yang menjadi pusat kesenian. TIM menjadi sangat eksklufif. Kalau ingin bangun gedung dengan sewa mahal, mestinya jangan di situ, tapi di luar TIM.

Ada pesan untuk generasi muda?

Terus berbuat, berkarya, di masa saja. Jangan lihat tempatnya, tidak harus di TIM. Karena tanggung jawab seorang seniman adalah karya, bukan tempat.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini