Membaca Kumpulan Puisi “Rindu di Ruang Tungku”: Antara Kesedihan, Kesunyian dan Kegaduhan

Oleh Nanang R. Supriyatin

“Berusahalah yang keras, sebab bintang-bintang
bersembunyi dalam dirimu. Bermimpilah yang dalam,
sebab setiap tujuan diawali oleh mimpi.” – Rabindranath Tagore

Ungkapan Rabindranath Tagore, seorang penyair India (7 Mei 1861 – 7 Agustus 1941) di atas, adalah satu dari sekian banyak ungkapan berbentuk quotes yang disampaikan para penyair dunia dengan beragam tagline – misalkan tentang rindu, kesetiaan, harapan atau pun keputusasaan. Tak berlebihan, mungkin, akan kita temukan puisi-puisi penyair Indonesia yang memiliki kesamaan atau pun kesamaran dengan sebagian larik-larik puisi penyair dunia. Merujuk pada quotes di atas, dan setelah membaca puisi-puisi Nurhayati – saya yakin dengan berusaha yang keras akan diperoleh tujuan yang berupa bintang-bintang (baca: harapan).

Dalam judul “Gamang 1”, “Gamang 2”, dan “Gamang 3”, Nurhayati menggambarkan arti kesendirian, kesunyian dan pengharapan melalui lirik-lirik yang di eksplorasi dengan membawa kesan bilamana kehidupan dapat dilukiskan dengan kata-kata. “hari beranjak malam matahari kian tenggelam/ hujan kuharap menyejukkan” (Gamang 1, baris 3 & 4). Sebuah percakapan batin seorang manusia dengan alamnya. Kemudian di sambung dengan, “kanvas semesta hadirkan lukisan lama/ aku tak butuh pensil baru/ cukup kuraut sisa yang ada” (Gamang 2, baris 3, 4 & 5). Baris-baris ini mengungkapkan seorang yang pasrah tapi bijak dalam mengambil keputusan.

Tidak berhenti pada ungkapan di atas. Dalam Gamang 3, Nurhayati memberi ucap rasa syukur. Apapun yang ada di depan, akan ia hadapi. Seperti ungkapnya, “aku menemukan sekuntum rindu/ mekar dalam pikiran malam/ tersenyum di kegamangan/ tentang angin dan hujan” (baris 1, 2, 3 & 4).

Kata “gamang” dalam Bahasa Indonesia berarti merasa takut, ngeri, dan khawatir ketika melihat ke bawah dari tempat tinggi, atau dalam konteks yang lebih luas, merasa ragu-ragu atau takut akan sesuatu yang belum jelas. Nurhayati dalam tiga puisinya ini mencoba melawan rasa ngeri, khawatir dan ketakutan. Dalam kesunyian, ia mampu berkontemplasi dengan ruang-ruang terbuka, bahkan ruang-ruang yang mungkin tak terjangkau dengan manusia biasa.

GAMANG 1

berjalan sendiri tak punya nyali
di bawah terik memanggang hanya sedikit keberanian kusandang
hari beranjak malam matahari kian tenggelam
hujan kuharap menyejukkan
semoga tak membadai hingga aku pun takut berandai
jika saja bulan memaafkan
meski sinarku tak sesempurna harapan

Bekasi, 20.09.2021

GAMANG 2

ketika aku bangun pagi
tak satupun hal bisa kupamerkan
kanvas semesta hadirkan lukisan lama
aku tak butuh pensil baru
cukup kuraut sisa yang ada
kusematkan yakin seiring fajar nuju terik
melukis telaga kecil dengan bening mata air
juga sebatang pohon beringin rimbun di sisi timurnya

Bekasi, 24.06.2023

GAMANG 3

aku menemukan sekuntum rindu
mekar dalam pikiran malam
tersenyum di kegamangan
tentang angin dan hujan
lalu kubujuk ia
agar tidur saja berselimut lengkung bulan
tentang keinginan masa depan
biarkan dirajut impian

Bekasi, 07.08.2024

Nurhayati adalah seorang perempuan penyair yang tak mudah pasrah, dalam keadaan dan situasi apapun. Alam semesta dan kehidupan batiniah, adalah inspirasi yang tak habis-habis digali. Ada saatnya ia memanfaatkan kuas di atas kanvas, atau memanfaatkan gadget untuk sebuah ungkapan puisi. Di saat yang lain, ia harus berjuang sebagai seorang perempuan sebagaimana perempuan-perempuan yang berjuang untuk kemanusiaan. Dengan tanpa disadarinya, ia akan merasa Lelah dan kemudian lelap tertidur. Tak sadar saat bermimpi, ia pun bertanya: kenapa tak ada cinta?

Kesendirian dapat menggambarkan perasaan yang terisolasi atau keterasingan seseorang. Kesunyian bisa berupa ketenangan dan kedamaian. Dan, bagi penyair yang batinnya mudah tersentuh, kesendiran dan kesunyian memungkinkan lahirnya kegaduhan (dalam diri sendiri).

SENDIRI

malam serupa jelaga
bulan tertidur

bintang tak terjaga
kisah-kisah lebur

terlelap kemudian mimpi tak ada cinta

Bekasi, 26.01.2024

Dalam kesunyian dan kesendirian, pandangan matanya bagai melihat konfigurasi di hamparan puisi. Batinnya meledak-ledak ketika membaca retorika yang menusuk-nusuk ulu hati. Bukan berarti ia tak waras saat terpingkal-pingkal menyaksikan kedunguan yang bergumpal-gumpal.

DUNGU

aku melihat konfigurasi aneh di hamparan puisi
kalimat retorika menusuk balik pemilik kata
diksi tumpah bagai sumpah patah-patah
satu persatu abjad terpingkal-pingkal
menyaksikan kedunguan bergumpal-gumpal

Bekasi, 18.07.2024

Dalam puisi “Menua”, kita membaca lirik simbolik. Nurhayati coba men-satire-kan ungkapan usia manusia, layaknya sebuah pohon yang kian lapuk. Sebagaimana George Burn, aktor AS (20 Juni 1896 – 9 Maret 1996) mengatakan, “Usia hanyalah soal pikiran. Jika Anda tidak mempermasalahkannya, itu tidak masalah.” Kutipan ini menekankan bahwa sikap positif terhadap usia dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih baik.

MENUA

satu persatu daun luruh ke bumi
pohon itu semakin tua saja usia
melapuk di sana sini
rayap juga jamur menggerogotii batang
lumut melapisi sebagian kulitnya

satu masa begitu rimbun
tegap kokoh menahan gempuran
musim singgah silih berganti
hujan terik tak membuatnya resah

masa telah menuliskan awal dan akhir
menuju senja di pintu waktu
dedaunan berguguran
reranting mengering rapuh

Jakarta, 27.04.2024

Kumpulan puisi tunggal Nurhayati ini berjumlah 89 puisi, dengan titimangsa September 2020 – Maret 2025. Sebagaimana kumpulan puisi tunggalnya terdahulu, “Pancaroba” – pada “Rindu di Ruang Tunggu” – ia tetap konsisten pada jalur puisi naratif, ditulis dalam kesendirian, kesunyian dan kadang ke’gaduh’an batin. Ada pesan yang ingin disampaikan penyair. Bahwa untuk menulis puisi bisa datang dari hal-hal terdekat. Sebuah lukisan, pohon, bulan dan pergulatan batin, adalah inspirasi yang tumbuh dan bisa dikembangkan. Secangkir kopi dan senja yang berlabuh akan menjadi kebahagiaan saat berkontemplasi.

Tentang Nurhayati

Dalam bionarasi di halaman terakhir, tertulis Nurhayati adalah pelukis, penulis, pembaca puisi, pembaca cerita, pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi. Lahir di kota dingin, Wonosobo bulan Oktober. Saat ini tinggal dan menetap di Bekasi, Jawa Barat. Selain Kumpulan puisi tunggalnya terdahulu, “Pancaroba” (2023), puisi-puisi dan cerita pendek wanita penyair ini bisa dijumpai di beberapa buku antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri.

 

Bagikan ke Media Sosial

Pos terkait