Cerpen Humam S. Chudori

            “Kalau Kayla sudah selesai mandi, jangan lupa masak air!” perintah Nilarosa, “Saya mau mandi pakai air hangat.”

Dug. Dada Komalawati langsung terasa sesak. Laksana kena tinju. Jantungnya berdetak tidak menentu. Hatinya tersayat. Perasaannya teriris. Sakit. Perih. Kepalanya mendadak pusing. Matanya berkunang-kunang. Perempuan tua yang tengah berjongkok – saat memandikan sang cucu – itu langsung terduduk di lantai kamar mandi. Tangannya yang gemetar langsung meraih ember yang berisi air dan sang cucu. Andaikan tak berbuat demikian, hampir dipastikan, ia akan terjatuh.

Komalawati marah. Kesal. Jengkel. Sedih. Kecewa. Sakit rasanya mendengar ucapan sang anak. Namun, ia tidak hendak melontarkan kemarahannya kepada Nilarosa. Ia tak mengucapkan kalimat apa pun kepada anaknya. Sebab ia tak ingin Nilarosa mengalami hal yang tak diharapkan.

Perempuan yang sebagian besar rambutnya sudah memutih itu masih ingat tatkala Zulfa melontarkan kemarahan kepada Murdani. Akibatnya fatal. Murdani mengalami kecelakaan lalu lintas. Kakinya patah terlindas mobil. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit selama tiga hari.

Peristiwa itu terjadi kurang dari duapuluh empat jam sejak Zulfa melontarkan kemarahan. Komalawati tahu persis, karena Zulfa tetangga depan rumahnya.

Ya, ketika itu Komalawati sedang menyapu halaman rumah. Ia mendengar ibu dan anak itu  bertengkar. Adu mulut. Berteriak-teriak.

Tidak lama kemudian Murdani keluar. Menstater sepeda motornya.

“Hey. Tunggu! Ibu mau bicara,” kata Zulfa, menyusul anaknya yang sudah duduk di jok motor. Namun, pemuda itu tak menggubris omongan sang ibu. Ia langsung melarikan kendaraan roda dua itu. Pergi.

“Dasar anak kurang ajar. Diajak ngomong malah pergi,” Zulfa masih melontarkan kekesalan, “Pergi yang jauh sekalian. Daripada menyusahkan orangtua. Kalau perlu selamanya. Tidak usah pulang daripada …”

“Kenapa Nenek menangis,” Kayla membuyarkan lamunan Komalawati.

“Siapa yang menangis?”

“Ya, Nenek. Masa Kayla?” kata Kayla, “Itu airmatanya menetes di pipi.”

“Ini bukan airmata,” elak Komalawati, sambil menyeka airmata yang mengalir di pipinya dengan punggung tangan, “Ini cipratan air waktu mengguyur badan kamu.”

“Kalau cipratan air pasti tidak cuma pipi yang kena. Mata nenek juga basah, kok,” ujar gadis kecil itu. Protes.

Rupa-rupanya Kayla cukup cerdas. Ia tak bisa dibohongi sang nenek.

“Kenapa Nenek menangis?” ulang Kayla, “Nenek sakit?”

“Kamu sampoan dulu ya,” Komalawati mengalihkan pembicaraan.

“Tadi pagi kan sudah, Nek.”

“Oh, ya Nenek lupa.”

Komalawati masih mengeringkan tubuh Kayla dengan handuk. Perintah Nilarosa sudah terdengar lagi, “Belum masak air juga?”

“Kayla belum pakai baju, Ma,” Kayla yang menjawab pertanyaan Nilarosa.

Komalawati serasa seperti seorang babu. Rasanya ia ingin menangis jika tak berada di depan Kayla.

***

Malam itu, Komalawati nyaris tidak bisa tidur. Kendati seluruh tubuhnya sangat lelah. Perlakuan Nilarosa selama ini sangat menyakitkan. Ia merasa diperlakukan bukan sebagai orang yang telah melahirkan Nilarosa.

Nilarosa mulai jarang memanggilnya dengan sebutan ibu kepada perempuan yang telah melahirkan dirinya, setelah Kayla terjatuh saat dalam asuhan sang nenek. Tetapi, bukan berarti Nilarosa memanggil orangtua perempuan baya itu dengan sebutan nenek seperti sebelumnya. Ini pun tidak. Tidak sama sekali. Melainkan tak ada kata apa pun kecuali kalimat perintah atau pertanyaan yang keluar dari mulut pegawai bank swasta itu.

Ya, jika Nilarosa menyuruh ibunya. Ia hanya melontarkan pertanyaan – tanpa embel-embel apa pun. “Rumah kok belum dipel?” atau “Kok berantakan sekali rumah ini,” demikian kata Nilarosa, apabila ia pulang dari kantor dan melihat rumahnya kotor.

Kadang-kadang Nilarosa berkata, “Sudah masak dulu sana! Nanti keburu siang. Saya kan tidak bisa masak,” Jika hari menjelang siang Komalawati belum ke dapur, saat pada hari libur, apabila Johni  tak ada di rumah. Ketika Johni bertugas keluar kota.

Anehnya, ia tidak mampu berbuat apa-apa, apabila Nilarosa melontarkan perintah. Ia menurut saja layaknya robot.

Memang. Nilarosa tidak bisa memasak. Bahkan sekedar menanak nasi pun, ia tidak bisa. Perempuan itu tak pernah melakukan pekerjaan rumah. Namun, ini semua gara-gara Komalawati sendiri. Ia selalu melarang anaknya yang semata wayang mengerjakan pekerjaan rumah.  Jika Supandi – suami Komalawati – menyuruh anak itu menyapu, misalnya. Komalawati pasti akan melarang Nilarosa mengerjakannya.

Lalu Komalawati akan berkata, “Yang penting buat anak itu belajar. Kalau mengerjakan pekerjaan rumah nanti bisa ….”

“Tapi, Bu,” potong Supandi, “Mengerjakan …”

“Bapak tak usah khawatir,” Komalawati, memangkas ucapan sang suami, tak memberi kesempatan Supandi mengemukakan pendapatnya, “Pekerjaan rumah tidak perlu diajari.”

“Maksud saya …”

“Sudahlah tak usah dibicarakan. Dulu, saya juga tidak bisa apa-apa,” kembali perempuan itu menghentikan kalimat suaminya.

Jika sudah demikian, Supandi tak akan melanjutkan pembicaraan. Ia tak ingin emosinya terpancing. Lalu terjadi hal-hal yang tak diinginkan di depan sang anak.

Komalawati terlalu sayang terhadap Nilarosa. Apalagi anak itu lahir setelah perkawinan mereka –Supandi dengan Komalawati – berusia sepuluh tahun. Komalawati baru mengandung justru setelah merasa putus asa. Bahkan sudah tak berusaha untuk mendapatkan keturunan.

Setelah tiga tahun pernikahan mereka belum ada tanda Komalawati akan hamil. Mereka  berusaha mengupayakannya – baik secara medis maupun non medis. Namun, setelah lebih dari tujuh tahun usaha mereka tak membuahkan hasil. Mereka pasrah.

Dua tahun setelah tak pernah melakukan upaya apa pun. Tiba-tiba Komalawati terlambat datang bulan. Hamil. Melahirkan bayi perempuan. Diberi nama Nilarosa.

Saking sayangnya terhadap anak yang dilahirkan lewat operasi cesar itu, Komalawati tak ingin anaknya mengerjakan pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah bisa dilakukan pembantu jika Nilarosa kerja di kantor, demikian alasan Komalawati jika Supandi menyuruh anak melakukan pekerjaan rumah.

Setengah tahun setelah Nilarosa menikah, Supandi meninggal. Ia minta ibunya tinggal bersamanya. Sebab rumah yang ditempati Supandi dan istrinya selama ini rumah kontrakan.

Pada awalnya Komalawati senang tinggal bersama keluarga anaknya. Apalagi ia merasa dekat dengan sang cucu. Mengurus cucu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya. Hari-hari dilaluinya dengan ceria. Ia bangga bisa mengurus keluarga anaknya. Kebanggaan itu pun sering ia ceritakan kepada para tetangga. Ia juga melarang Nilarosa mempunyai pembantu. Entah merasa sayang jika anaknya harus menggaji pembantu. Entah karena ia merasa mampu mengurusi keluarga anaknya.

Namun, di saat Komalawati tengah bangga-bangganya karena bisa mengurusi keluarga anak sendiri. Perempuan itu justru mulai mendapat perlakuan yang tak menyenangkan. Setelah cucunya terjatuh.

Apalagi setelah ia pernah terlambat masak. Tragisnya nasi yang ditanak Komalawati bukan hanya gosong. Melainkan sebagian besar menjadi kerak. Padahal saat itu di rumahnya akan diadakan arisan.

Sejak itu, Nilarosa semakin tak menghargai ibunya sendiri. Bahkan panggilan Bu tak pernah ia ucapkan.

Sebetulnya Komalawati ingin menceritakan perlakuan anaknya sendiri kepada Johni – menantunya. Namun, setiap kali sudah berhadapan dengan sang menantu tiba-tiba tenggorokan Komalawati seperti terganjal sesuatu. Hatinya pun diliputi ketakutan. Takut kalau dirinya justru dinilai sang menantu sebagai orangtua yang tak mampu mendidik anak sendiri. Akhirnya ia tak pernah curhat kepada Johni.

Bukan sekali dua kali, jika Johni bertugas keluar kota, Nilarosa memperlakukan sang ibu layaknya seorang pembantu. Karena itu, Johni tak pernah tahu bahwa sang mertua mendapat perlakuan yang tak patut dari istrinya.

“Nanti Kamu akan tahu akibatnya kalau anak itu tak pernah disuruh melakukan pekerjaan rumah,” demikian kalimat yang sering diucapkan Supandi terngiang lagi di telinga Komalawati.

“Kamu akan susah nantinya kalau anak itu tak bisa apa-apa,” kata Supandi di lain waktu.

“Kalau saya menyuruh Nilarosa membantu kamu memasak. Biar dia tahu bagaimana menghargai makanan,” Supandi pernah melontarkan hal ini, ketika Nilarosa tidak menghabiskan makanan yang diambilnya sendiri.

Lontaran-lontaran kalimat suaminya, selalu dipatahkan oleh Komalawati. Bahwa seorang istri tidak wajib bisa memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan pekerjaan domestik lain. Jika seorang istri punya karier di kantor bisa menggaji pembantu.

Komalawati ingin anaknya sukses menjadi wanita karier seperti Grace – teman sma-nya – yang mempunyai kedudukan sebagai manager di sebuah perusahaan swasta. Karena itu, ia lebih mementingkan Nilarosa mempunyai prestasi akademik yang bagus daripada sekedar mampu mengurus rumahtangga.

“Kita jangan seperti orangtua dulu yang berpikir perempuan hanya bertugas mengurus urusan domestik. Kita harus buktikan Nilarosa bisa meraih kedudukan yang tidak kalah dengan laki-laki,” demikian Komalawati selalu berkilah.

Percakapan dengan almarhum suaminya bertubi-tubi menghantam telinganya. Ia gelisah. Gelisah. Bingung. Tetapi, tak mungkin ia curhat kepada almarhum. Entah sampai pukul berapa, malam itu, Komalawati tak bisa memejamkan mata. Ia baru tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas.

***

“Kamu tak usah melakukan pekerjaan rumah sekarang. Biar nanti saya cari pembantu,” tiba-tiba Nilarosa melontarkan kalimat ini, saat ibunya hendak pergi ke pasar. Belanja sayuran.

Saat itu, Johni dan Kayla, tak ada di rumah. Mereka baru berangkat ke rumah orangtua Johni.

Komalawati diam.

“Supaya kamu tak ada kerjaan lagi, nanti saya titipkan ke panti.”

Komalawati tetap diam.

“Saya sudah mengurus segala sesuatunya.”

Laksana robot Komalawati menurut saja ketika Nilarosa mengajaknya berangkat ke panti jompo. Ia sama sekali tidak bertanya atau berbuat sesuatu agar sang anak membatalkan niatnya.

***

Belum duapuluh empat jam Komalawati berada di panti, ia sudah disusul menantunya. Ya, Johni mengajaknya pulang. Johni menceritakan bahwa Nilarosa mengalami kecelakaan lalu lintas usai mengantar ibunya. Mobilnya tabrakan dengan truk. Perempuan itu kini terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma.

Johni baru tahu kalau mertua perempuannya dibawa ke panti jompo setelah menemukan surat-surat yang ada di tas isterinya. Lelaki itu tak pernah diajak bicara apabila sang mertua akan dititipkan ke panti wreda.

Mendengar berita ini Komalawati tidak tersentuh sama sekali.  Mematung. Dua orang petugas panti ikut merayunya. Agar perempuan itu menengok anaknya yang terbaring di rumah sakit. Komalawati tak bergeming sama sekali. Bahkan sekedar anggukan atau gelengan kepala tak dilakukannya.***

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini