PojokTIM – Pertemuan tak sengaja. Kalimat itu mungkin tidak berlebihan ketika PojokTIM bertemu novelis Iksaka Banu di kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Merzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2025). Kami sama-sama sedang menunggu kehadiran Naning Scheid, sastrawan sekaligus penerjemah karya sastra yang bermukim di Belgia.
Perbincangan mengalir layaknya sahabat dua lama. Penulis novel Pangeran dari Timur bersama Kurnia Effendi (Kef) itu, banyak menceritakan latar di balik novel-novelnya, pengalaman dan juga kesehariannya.
“Saya orang perbatasan” kata Banu, sapaan akrab penulis novel Rasina itu, ketika diminta tanggapannya soal TIM.
Membahas novel sejarah, memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Iksaka Banu. Posisinya semakin penting ketika pembahasan dipersempit pada novel sastra kontemporer dengan latar sejarah era kolonial. Novel dan cerpen Iksaka Banu tidak hanya indah sebagai karya fiksi, namun banyak menyisipkan data sejarah secara sangat detail.
Penulis kelahiran Yogyakarta itu telah meraih banyak penghargaan sastra. Kumpulan cerpen dengan judul Semua Untuk Hindia, meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2014 kategori prosa. Penghargaan yang sama diraih tahun 2019 untuk novel Teh dan Pengkhianat. Cerpen Semua Untuk Hindia dan Mawar di Kanal Macan terpilih sebagai salah satu dari 20 cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 2008 dan 2009.
Iksaka Banu juga memiliki talenta di bidang desain grafis, khususnya untuk periklanan dan sudah menorehkan berbagai prestasi bergengsi termasuk finalis desain kalender pilihan panitia The New York Festival 1993. Di ajang Citra Pariwara 1996, Iksaka Banu memperoleh medali emas untuk iklan mobil yang tayang di TV. Di ajang yang sama, pada tahun 2001, Iksaka Banu diganjar medali emas untuk iklan produk susu di majalah.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Iksaka Banu di pusat kuliner Gedung Trisno Sumardjo, PKJ TIM.
Apa kesibukan saat ini?
Pertama, bersama Mas Kef, kami sedang giat dalam klub baca Membaca Raden Saleh, yakni kegiatan membaca novel Pangeran dari Timur karya kolaborasi kami berdua. Sebulan sekali kami membaca novel itu, bab demi bab, di tempat-tempat bersejarah, dan sebisa mungkin yang ada kaitannya dengan dengan Raden Saleh, tokoh dalam novel itu. Misalnya museum, makam, dan bahkan kami pernah membaca di (bekas) kantor karesidenan Bogor tempat Raden Saleh ditangkap. Sampai saat ini pembacaan sudah sampai episode 37, dari total 45 episode atau bab dari novel Pangeran dari Timur.
Kedua, sedang menulis novel baru. Isinya belum bisa diungkap. Tetapi seputar situasi Pasar Gambir tahun 1926.
Ketiga, meneruskan pekerjaan sebagai desain grafis. Menerima pesan leaflet, poster, cover buku dan lainnya yang terkait desain grafis. Selain menulis, desain grafis untuk periklanan atau pariwara adalah pekerjaan yang sudah saya tekuni sejak dulu.
Bisa ceritakan sedikit proses penulisan novel sejarah?
Begitu sudah menentukan tema, semisal Perang Diponegoro, maka saya harus fokus mencari data-data yang komprehensif, lengkap. Itu sangat sulit. Tidak mudah mendicari data 100 tahun yang lalu, apalagi lebih lama dari itu. Susah sekali.
Contohnya saat saya menggarap novel Rasina, yang hidup di abad 18. Berat sekali karena datanya sangat minim. Saya harus mengontak teman di Belanda, untuk membuka dokumen di (perpustakaan) Leiden. Saya juga mencari di UI (Universitas Indonesia), ke Pak Bondan Kanumoyoso guru besar FIB-UI yang tesisnya di Leiden membicarakan Ommelanden (daerah di luar Tembok Batavia).
Setelah datanya terkumpul, saya kemudian memilah-milah. Kebiasaan saya membuat “Bibel” dulu, semacam buku suci. Misal model pakaian zaman itu, rumah, senjata dan cara kerjanya, sampai data-data yang sifatnya historik, printilan-printilannya. Itu juga sangat penting. Jangan sampai salah menguraikan cara kerja pistol locok abad 19, yang tentunya berbeda dengan abad sebelumnya.
Kemudian bikin timeline, titimangsa. Ditentukan dulu kapan jagoannya, tokoh utama, akan beraksi. Misal awal Perang Diponegoro sampai satu tahun sebelum perang usai. Saya bikin rincian. Di tahun tahun 1825, peristiwa apa saja yang memiliki kaitan dengan cerita. Demikian juga tahun 1826, 1827, sampai 1829. Cari juga data sejarah lain yang bersimpangan dengan peristiwa itu. Gunanya ketika bingung, ceritanya macet, tinggal masukkan peristiwa itu. Bisa untuk nambah-nambah ceritanya. Sebab jika hanya berkutat di satu tokoh atau satu topik saja, pembaca bosan. Kalau diceritakan suasana pasarnya, atau peristiwa lain yang mendukung, tentu kan lebih menarik.
Novel adalah karya fiksi, bagaimana memasukkan peristiwa sejarah agar menjadi fiksi?
Setelah muncul gagasan atau premis, menentukan tema dan membuat timeline sejarahnya, saya bikin outline cerita atau sinopsis. Setelah itu karakter, intro, konflik meletus, chaos, sampai berakhir dan keadaan setelah itu. Semuanya kita susun di awal, sebelum menulis. Pada tahap ini, sudah kita bayangkan juga bagaimana tokoh-tokoh fiktif kita akan berkelindan dengan latar sejarah nyata sehingga keduanya bisa menyatu, bukan sekadar saling tempel.
Memberi karakter pada tokoh juga penting. Beberapa tokoh yang ada dalam cerita kita buatkan semacam curriculum vitae. Ada tempat dan tahun lahir, sampai peran dia dalam cerita. Perbedaan karakter antar tokoh juga sudah sebuah cerita. Jika si A bertemu si C yang karakternya berbeda, sudah tentu memunculkan dialog tanpa perlu kita paksakan.
Setelah sinopsis dibuat, harus disiplin. Jangan sampai saat menulis terjadi writer’s block atau stuck karena tidak tahu bagaimana meneruskan atau mengakhiri cerita. Sebab saat kita sedang menulis cerita, sering muncul ide atau mendapat data baru yang membuat kita bingung karena kalau dimasukkan (jadi) belok ceritanya. Kalau sudah ada sinopsis, akan muncul pertimbangan matang sebelum kita memutuskan memasukkan data atau ide yang baru muncul. Di situ gunanya sinopsis, sebagai pisau yang akan menentukan apakah data baru boleh masuk atau tidak. Kalau relevan, atau bahkan memperkuat cerita, bisa masukkan. Sebaliknya jika akan mengubah alur cerita, kita abaikan.
Sebab ketika dimasukkan, semua tokoh akan bereaksi dengan data baru itu. Bahkan bisa berubah semua. Ceritanya melantur, dan endingnya bisa saja tidak sama dengan yang kita bayangkan di awal,
Apa yang menarik dari novel sejarah?
Menarik sekali karena kita terlanjur dicekoki sejarah hitam putih selama 32 tahun. Belanda jahat, indonesianya baik. Padahal tidak selalu begitu. Ada peristiwa-pristiwa tertentu yang menurut saya aneh. Contohnya, dalam cerpen Teh dan Pengkhianat yang mengambil latar pemberontakan China tahun 1932 di perkebunan teh Wanayasa, Sukabumi. Pemberontakan ini terjadi ketika buruh teh etnis China disiksa oleh Belanda. Pada tahun itu, setelah selesai Perang Diponegoro, tidak ada pribumi yang berani memberontak, (tapi) Chinanya berani sampai Belanda memanggil pasukan tambahan dari Batavia. Yang datang pasukan Sentot Prawirodirdjo, mantan panglima perang Diponegoro yang dibeli oleh Belanda dan mendapat pangkat letnan kolonel dengan membawahi 500 pasukan. Pemberontakan China kepada Belanda, ditumpas oleh pribumi. Hal-hal seperti itu yang barangkali tidak ditemukan dalam sejarah resmi, sehingga menarik untuk diceritakan.
Demikian juga dalam novel Rasina, budak belian di Banda. Waktu saya bikin angket sederhana, ternyata banyak yang tidak tahu tentang pembantaian di Banda yang disebabkan oleh rebutan pala. Ketika hendak menguasai Pulau Banda, Belanda membantai 6.000 penduduk, termasuk 44 orang pribumi kaya. Lainnya dijual ke Batavia jadi budak.
Novel fiksi sejarah dapat melengkapi sejarah yang ditulis penguasa atau yang telah dihapus oleh penguasa.
Dalam menentukan tema novel sejarah, mana yang lebih dominan, peristiwa atau tokohnya?
Dua-duanya, gabungan. Mula-mula peristiwa. Kemudian kita riset, apakah sudah banyak yang tahu tentang peristiwa itu atau belum. Selain Banda, misalnya peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926. Kita tahunya pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Kita lupa atau dilupakan, bahwa tahun 1926 PKI sudah melakukan pemberontakan terhadap Belanda.
Menurut saya, ada hal-hal yang luput dari sejarah kita. Jadi saya mencari yang aneh-aneh, yang luput dari penulisan sejarah atau sengaja tidak disorot karena ada kepentingan lain.
Ada yang berpendapat, sejarah kita penuh lubang hitam sehingga rawan diisi dengan cerita untuk tujuan di luar sejarah, bahkan hanya demi kepentingan tokoh atau klan tertentu. Menurut Anda?
Saya rasa di semua negara ada agenda politik milik penguasa yang ikut campur dalam penulisan sejarah. Di Amerika Serikat, sejarah orang kulit hitam dan bumiputra Amerika (Indian) hanya menempati porsi kecil dibandingkan sejarah imigran Eropa yang kemudian membangun negara Amerika. Peristiwa Black Lives Matter beberapa tahun yang lalu membuka mata dunia tentang betapa masifnya white superiority di sana sejak dulu hingga sekarang. Bahkan Bapak Bangsa mereka, Thomas Jefferson, ternyata pemilik ratusan budak kulit hitam yang bekerja di ladang kapasnya yang sangat luas, dan salah satu budak wanita menjadi gundiknya.
Di Belanda juga demikian. Tragedi pembantaian Banda oleh Jan Pieterzsoon Coen selama ratusan tahun mendapat glorifikasi dan diberi selubung sejarah sebagai “zaman keemasan Belanda”. Untunglah setelah Indonesia merdeka banyak dari generasi muda mereka sadar bahwa sejarah harus dituliskan secara obyektif betapa pun pahitnya. Sekarang, di buku sejarah mereka, Coen tidak lagi disebut pahlawan, dan “dosanya” sebagai pembantai rakyat Banda ikut diajarkan.
Pemerintah sedang melakukan penulisan ulang sejarah. Tanggapan Anda?
Menulis buku sejarah (bukan fiksi sejarah) pada dasarnya adalah tugas berat para sejarawan untuk mencari dan mengumpulkan kembali data yang terserak, hilang, atau sengaja dihilangkan, kemudian tanpa pretensi subyektif disusun kembali sebisa mungkin dengan mengembalikan semua konteks yang menyertai potongan data sejarah itu, sehingga para pembaca hari ini maupun yang hidup di masa depan dapat melihat secara 360 derajat rangkaian sebab akibat yang memicu munculnya peristiwa sejarah itu.
Dengan syarat seperti ini, seharusnya semua data tidak boleh ada yang disembunyikan atau diberi tafsir tunggal oleh siapa pun. Termasuk penguasa.
Kalau kita lihat sinopsis naskah penulisan ulang sejarah ini (yang sudah beredar luas lewat media sosial), memang ada yang perlu dipertanyakan. Misalnya, mengapa era Orde Lama (di Jilid 8) lebih ditonjolkan hal-hal negatifnya (seperti tampak dalam kalimat “masa bergejolak dan ancaman integrasi”). Sementara di jilid 9 (Orde Baru) lebih banyak ditonjolkan kesuksesan? Selain itu, banyak peristiwa bergejolak yang tidak direkam di jilid itu. Misalnya genosida para warga sipil yang dituduh sebagai anggota PKI, Peristiwa Malari 1974, Operasi Seroja (aneksasi Timor Timur), DOM di Aceh, Krisis Moneter, Pembunuhan Marsinah, Ita Martadinata, Pembunuhan Mahasiswa Trisakti, Penculikan Aktivis, Tragedi Mei 1998, Tragedi Semanggi, dan jatuhnya Suharto).
Problem kedua, mengapa proyek besar yang menghabiskan dana Rp 9 miliar dan konon disusun oleh 100 sejarawan ini begitu buru-buru dikebut harus jadi bulan Agustus 2025? Ini bukan sekadar buku sederhana. Ini sejarah bangsa kita sejak masa pra sejarah yang seharusnya ditulis lengkap mumpung ada dana dan kesempatan. Lalu, ada pula isu pengusulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional November 2025. Mau tak mau, banyak orang kemudian menghubungkan hilangnya bab-bab penting di jilid 9 itu dengan upaya pemutihan dosa Soeharto.
Saya pribadi masih berusaha percaya bahwa sebelum terbit, draf naskahnya akan ditunjukkan kepada publik lewat seminar dan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD). Semoga bila hal itu benar, mereka mau menerima masukan dari sejarawan atau pihak di luar panitia resmi.
Cover novel Rasina. Sumber: Gramedia
Apakah cerita sejarah yang mengangkat lokaalitas masih menarik?
Kuncinya terletak pada cara tuturnya. Meski punya cerita yang bagus, kalau tidak pandai menuliskannya, tetap tidak menarik. Kalau cara bertuturnya baik, seperti Nyai Gowok karya Budi Sardjono, pasti menarik. Demikian juga Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Pernah mempublikasikan novelnya secara online?
Saya masih menikmati menulis novel cetak, karena saya tidak menguasai publikasi di media online seperti Wattpad. Bagi saya melelahkan karena harus rutin diisi. Beda dengan nulis novel konvensional, atau yang dicetak. Kalau jenuh, saya tinggal. Bahkan novel Pangeran dari Timur membutuhkan waktu 20 tahun. Rasina ditulis selama 6 tahun, dari 2017 dan baru terbit 2023.
Saya pikir menulis novel untuk cetak lebih santai, lebih masuk akal. Saya tidak memiliki kekuatan untuk menulis secara maraton.
Bagaimana minat baca terhadap novel sejarah?
Pembaca fiksi sejarah semakin banyak. Contohnya novel Laut Bercerita (karya Leila Chudori) yang didasarkan pada peristiwa reformasi 1998, sudah cetak ulang 95 kali dan yang beli (kebanyakan) Gen Z. Ini anomali. Selain temanya berat, mereka juga belum lahir saat terjadi peristiwa dalam novel terjadi.
Demikian juga novel Berburu Buaya di Hindia Timur karya Risda Nur Widya, Amba karya Laksmi Pamuntjak, atau Paya Nie karya Ida Fitri yang masuk nominasi KSK (Kusala Sastra Khatulistiwa). Kalau ditanya, apakah novel masih dinamis, menurut saya masih.
Seberapa penting novelis ikut lomba?
Pertama, berguna untuk diri sendiri. Jika menang, berarti karyanya bagus di antara karya lain, dapat tempat tertentu. Menambah daya kreatifitas dan rasa percaya diri. Istilahnya, sudah di jalan yang benar ketika menulis novel.
Tentu kita juga senang dengan hadiahnya, ada rupiahnya. Saya merasa terharu karena fiksi sejarah kolonial ternyata bisa mendapat penghargaan. Itu membuat saya percaya diri menulis genre itu. Segmen pasarnya juga ada.
Sekarang sangat minim ruang-ruang interaksi dan perdebatan antarsastrawan. Menurut Anda?
Masih ada, tapi pindah ke medsos. Kalau yang konvensional, mungkin memang sudah jarang karena tempatnya jauh, atau ruang yang tersedia kurang cocok. Namun interaksi dan perdebatan karya sastra di medsos, seperti Facebook, masih ramai. Ketika ada hal-hal yang dianggap kontroversial pasti mucul perdebatan. Bagi saya itu sehat-sehat saja, asal jangan ad hominem (menyerang pribadi). Sepanjang karyanya yang diperdebatkan, menurut saya oke-oke saja. Bahkan ketika didebat, lalu ada yang bisa menjawab dengan baik, itu pelajaran sastra yang tidak diajarkan di sekolah. Jadi kita bisa belajar dari sana.
Saya juga masih berdialog, berinteraksi secara intens dengan banyak penulis di medsos. Dengan Mbak Naning sudah berdialog di medsos selama 3 tahun dan baru mau ketemu sekarang. Sesuai perkembangan zaman, silaturahmi di medsos juga baik.
Menurut Anda, bagaimana kondisi TIM sekarang?
Dulu, saat sekolah di Bandung, saya sering ke TIM dengan kondisinya saat itu yang menurut saya sangat seni. Namun saya tidak ingin terjebak suara romantisme. Saya tidak menafikan kondisi TIM saat ini yang dingin, tertata, dan siapa saja bisa masuk, termasuk Gen Z. Mereka merasa nyaman. Orang asing juga dengan mudah juga bisa masuk. Dulu hanya yang jiwanya “edan” banget, yang ngerti banget soal seni yang gemar datang dan berlama-lama di TIM.
Tempatnya tidak masalah. Tapi kalau suasana, marwahnya sebagai pusat kesenian, masih bisa diperdebatkan.