Kalau boleh, aku ingin kembali ke masa dua puluh tahun silam. Pada sepotong sore ketika aku menghalau sebelas ekor kambing dari padang rumput dengan sehelai cemeti dari bambu di tanganku dan botol air yang telah tandas.
Ada kebahagiaan tersendiri setiap kali kulihat kau berdiri di batas desa. Seperti biasa, tanganmu selalu bertaut di belakang bak prajurit militer istirahat di tempat, menunggu sipir membawa kembali para tawanan.
Kambing – kambing dewasa tidak tahu diri. Berlari cepat hingga aku kepayahan menyusul. Kadang-kadang melompat ke ladang orang dan memakan tanaman hingga aku terpaksa mengejar. Padahal aku harus membopong seekor anaknya yang kekenyangan.
Aku merindukanmu.
Senja di pelataran kini terasa hambar. Sunyi. Padahal aku berharap suara bentakanmu tetap menghiasi. Memarahiku yang malas mandi, mengabaikan bau anak kambing menempel di badan.
Tak pernah kulewati senja tanpa melihatmu merangkul seikat ranting kering dan membawanya ke perapian. Menyalakan tungku dan memasak makan malam. Dalam tiap suapan aku berhayal tentang masa depan. Suatu hari nanti, aku akan masak yang enak untukmu. Kita tidak akan terus makan nasi tiwul dengan urap atau sambal kacang lagi.
Kini kambing-kambing itu sudah tidak ada. Kau juga sudah tidak ada. Aku bisa saja pergi ke padang rumput tanpa kambing-kambing itu, tetapi bila aku kembali apa kau akan menunggu di batas desa?
Ada gelegak pilu dan sebongkah kehilangan. Rumput-rumput tidak berubah dan senja masih di tempat yang sama. Tetapi kepergianmu membuat semuanya berubah. Sungguh, kalau boleh aku ingin kau kembali.
Mbah, aku rindu …
-Surakarta, 20 Mei 2016-