Oleh Ahmadun Yosi Herfanda*

Sekitar 18 tahun yang lalu Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) dimulai di kota Medan. Sekitar 50 penyair dari lima negara di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand) berkumpul di sebuah hotel, diprakarsai oleh Laboratorium Sastra Medan. Melalui puisi kita saling mengenali, saling memahami, saling mengapresiasi. Pertemuan terasa menjadi penting, dan harus dilanjutkan ke tahun berikutnya.

Rasa persaudaraan kita terusik oleh puisi, dan tiba-tiba kita merasa perlu ada pengikat rasa persaudaraan itu. Rasa persaudaraan yang berpendar dalam puisi. Lalu, disepakatilah pertemuan tahunan secara bergilir dengan nama Pesta Penyair Nusantara (PPN). Setahun sekali rasa persaudaraan itu akan kita eratkan lewat puisi dalam sebuah pesta penyair.

Kesepakatan itu tentu tidak main-main, sebab ditandatangani oleh tokoh-tokoh dari komunitas sastra dan lembaga studi nusantara dari lima negara. Dari PENA Malaysia ada Mohamad Saleeh Rahamad dan S.M. Zakir. Dari Komunitas Sastra Indonesia (KSI) ada Viddy AD Daery dan Ahmadun Yosi Herfanda. Dari Laboratorium Sastra Medan ada Afrion. Dari Asterawani (Brunei Darussalam) ada Zefri Ariff. Dari Nusantara Studies (Thailand) ada Nik Rakib bin Nik Hassan. Dan dari Asas 50 Singapura ada Djamal Tukimin. Mereka berkomitmen untuk membawa PPN ke negara masing-masing secara bergiliran.

Ibarat sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, PPN juga dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama antar komunitas sastra di negara-negara ASEAN, dan untuk melihat perkembangan perpuisian di negara masing-masing. PPN kemudian menjadi alasan bagi para penyair di negara-negara serumpun itu untuk bertemu secara berkala dalam suatu “pesta”.

Puisi agaknya memang selalu mempertemukan kita: saudara, sahabat, pacar, rekan, kawan. Dan, demi puisi pula kita merasa perlu berjumpa dalam sebuah “pesta penyair”. Pesta itu pun kita kita sepakati untuk kita adakan tiap tahun, dengan nama Pesta Penyair Nusantara (PPN).

Pertemuan penyair di Medan kita anggap sebagai PPN yang pertama. Kediri kemudian berinisiatif menyelanggarakan pesta yang kedua. Kemudian Brunei Darussalam, Kuala Lumpur, Pelembang, Jambi, Singapura, Thailand, Tanjung Pinang, Banten, Kudus, Kuala Lumpur (untuk kedua kalinya), dan tahun 2025 ini Jakarta menjadi tempat perhelatan.

Tidak terasa PPN telah dilancarkan di 12 kota di Asia Tenggara. Ketika PPN IV dilaksanakan di Kuala Lumpur, sempat ada perubahan penting. Kuala Lumpur mengingatkan agar para penyair tak sekadar berpesta, yang kesannya suka bersenang-senang saja. Kata “pesta” lalu diganti “pertemuan” – Pesta Penyair Nusantara menjadi Pertemuan Penyair Nusantara.

Perhelatan di Kuala Lumpur membuat pertemuan para penyair menjadi lebih bermakna. Pada PPN XII, kita kembali berjumpa di Kuala Lumpur, dan Jakarta tahun 2025 kembali mempetemukan para penyair Nusantara. Kita akan merancang perubahan apa lagi? Adakah yang lebih berarti dari sekadar berkumpul, berdiskusi, membaca puisi, dan menerbitkan buku antologi puisi?

***

Tidak terasa PPN sudah berjalan sekitar 18 tahun, sejak dideklarasikan di Medan pada tahun 2007. Banyak perubahan yang terjadi selama 18 tahun itu. Setidaknya kita sudah semakin tua.

Dulu, 18 tahun yang lalu, karena kita masih merasa muda, kita menggagas pentingnya forum pertemuan bagi penyair-penyair muda dari negara-negara serumpun, karena kita melihat bahwa PSN – Pertemuan Sastra Nusantara – ketika itu sudah didominasi oleh orang-orang tua.

Sekarang, setelah kita sama-sama tua, apakah yang harus kita gugat? Atau, kita persilakan saja yang muda-muda, para penyair muda, para penyair  melinial, menggugat kita. Apakah kita melupakan mereka, sehingga mereka merasa harus menggugat kita?

Setidaknya, sudah saatnya kita bertanya, akan dibawa kemanakah PPN? Sekarang saatnya kita bertanya, sudah menghasilkan apakah selama 13 kali PPN?

Tiap kali PPN dilancarkan, selalu diterbitkan sebuah buku antologi puisi karya para penyair dari lima negara serumpun: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand. Saya membayangkan, betapa tebalnya kalau 13 buku antologi puisi itu disatukan? Di dalam antologi tebal akan terbaca peta perkembangan perpuisian di lima negara serumpun itu.

Tentulah buku kumpulan puisi tebal itu akan sangat berarti bagi studi-studi sastra kita. Lebih khusus, studi tentang puisi-puisi Nusantara, bagaimana kecenderungan tematiknya, bagaimana kecenderungan puitiknya, bagaimana pula aspek-aspek intertekstual yang mempengaruhinya. Tentu hasilnya akan sangat menarik dan menginspirasi penciptaan puisi-puisi nusantara berikutnya.

Tiap kali dilancarkan PPN juga diperbincangkan berbagai topik yang menarik, berbagai isu yang aktual ketika itu, oleh banyak pemakalah, oleh banyak pemikir sastra. Saya membayangkan, jika makalah-makalah, prasaran-prasaran, itu dikumpulkan, dibukukan, dan diterbitkan, tentu akan sangat berarti bagi kita, dan generasi setelah kita, generasi milenial dan generasi Z, untuk mengkaji pemikiran-pemikiran generasi kita. Bahkan, kita bisa berkaca, seperti apa isi kepala kita pada saat itu.

Oleh karena itu, saya sangat berharap, pada PPN XIV yang akan datang, bisa diterbitkan antologi puisi 19 tahun PPN. Agar tidak terlalu tebal, kiranya dapat dipilih puisi-puisi terbaik dari antologi-antologi puisi PPN yang telah terbit. Akan sangat ideal jika dapat diberi pengantar yang komprehensif tentang puisi-puisi itu.

Bersamaan dengan itu, alangkah baiknya jika bisa diterbitkan juga buku kumpulan makalah dari PPN I hingga PPN XIII, dan dipilih makalah-makalah terpenting yang mewakili kecenderungan pemikiran di tiap negara serumpun ketika itu.

***

Melihat apa yang telah dihasilkan PPN I hingga PPN XIII ini, dan mengingat harapan kita, sejujurnya PPN tidak sekadar mempererat rasa persaudaraan melalui puisi. Puisi memang menjadi alasan utama kita untuk bertemu. Tetapi, PPN bisa memberi arti lebih dari itu. PPN juga bisa dikemas secara lebih kreatif lagi, dengan agenda-agenda yang lebih segar sesuai tuntutan zaman.

Banyak ide kreatif yang belum sempat kita wujudkan. Misalnya, ide untuk memberikan penghargaan sastra versi PPN yang baru sempat kita berikan sekali di Thailand, atau ide adanya Anugerah Penyair Nusantar seperti yang direkomendasikan pada PPN Banten, serta penyempurnaan ragam kegiatan PPN.

Sekarang tergantung pada kita PPN akan kita bawa ke mana? PPN akan berlanjut dan terus berlanjut, entah sampai kapan. Sepanjang masih ada yang bersedia menjadi tuan rumah, sepanjang masih ada yang bersedia menyelenggarakannya, PPN akan terus berjaya. Itulah komitmen kita. Jika panjang usia, kita masih akan berjumpa pada PPN-PPN berikutnya. Semoga!

***Ahmadun Yosi Herfanda dikenal sebagai sastrawan Indonesia yang aktif menulis puisi, cerpen, dan esei sastra. Beberapa karyanya telah diterbitkan di berbagai media sastra dalam dan luar negeri. Saat ini menjadi Ketua Panitia PPN XIII di Jakarta yang akan berlangsung 11-14 September 2025

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini