PojokTIM – Ratusan orang mengenakan pakaian, slayer, topi hingga hijab berhias manik-manik berwarna kuning, merah, putih dan hijau memenuhi aula PDS HB Jassin di komplek Taman Ismail Marzuki, Ciikini, Jakarta Pusat untuk merayakan Hari Didong tanggal 5 Agustus 2025. Ini merupakan perayaan kedua sejak ditetapkan Hari Didong tahun 2024. Sementara sejak 2015 Didong telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.

Acara berlangsung cukup meriah dengan penampilan Sanggar Pegayon dan Didong Banan Rembune dan dihadiri sejumlah tokoh Gayo baik yang datang langsung dari Aceh, maupun yang tinggal di Jakarta. Di antaranya Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar, Ketua Masyarakat Gayo Jabodetabek Almujaini Abdul Karim, penyair Didong LK Ara, penggiat kesenian Gayo Devie Matahari, Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi, Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bogor Putra Gara, Irmansyah- tokoh di balik penetapan Hari Didong, Mustafa Ismail dan tokoh Gayo lainnya.

Penyair yang bukan berlatar Gayo turut meramaikan Hari Didong seperti Jose Rizal Manua, Ical Vrigar, Iin Zakaria, D Kemalawati, Octavianus Masheka, hingga Ratna Ayu Budhiarti yang datang dari Garut.

“Kesenian Didong Jalu atau tanding pertama kali dipentaskan di Jakarta oleh Lembaga Kebudayaan Gayo Alas pada tanggal 3 dan 4 April 1961 di gedung Pemuda DKI mempertemukan dua grup yakni Bujang Renggali dan grup Renah Rembune. Bujang Renggali terdiri dari mahasiswa dan pemuda Gayo yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta, Sementara  Renah Rembune beranggotakan pemuda dan mahasiswa Gayo yang bermukim di Jakarta,” ujar Fikar W Eda saat menjadi pembicara dalam perayaan Hari Didong yang mengusung tema Jiwa Gayo, Merayakan Didong. Diskusi yang dipandu Irma K Syahni juga menghadirkan Ketua Sanggar Pegayon Ajli Rahmadi dan Azam Musara, mewakili ayahnya yang merupakan maestro Didong, Ceh Udin Musara.

“Pertunjukan Didong dan seni Gayo lainnya pertama kali disiarkan oleh TVRI pada 9 Maret 1970, atau hanya beberapa hari sebelum pertunjukan Didong Jalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 27 Maret 1970. Inilah pertunjukan didong pertama yang penyairnya (ceh) didatangkan langsung dari Gayo.,” terang  Fikar W Eda yang juga sastrawan dan jurnalis senior.

Sejak itu, demikian Fikar, pertunjukan Didong diselenggarakan hampir tiap tahun dan berlangsung sampai sekarang. Bahkan pada tahun 2012, Didong pernah dipentaskan di atas bus Transjakarta yang melaju dan beroperasi seperti biasa.

“Penumpang bus naik-turun karena di setiap halte bus berhenti. Karena penumpangnya beragam etnis, syair menggunakan Bahasa Indonesia, namun pola rima, tepuk, lagu, dan ciri Didong lainnya tetap dipertahankan,” urai Fikar.

Fikar W Eda. Foto: PojokTIM

Pendapat Fikar diamini Ajli. Menurut pemuda kelahiran 1996 itu, saat ini kesenian Didong sudah banyak digemari, bahkan oleh masyarakat dari etnis di luar Gayo. ‘Saya mengajar Didong di 6 sekolah di Jakarta dan Bekasi. Mereka sangat antusias berdidong. Namun karena pelajar umumnya bukan orang Gayo, syair Didong menggunakan Bahasa Indonesia. Jadi disesuaikan tempatnya,” ujar Ajli.

Sementara Azam bukan hanya menceritakan kiprah ayahnya, namun juga mempraktekkan permainan Didong yang membuat ruangan menjadi lebih meriah.

Untuk diketahui, Didong adalah kesenian tradisi lisan yang telah berkembang di tanah Gayo sejak ratusan tahun lampau. Didong merupakan perpaduan seni tari, vokal, dan sastra. Biasanya Didong ditampilkan secara berkelompok hingga 30 orang, dengan gerakan yang ekspresif sambil duduk bersila. Musiknya berasal dari tepukan tangan, bantal dan hentakan kaki.

Selain hiburan, Didong juga berfungsi sebagai media penyampaian pesan moral, agama, sosial, bahkan perjuangan. “Syair Didong menjadi penyemangat saat pemuda Gayo melawan tentara Belanda di daerah Karo,” ujar Almujaini.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini