Cerpen: Yon Bayu Wahyono

Hujan deras tiba-tiba mengguyur jalanan yang kering. Hujan pertama sejak tiga bulan terakhir. Tanda-tanda akan turun hujan sudah terlihat sejak siang. Namun karena sudah beberapa kali hujan urung turun meski seharian mendung pekat menutup dinding langit, orang-orang tetap saja kaget bercampur senang. Seperti dua penarik becak itu. Mereka mengayuh becaknya dengan sangat cepat, seperti sedang berlomba. Tubuhnya kuyup oleh hujan.

Sudah Magrib, keluhku, ketika suara nyanyian riang dari radio di dashboard berganti azan. Aku memutar mobil, lalu menyusuri jalanan di daerah Garuntang, tanpa tujuan. Setelah bosan, aku berganti arah, melarikan mobil dengan kecepatan tinggi di atas jalanan yang lengang. Tiba di depan diskotek aku menurunkan kecepatan. Tirai hujan tampak menari dengan latar lampu warna-warni, saat sedan merah menurunkan penumpang: tiga perempuan muda dalam balutan jaket. Aku tahu, jaket itu hanya untuk menutupi pakaian sexy yang dikenakan. Tubuh mereka segera hilang di balik pintu yang dijaga dua laki-laki bertampang dingin. Sedang ladies night, gumamku tanpa sadar.

Ada keinginan untuk mengejar mereka. Salah satunya, yang memakai rok mini biru sepertinya aku kenal. Namanya Susi, teman Melly. Dulu aku menyimpan nomor telepon genggamnya. Namun setelah bertemu Melly, nomornya aku hapus. Melly suka cemburu pada temannya sendiri.

Aku batal memarkir mobil di pelataran diskotek. Mungkin saja bukan Susi. Bukan hanya mirip. Lagi pula, jika pun benar, apa yang akan aku katakan? Dulu, sebelum bertemu Melly, aku akan berpikir sejauh ini. Pasti langsung aku peluk. Andai pun ternyata bukan Susi, aku tinggal mengajaknya menghabiskan malam di tengah hujan music yang memekakkan telinga. Membayari minumannya, juga memberi tips. Namun saat ini aku sedang tidak tertarik dengan Susi, atau siapa pun itu. Bayangan Melly begitu dominan mengisi seluruh ruang otakku.

Dengan enggan aku menginjak pedal gas, meninggalkan pelataran diskotek. Menyusuri Jalan Yos Sudarso yang semakin ramai. Kendaraan melintas dengan kecepatan tinggi. Aku masih tidak ingin menekan pedal gas lebih dalam. Bukan ingin menikmati hujan yang belum memberi tanda akan berhenti. Atau kilat yang menyemburkan cahaya putihnya. Aku bahkan tidak yakin dengan arah mobil. Semua yang kulihat memempatkan pikiran.

***

“Baru kali ini aku merasa tua. Tapi masih juga begini,” keluh Melly.

Hari itu ulang tahunnya yang ke-27. Suaranya yang serak terdengar makin parau dan dalam. Mungkin itu pengakuan paling jujur selama denganku. Aku sudah hafal dengan tipuan perempuan macam Melly; buatlah cerita paling sedih untuk menguras uang tamunya. Bahkan mereka pun menyembunyikan nama asli!

“Malam-malam begini sebenarnya aku ingin tidur lelap sambil mendekap anakku dan ketika esoknya terbangun, anakku sudah besar. Aku ingin…”

Suara Melly makin hilang. Lesung pipinya- yang tampak ketika tertawa, malam itu sama sekali tidak aku lihat.

“27 tahun tujuh belum tua. Nenekku yang sudah kepala tujuh saja,  masih merasa muda.”

Aku mencoba memancing tawanya, namun gagal. Dengan sorot matanya yang tajam, Melly menatapku tanpa berkedip selama beberapa detik. Ada amarah bercampur luka di sana. Seperti membiarkan aku melihat lipatan luka yang tersimpan di balik matanya. Meski masih mampu menahan tangis, aku tahu jiwanya tengah terguncang dengan hebat.

Kuraih pipinya. Tidak ada reaksi. Matanya masih juga menatap wajahku. Aku menjadi serba salah. Buru-buru kudekap dia. Selang beberapa saat aku dapat merasakan ketegangannya mengendur. Perlahan dia menyingkirkan tanganku yang melingkar di pinggangnnya. Dia meraih cocktail dalam gelas tinggi dan meneguknya sampai habis.

“Lagu yang slow saja. Apa saja,” kata Melly di depan mik ketika terdengar suara operator menanyakan lagu yang kami minta.

“Pernahkah kamu berpikir rasanya membesarkan anak tanpa suami?” tanyanya lirih sambil melempar mik yang tadi dipegangnya ke atas sofa.

Aku tidak menanggapi pertanyaannya karena yakin dia tidak membutuhkan jawaban. Ketika di layar kaca muncul lagu yang diminta sudah diputar, Melly kembali meraih mik dan mulai menyanyi. Suaranya kacau. Aku biarkan dia menyanyi sekenanya. Aku memilih untuk duduk agak menjauh sambil menikmati kepulan asap rokok. Pengaruh minuman beralkohol mulai naik ke kepala. Tiba-tiba aku merasa ruang karaoke menjadi tempat rahasia yang menyimpan tawa, juga luka.

Aku mengenal Melly sekitar enam bulan lalu. Saat itu aku tengah melakukan investigasi terkait rumor salah seorang pejabat penting di kota memiliki perempuan simpanan di tempat karaoke yang menyediakan pemandu lagu. Aku belum tahu tempat karaoke yang menjadi langganannya karena saat ini sedang booming. Di setiap sudut kota, banyak berdiri tempat karaoke, dari rumah karoeke keluarga, sampai tempat karaoke yang menyediakan minuman beralkohol dan perempuan pendamping lagu atau PL.

Jujur aku sangat tertantang untuk membuktikan kebenaran rumor itu. Sudah lama aku tidak membuat berita yang bagus. Dalam beberapa tahun terakhir aku merasa tersiksa karena hanya dijadikan corong untuk kepentingan pemerintah daerah dan politisi karbitan. Anggota dewan hanya garang ketika kepentingannya terusik. Memang ada yang idealis, tidak pamrih uang ketika menyuarakan ketidakberesan. Tidak main proyek juga. Tapi garis perjuangannya terlalu berbahaya karena ingin mengubah tatanan yang sudah ada dengan paham kelompoknya. Bagi mereka, semua yang berada di luar kelompoknya salah dan kotor.

Setelah berhari-hari aku keliling ke berbagai tempat karaoke ke, tidak satu pun pejabat yang aku temui. Bukan berarti tidak ada, tetapi mereka sangat rapi bersembunyi. Setelah arena perjudian kelas kakap ditutup, lokasi nongkrong para pejabat bergeser ke tempat karaoke. Sayangnya aku tidak punya jaringan untuk masuk ke tempat mereka. Bahkan yang terjadi kemudian, aku terseret dan larut di dalamya. Dari coba-coba, aku kemudian menjadi pengunjung tetap tempat karaoke. Dunia malam yang tadinya asing, kini berubah seperti rumah kedua bagiku. Sialnya, setelah berkubang di dalamnya, aku justru sering bertemu pejabat. Kami sering berkaraoke bersama, bergantian memeluk cewek-cewek pemandu lagu. Kini aku tidak mungkin lagi mewartakan mereka.

Aku banyak mengenal PL yang disediakan tempat-tempat karaoke. Awalnya aku memilih mereka di tempat selayaknya showroom atau etalase mal. Namun setelah mengenalnya, kami bertukar nomor telepon genggam sehingga ketika aku akan menggunakan jasanya, cukup telpon. Sesekali aku mengajak mereka makan malam atau menginap di hotel. Meski tidak semuanya bisa, tetapi aku selalu punya cara untuk membujuknya.

Aku mengenal Melly secara tidak sengaja. Saat itu aku sedang duduk di bar, depan kasir tempat karaoke. Melly melintas di depanku, menuju showroom. Rambut panjangnya tergerai indah. Kaos hitam yang dikenakan, melilit erat tubuhnya yang ramping. Dia tampak begitu anggun. Dari bartender, aku tahu namanya Melly.

“Anak baru,” kata bartender seperti tahu arti tatapanku. Saat itu juga aku memanggil Mami- induk semang cewek pendamping lagu, dan meminta Melly untuk menemani karaoke.

“Suamiku kabur setelah anakku lahir. Dasar buaya buntung,” kata Melly dengan riang usai kami berkenalan. Sepertinya kehancuran rumah tangganya bukan suatu beban. Tawanya lepas. Gayanya sangat bebas meski ketika tanganku bergerak lebih jauh pada lekuk-lekuk tubuhnya, dengan halus dia menolak. Hal itu justru membuatku makin penasaran. Dua hari setelahnya,  aku kembali mengajaknya bernyanyi.

“Kemarin aku menemani laki-laki tua yang kurang ajar. Dipikirnya aku bisa ‘dipakai’ di sini. Dia hampir saja memperkosaku. Untung aku bisa lepas dan lari. Laki-laki itu kemudian dibawa oleh security,” tuturnya setengah mengadu.

Aku tahu dia berbohong. Dia hanya sedang memberi sinyal jika dirinya tidak bisa ‘dipakai’. Entah mengapa, aku juga tidak terlalu memaksakan diri untuk memeluknya. Padahal, biasanya aku langsung lapor ke Mami jika bertemu dengan pendamping lagu yang belagu. Mami akan memarahi anak buahnya dan menggantinya dengan yang lain. Tapi anehnya, hal itu tidak aku lakukan terhadap Melly. Aku benar-benar terbuai oleh pesonanya. Bahkan sekedar bisa bertemua, aku merasa cukup senang.

***

“Kita harus menyudahi hubungan ini. Aku takut perasaanku padamu semakin dalam. Aku punya anak dan istri yang tidak mungkin kutinggalkan,” ujarku setelah berulangkali bertemu di luar tempat karaoke.

“Terserah saja. Aku juga tidak mau merusak rumah tanggamu. Aku tahu rasanya disakiti suami, ditinggal selingkuh. Aku rela kerja beginian untuk menghidupi anakku. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku sebagai penyebab hancurnya rumah tangga seseorang,” kata Melly dengan bibir bergetar.

Aku tahu dia berbohong. Itu sebabnya setelah itu kami tetap bertemu. Usai bertemu, aku sering kesal sendiri, dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi. tetapi hasrat dalam diriku mengalahkan segala logika.

Akhirnya aku bisa melupakan selama satu bulan terakhir, setelah berganti nomor telepon dan menghapus nama Melly dari phonebook. Aku menyibukkan dengan pekerjaan, hunting berita sampai keluar kota. Di rumah, aku memberikan waktu yang cukup untuk anak-istri. Semuanya berjalan normal kembali, seperti sebelum aku berburu pejabat di tempat karaoke. Lebih tepatnya, sebelum bertemu Melly.

Namun malam ini aku begitu gelisah. Hasrat untuk bertemu Melly meruntuhkan segala sumpah yang pernah kulantangkan di setiap sudut kota. Mungkin aku rindu aroma tubuhnya. Atau lesung pipinya. Entahlah, aku tidak paham. Aku hanya ingin bertemu.

Bandarlampung, 16 April 2005

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini