PojokTIM– Wajahnya tak pernah lepas dari senyum semringah. Gayanya tetap enerjik tanpa tanda-tanda kelelahan. Padahal baru saja keliling Jawa dan Madura untuk menyambangi teman-temannya. Itulah Naning Scheid; penulis, penyair, penerjemah, akademisi, sekaligus aktris teater Indonesia yang bermukim di Belgia.

“Aku tidak pernah naik public transportation di Jakarta, jadi minta ditemani supaya tidak nyasar,” cerita Naning disertai derai tawa sambil memamerkan kartu e-money yang digunakan untuk membayar layanan KRL commuter line. Naning datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, ditemani penyair Adri Darmadji Woko untuk bertemu penulis novel Pangeran dari Timur, Kurnia Effendi dan Iksaka Banu, Selasa (3/6/2025).

Naning dikenal militan dalam mengenalkan sastra Indonesia ke luar negeri dan juga menerjermahkan sastra dunia ke dalam Bahasa Indonesia. Bahkan buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Melankolia (Pustaka Jaya, 2020) diterbitkan dalam 5 bahasa sekaligus yakni Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda dan Spanyol.

Selain Melankolia, Naning juga menulis Novela Miss Gawky (Pustaka Jaya, 2020), Puisi Fabel Jean de La Fontaine – Terjemahan dan Ilustrasi (Google Books, 2021), Puisi sebagai Autobiografi – Esai Mengurai Les Fleurs du Mal (JBS, 2023), dan Bunga-Bunga Iblis – Terjemahan Les Fleurs du Mal karya Charles Baudelaire (Pustaka Jaya, 2024).

Puisi, cerpen, dan esai Naning tersebar di berbagai media cetak nasional dan regional, serta media daring yang berbasis di Indonesia maupun Eropa. Tulisan ilmiahnya terpublikasi di jurnal terakreditasi nasional dan internasional.

Bagaimana pandangannya terhadap sastra dan sastrawan Indonesia, dan juga kehidupan para sastrawan di Eropa, serta perjuangannya dalam menerjemahkan Les Fleurs du Mal, berikut wawancara PojokTIM dengan Naning Scheid yang dilakukan sehari sebelumnya secara tertulis.

Saat ini di tanah air sedang ramai dibahas tentang sastrawan yang tidak bisa hidup dari sastra. Pendapat Anda?

Ah, ini pertanyaan lama yang terus mengendap, tapi selalu terasa baru karena luka yang ditimbulkannya juga tak kunjung sembuh. Kalau boleh jujur, hidup dari sastra di Indonesia itu seperti bercocok tanam di tanah retak—kita bisa menanam, menyiram, tapi hasilnya sering tak bisa dimakan sendiri. Jadi, ya, sebagian besar sastrawan di tanah air memang tidak hidup dari sastra, tapi tetap hidup bersama sastra. Itu beda.

Saya sering berpikir begini: di negara-negara yang punya ekosistem sastra sehat—seperti Prancis, misalnya—ada sistem residensi, penghargaan berbasis karya, honorarium yang layak, bahkan perlindungan sosial untuk pekerja seni. Di Indonesia? Kita masih berjibaku dengan pertanyaan mendasar, “Honor nulis puisi bisa beli nasi bungkus nggak?” Kadang jawabannya, ya, bisa…(tapi) satu bungkus. Seringkali malah tidak berhonor.

Tapi apakah ini berarti sastra tidak berguna? Tidak. Justru karena nilai ekonomisnya kecil, ia jadi medan uji paling jujur. Kalau kamu menulis puisi hari ini, di tengah tuntutan algoritma, berarti kamu sedang melakukan sebuah laku: menolak tunduk pada logika pasar. Dan itu radikal, lho.

Yang saya khawatirkan bukan hanya sastrawan yang tidak bisa hidup dari sastra, tapi masyarakat yang tidak bisa hidup dengan sastra—tidak dibiasakan membaca, tidak diajak merenung. Padahal sastra itu bukan hanya soal buku puisi. Ia adalah cara melihat. Cara membaca kenyataan dengan kedalaman. Dan kalau itu absen dari ruang publik, kita semua yang rugi.

Jadi mungkin solusi jangka pendeknya bukan hanya soal memperbesar ‘kue’ ekonomi sastra, tapi juga memperbaiki infrastruktur ekosistemnya—akses buku, pembaca, edukasi sastra sejak dini, ruang-ruang apresiasi yang membayar dengan layak, bukan sekadar “exposure”.

Saya sendiri hidup dari beberapa sumber: menerjemah, mengajar, menulis, juga jadi narasumber. Tapi benang merahnya tetap: sastra. Jadi, ya, saya hidup karena sastra. Tapi hidup dari sastra? Belum. Tapi siapa tahu suatu hari nanti, bukan hanya mungkin, tapi juga lumrah.

Bagaimana tingkat kesejahteraan sastrawan di Eropa, khususnya di Belgia? Apakah mereka bisa hidup dari sastra, dan bagaimana peran negara?

Ini topik yang selalu bikin iri sekaligus introspektif, ya. Kalau bicara Eropa, memang banyak yang menganggap sastrawan di sana hidupnya lebih “sejahtera”—dan itu tidak sepenuhnya mitos. Di beberapa negara seperti Prancis, Jerman, Belanda, sampai Belgia, menulis itu bukan sekadar panggilan jiwa, tapi juga profesi yang diakui secara struktural.

Di Prancis misalnya, negara menyediakan résidences d’écriture dan beasiswa untuk penulis dari berbagai latar, lengkap dengan sistem royalti yang transparan dan jaminan sosial untuk pekerja seni. Di Jerman, ada Künstlersozialkasse, semacam BPJS-nya seniman dan penulis—mereka bisa dapat asuransi kesehatan dan tunjangan pensiun. Belanda punya Letterenfonds yang sangat aktif mendukung penulis dan penerjemah lewat dana proyek dan program internasional.

Nah, Belgia—khususnya komunitas berbahasa Prancis seperti di Wallonie dan Brussel—punya pendekatan yang unik tapi solid. Lembaga seperti La Fédération Wallonie-Bruxelles memberikan bourses d’écriture, atau beasiswa penulisan, mulai dari untuk penulis muda hingga veteran. Ada juga skema pendanaan bagi proyek eksperimental dan interdisipliner, penerjemahan serta honorarium resmi untuk pembacaan puisi, partisipasi di festival, dan diskusi buku.

Tiap tahun saya datang ke Poétic Bazaar di Brussel—dan jujur, itu salah satu ruang yang membuat saya sadar betapa seriusnya negara mendukung dunia sastra di sini. Bukan cuma dari sisi pendanaan, tapi juga infrastruktur apresiasi. Buku puisi bisa tampil berdampingan dengan makanan lokal, musik eksperimental, penampil sukarela untuk baca puisi-puisi slam, penjualan buku, dan tempat penulis bertemu calon penerbit. Serta yang penting, narasumber dibayar. Karena di Indonesia, menjadi narasumber sering hanya mendapat ucapan terima kasih, atau dapat goody-bag saja.

Apakah sastrawan bisa hidup dari sastra di Belgia? Banyak yang bisa, dengan catatan: mereka tidakhanya duduk di meja tulis. Mereka menulis, ya, tapi juga membaca karya di ruang publik, memberi lokakarya, berkolaborasi lintas seni, dan terlibat aktif dalam komunitas sastra. Tapi yang paling krusial, negara hadir sebagai penyokong, bukan penonton.

Jadi memang, bukan sastrawannya yang lebih hebat, tapi ekosistemnya yang lebih suportif. Negara percaya bahwa sastra adalah infrastruktur imajinasi kolektif. Dan kalau itu dijaga, masyarakatnya ikut berkembang secara kultural.

Naning Scheid membacakan puisi dwibahasa di PDS HB Jassin. Foto: PojokTIM

Selain menerjemahkan karya ke dalam bahasa asing, menurut Anda apa yang harus dilakukan sastrawan dan penyair Indonesia agar karyanya bisa “diterima” sebagai bagian dari kesusastraan dunia?

Menerjemahkan itu memang langkah awal yang krusial—kalau karya nggak bisa diakses pembaca lintas bahasa, ya sulit dibaca, apalagi diakui. Tapi setelah terjemahan, apa? Nah, di sinilah perjuangan sebenarnya dimulai.

Pertama, menurut saya, sastrawan Indonesia perlu hadir dalam ekosistem sastra global. Bukan hanya lewat buku, tapi juga lewat festival sastra internasional, residensi penulisan, dan jaringan antar-penulis lintas negara. Karya yang sudah diterjemahkan harus punya konteks—siapa yang membicarakannya, siapa yang memperkenalkannya, dan bagaimana ia beresonansi di luar konteks nasional.

Yang sering luput adalah peran curatorship. Dunia sastra global itu seperti pameran seni: bukan Cuma soal karya bagus, tapi siapa yang memajang, siapa yang memperkenalkan, siapa yang membuka pintu. Makanya kolaborasi dengan penerbit luar, kurator sastra, penerjemah yang aktif di komunitas internasional, itu penting banget. Tanpa itu, kita bisa terjebak di wilayah “karya sudah diterjemahkan, tapi tidak dibaca siapa-siapa”.

Kedua, kita perlu sadar bahwa menjadi bagian dari sastra dunia itu bukan berarti harus ikut-ikutan selera barat. Justru sebaliknya: yang dicari adalah kekhasan, bukan kemiripan. Kita tidak perlu menulis seperti penyair Prancis atau novelis Jerman. Kita harus bicara dari tempat berpijak kita sendiri—dengan bahasa, konteks, dan lokalitas Indonesia yang unik. Tapi, cara penyampaiannya harus bisa dibaca secara universal.

Ketiga, dan ini agak sensitif, kita perlu literary diplomacy. Negara harus ikut main. Bayangkan kalau ada lembaga yang secara aktif mendanai terjemahan dan promosi karya sastra Indonesia di festival-festival sastra dunia, seperti yang dilakukan Korea Selatan, Jepang, atau Norwegia. Kita nggak kalah kualitas kok, tapi sering kalah strategi dan konsistensi. Saya percaya karya sastra bisa melintasi bahasa, tapi butuh jembatan. Dan jembatan itu bukan cuma penerjemah—tapi juga jaringan, visi, dan keberanian untuk berdialog dengan dunia tanpa kehilangan akar.

Jadi, setelah diterjemahkan, pertanyaannya bukan lagi “apakah ini bisa diterima?”, tapi “siapa yang memperkenalkan ini kepada siapa, dalam forum yang seperti apa, dan dengan narasi apa?”. Kalau itu bisa dijawab, maka karya sastra Indonesia tidak hanya akan diterima—tapi juga akan diingat.

Dalam konteks setia dan jelita (meminjam ungkapan Anda dalam buku Bunga-Bunga Iblis), apakah penerjemah puisi boleh memberikan tafsir baru atau tafsir pribadi, di luar teks?

Pertanyaan ini bikin saya tersenyum karena diam-diam itu semacam pertanyaan etis yang sangat intim bagi penerjemah puisi. Saya suka mengibaratkan penerjemah puisi itu seperti ghostwriter. Kita bekerja dalam bayang-bayang penyair asli, tapi kita juga tak bisa bohong bahwa kadang, dalam proses menerjemahkan, kita tergoda untuk menyisipkan bisikan kita sendiri.

Nah, soal setia dan jelita—Setia artinya kita menjaga struktur, semantik, nada, bahkan ritme dari puisi asli. Tapi jelita artinya kita juga ingin membuat puisi itu hidup dalam bahasa sasaran—indah, menggugah, dan tidak terasa seperti bangkai bahasa yang dipaksa hidup. Dua-duanya penting.

Apakah boleh memberi tafsir pribadi? Saya akan bilang: bukan cuma boleh, kadang harus. Karena puisi itu bukan laporan jurnalistik. Ia mengandung celah, gema, ruang ambiguitas. Dan ketika menerjemahkan, kita sering kali bukan sekadar memindahkan kata, tapi juga menafsirkan ruang sunyi antarbaris—apa yang tidak dikatakan oleh penyair, tapi terasa di tubuh teks. Di situlah penerjemah boleh hadir sebagai pembaca aktif.

Tapi, penting juga untuk membedakan: memberi tafsir bukan berarti mengkudeta. Tafsir pribadi harus tetap berpijak pada intensi teks, pada suasana, pada “jiwa” puisi itu sendiri. Kalau kita menerjemahkan Rimbaud jadi seperti puisi iklan parfum, ya itu sudah nyasar. Tapi kalau kita menemukan frasa baru yang tidak ada padanan literalnya, dan kita pilih metafora yang lahir dari pengalaman kita membaca puisi itu—asal tetap resonan—menurut saya itu sah, dan bahkan perlu.

Dalam dunia terjemahan puisi, kadang yang paling setia justru yang paling puitis. Karena puisi bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tapi bagaimana ia membekas. Dan penerjemah harus punya kebebasan untuk membawa bekas itu ke bahasa lain, dengan segala risiko dan cintanya. Jadi, buat saya, tafsir pribadi itu bukan pelanggaran. Ia justru bentuk penghormatan—karena kita membaca dengan sungguh-sungguh, dengan seluruh tubuh bahasa yang kita miliki. Dan itu juga bentuk cinta: setia, tapi tak posesif. Jelita, tapi tak egois.

Ada pendapat, mustahil untuk menerjemahkan puisi. Anda setuju?

Setuju—tapi dengan catatan: mustahil secara absolut, tapi sangat mungkin secara manusiawi. Kalau kita bicara mustahil di sini dalam arti “mentransfer seluruh aspek puisi—makna, ritme, rima, resonansi budaya, ironi, napas emosional—ke bahasa lain tanpa kehilangan apa pun,” maka ya, itu memang mustahil. Bahkan menerjemahkan kalimat sederhana pun kadang bisa berubah nuansa, apalagi puisi, yang isinya bukan cuma pesan, tapi juga keheningan di antara kata-kata.

Tapi justru di situlah letak keindahannya. Penerjemahan puisi adalah seni kehilangan yang disiasati dengan kreativitas. Kita tahu kita akan kehilangan sesuatu—tapi kita juga tahu bahwa kita bisa memberi sesuatu yang lain. Dan “sesuatu yang lain” itu bukan pengganti, tapi pantulan yang jujur. Seperti bayangan di air: tidak identik, tapi tetap setia pada bentuk dan gerak. Saya sering merasa menerjemahkan puisi itu seperti menyalin mimpi seseorang ke dalam bahasa baru. Kita tak bisa merekam persis apa yang dia rasakan dalam tidurnya, tapi kita bisa mengajak orang lain merasakan mimpi yang sepadan. Bukan replikasi, tapi resonansi. Bukan kloning, tapi kelahiran kembali.

Saya tidak percaya penerjemahan puisi adalah pengkhianatan. Ia lebih seperti pelayaran. Dan setiap pelayaran pasti menghadapi badai, salah arah, bahkan mungkin kehilangan awak—tapi kalau sampai ke pantai seberang, itu bukan karena kapal sempurna, tapi karena niatnya tulus dan arahnya jelas.

Jadi, mustahil? Ya, kalau tujuannya kesempurnaan. Tapi kalau tujuannya adalah berbagi keindahan, membuka jendela antarbahasa, dan merawat pengalaman puisi lintas budaya, maka bukan hanya mungkin—itu perlu.

Apakah berarti menerjemahkan puisi adalah menciptakan puisi baru?

Iya, tentu saja. Tapi bukan “puisi baru” dalam arti semaunya sendiri—melainkan puisi baru yang lahir dari semacam pertarungan batin antara kesetiaan dan kebebasan. Menerjemahkan puisi itu seperti menyalin lukisan dengan benang dan jarum di atas kain lain: bentuknya mungkin mirip, warnanya bisa mendekati, tapi teksturnya takkan pernah sama. Dan justru karena itu, kita menciptakan sesuatu yang lain—yang baru—tapi tetap menghormati yang lama.

Saya percaya bahwa setiap puisi membawa semacam “jiwa bahasa”—dan tugas penerjemah adalah menangkap jiwa itu, lalu memberinya tubuh baru dalam bahasa sasaran. Prosesnya tak beda jauh dengan menulis puisi sendiri: ada intuisi, ada rasa ritmis, ada pilihan diksi, bahkan ada penghapusan dan keraguan panjang. Kadang satu kata saja bisa membuat kita berhenti seminggu, karena kalau salah pilih, seluruh puisi bisa “pincang”. Maka, penerjemah puisi pada akhirnya juga adalah penyair dalam bayang-bayang—ia menulis, tapi dengan gema suara orang lain di dalam dirinya.

Tentu, ini bukan berarti kita mengklaim puisi itu sebagai milik kita. Tidak. Ini lebih ke bentuk penghormatan kreatif. Seperti membuat lukisan versi kita sendiri atas karya pelukis besar, atau memainkan Bach di piano sambil menambahkan sentuhan interpretasi. Menerjemahkan puisi adalah penciptaan dalam keterbatasan, dan itu justru yang membuatnya menarik—karena keterbatasan memaksa kita berpikir lebih dalam, lebih puitis, lebih manusiawi.

Jadi ya—bagi saya pribadi, setiap terjemahan puisi yang berhasil, adalah puisi baru yang hidup di antara dua dunia: dunia penyair aslinya, dan dunia pembacanya yang baru.

Faktor apa yang secara khusus mendorong Anda menerjemahkan Les Fleurs du Mal karya Charles Baudelaire ke dalam bahasa Indonesia?

Sederhananya begini: kalau puisi dunia itu semacam silsilah, maka Charles Baudelaire adalah salah satu bapak besar modernitas. Les Fleurs du Mal adalah tonggak yang menandai lahirnya puisi modern dalam persajakan Prancis, bahkan dalam pengertian global. Lewat buku itu, Baudelaire menulis kota, tubuh, dosa, waktu, kerusakan, dan kecantikan yang retak—dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia bukan sekadar penyair romantik yang bersolek gelap, tapi pionir dari gerakan simbolisme, dekadentisme, dan bahkan gerakan sastra lain setelahnya.

Karya dan gayanya memengaruhi satu barisan penyair besar dunia lintas bahasa: dari Rimbaud dan Mallarmé, ke T.S. Eliot dan Ezra Pound, dan banyak lagi. Dia bukan hanya ikon Prancis; dia adalah mata rantai yang menghubungkan puisi Eropa abad ke-19 ke modernisme dan pascamodernisme di abad ke-20.

Nah, ironisnya—dengan reputasi sebesar itu—Les Fleurs du Mal belum pernah hadir secara integral dalam bahasa Indonesia, bahkan hampir dua abad sejak pertama kali terbit. Kita mungkin mengenal potongan-potongan puisinya, kadang lewat kutipan di buku teori sastra, atau sebagai nama yang dipinjam penyair kita untuk menambah aura. Tapi pembaca Indonesia belum benar-benar punya akses untuk membaca keseluruhan bangunan estetik dan arsitektur tema yang Baudelaire bangun dalam satu buku. Dan saya merasa: ini kekosongan yang harus segera diisi.

Alasan lainnya, tentu saja, adalah relasi antartradisi. Saya melihat penerjemahan karya sebesar ini sebagai bagian dari percakapan panjang antara sastra Indonesia dan sastra dunia. Kita punya sejarah penyair yang menulis dalam dialog—kadang diam-diam—dengan Baudelaire. Wing Kardjo adalah contoh konkrit yang membawa atmosfer Prancis ke dalam soneta Indonesia. Menerjemahkan Les Fleurs du Mal adalah upaya untuk mempertebal jalur lintas-budaya itu. Supaya ketika kita bicara tentang puisi Indonesia, kita tahu juga dari mana beberapa bentuk kegelisahan, gaya, dan bahkan kosakata estetiknya berasal.

Terakhir—dan ini mungkin penting dalam konteks jangka panjang—kerja-kerja semacam ini bisa jadi soft power dalam diplomasi budaya. Saat kita menerjemahkan Baudelaire ke bahasa Indonesia, kita tak cuma menerima; kita juga membuka kemungkinan dialog dua arah. Besok-besok mungkin giliran penyair Indonesia dibaca secara utuh dalam bahasa Prancis. Dan itulah bentuk pertukaran budaya yang setara—bukan hanya sebagai konsumen, tapi juga produsen makna.

Jadi, ya—menerjemahkan Les Fleurs du Mal bukan hanya kerja linguistik. Ia juga kerja sejarah, kerja cinta, dan, siapa tahu, kerja diplomasi.

Apa yang Anda maksud Puisi sebagai Autobiografi?

Saya tidak sedang bicara tentang puisi sebagai buku harian harfiah, atau sekadar catatan peristiwa. Puisi sebagai Autobiografi bagi saya adalah cara melihat puisi bukan hanya sebagai bentuk ekspresi, tapi juga sebagai jejak eksistensial. Puisi menyimpan denyut waktu dan luka yang pernah nyata—tapi dalam bentuk bahasa yang telah dijaga, digubah, dan dikelola dengan artistik. Maka ia bukan sekadar rekaman hidup, tapi kehidupan yang sudah disaring lewat imajinasi dan bentuk.

Ketika saya menerjemahkan Les Fleurs du Mal, saya tak hanya menerjemahkan larik-larik puisi yang indah tapi rumit; saya juga merasa sedang menyusuri jejak kehidupan Baudelaire sendiri—relasinya yang putus nyambung dengan Jeanne Duval dan beberapa kekasih lain, pergulatan batinnya dengan iman dan ketubuhan, keinginannya menulis “suci dengan cara yang gelap”, sampai skandal yang membuat puisinya diseret ke pengadilan. Semua itu terasa hidup dalam puisinya—dan saya ingin pembaca Indonesia bisa mengakses konteks itu juga.

Itulah kenapa saya menulis buku Puisi sebagai Autobiografi sebagai pendamping dari BungaBunga Iblis. Buku itu adalah semacam peta—peta naratif, historis, bahkan afektif—yang menunjukkan bagaimana puisi Baudelaire bukan lahir dari ruang steril, tapi dari hidup yang penuh kegagalan, cinta yang remuk, idealisme yang ditertawakan, dan keindahan yang ditemukan di balik reruntuhan. Dengan mengetahui itu, pembaca tidak hanya membaca terjemahan, tapi juga memahami denyut yang menghidupinya.

Bisa ceritakan tingkat kesulitan dalam menerjemahkan Les Fleurs du Mal, terutama terkait perbedaan bahasa dan budaya antara Prancis dengan Indonesia?

Sulitnya jangan ditanya—tapi justru di situ seninya. Les Fleurs du Mal bukan cuma buku puisi, tapi semesta yang padat oleh kode sosial, religius, erotik, filosofis, bahkan musikal dari Prancis abad ke19. Dan semua itu harus “dibujuk” masuk ke dalam bahasa Indonesia, yang punya logika dan sensibilitas yang sangat berbeda.

Pertama dari segi bahasa. Bahasa Prancis memungkinkan struktur sintaksis yang lentur dan musikal, kadang satu kalimat bisa jadi satu bait penuh, panjang, bergelombang seperti napas doa atau desah cinta. Bahasa Indonesia tidak banyak kosakata spesifik dalam banyak hal, maka umumnya lebih panjang, tapi berirama cepat. Jadi kalau saya terlalu kaku menerjemahkan, puisinya jadi “patah”; kalau terlalu bebas, ia kehilangan bentuk aslinya. Ini semacam menyeberangkan anggur merah ke dalam kendi tanah—harus hati-hati, agar aroma aslinya tak hilang, tapi juga tetap bisa dinikmati oleh lidah lokal.

Lalu dari sisi budaya, Baudelaire banyak bermain dengan simbol-simbol Katolik, mitologi Yunani-Romawi, ikonografi urban Paris, bahkan pemikiran-pemikiran filsafat gelap dari era itu—yang tentu tidak otomatis dikenali oleh pembaca Indonesia. Contohnya, saat ia menyebut Satan atau Astarté, atau menulis tentang kematian dalam gaya liturgis, saya harus memutuskan: apakah istilah ini diterjemahkan, dipertahankan, diberi catatan kaki, atau dibiarkan menggantung sebagai enigma?

Karena tidak semua bisa (atau perlu) dijelaskan. Kadang misteri juga bagian dari daya puisi itu sendiri. Ada juga tantangan dalam menjaga irama dan rima. Baudelaire sangat teknikal, bahkan ketika ia menulis tentang lumpur dan dosa. Banyak soneta dalam buku itu menggunakan aleksandrina, metrum 12 suku kata yang tidak punya padanan langsung dalam puisi Indonesia. Saya harus menemukan bentuk yang bisa memantulkan irama itu—tanpa harus memaksakan format Prancis ke dalam tubuh bahasa Indonesia. Kadang saya memilih keindahan ritmis, kadang saya lebih memilih kesetiaan makna. Ini semacam pertarungan kecil di setiap larik.

Tapi mungkin yang paling sulit: menjaga atmosfer puisi Baudelaire—nuansa antara kemegahan dan kebusukan, antara ekstasi dan kehancuran. Karena puisi-puisi ini bukan sekadar teks, tapi pengalaman batin. Saya ingin pembaca Indonesia juga bisa merasakan kehancuran yang indah itu, keremangan yang menggoda itu. Dan itu bukan soal padanan kata, tapi soal resonansi emosi. Bagaimana caranya agar satu kata “dosa” dalam puisi terjemahan punya berat yang sama dengan kata péché di lidah Prancis abad ke-19?

Jadi, ya—menerjemahkan Les Fleurs du Mal adalah pekerjaan yang memadukan tafsir, estetika, dan intuisi. Tapi di balik semua kesulitannya, saya merasa seperti berdialog lintas abad dengan Baudelaire. Saya belajar banyak hal dalam prosesnya, dan itu, buat saya, sebuah anugerah. Sebuah kerja sunyi yang, semoga, membuka jalan agar pembaca Indonesia bisa mencicipi pahit-manis bunga-bunga iblis ini dengan bahasa mereka sendiri.

Pesan Anda untuk penyair dan sastrawan di Indonesia?

Pertama-tama: menulislah, tapi jangan buru-buru ingin didengar. Atau dikenal. Atau dimaknai. Dunia sastra bukan tempat sprint, ini maraton sunyi—kadang kau akan berlari sendirian, ditemani naskah yang tak terbit-terbit dan ide yang ditolak berkali-kali. Tapi kalau kau tulis dari tempat yang jujur, tekun, dan tidak asal-asalan, puisi atau ceritamu akan bertahan. Waktu akan menguji, bukan algoritma.

Tapi menulis saja tidak cukup. Penyair dan sastrawan juga harus membaca. Banyak membaca. Terutama membaca para pendahulu. Kita hidup dalam garis warisan—dan membaca mereka bukan untuk mengulang, tapi untuk tahu di mana kita berpijak. Chairil, Subagio, Toeti Heraty, Sutardji, Afrizal, Dorothea Rosa, Saut Situmorang, Acep Zamzam, Ahda Imran, sampai generasi hari ini yang mungkin belum setenar mereka—semua itu perlu kita baca dan telusuri.

Dan jangan hanya membaca sastra. Baca filsafat, sejarah, ekologi, komik, obituari, jurnal ilmiah—apa saja yang bisa memperkaya sudut pandang dan bahasa. Karena penyair yang baik bukan Cuma bermain kata, tapi berpikir dengan kata. Dan kalau bacaan kita sempit, maka imajinasi kita akan ringkih.

Kita perlu rendah hati bahwa dunia ini luas dan kita bukan pusatnya. Menulis itu bukan demi ego atau gaya-gayaan. Tapi demi merawat kepekaan—dan dalam jangka panjang, demi menyumbang sesuatu pada peradaban, sekecil apa pun bentuknya.

Dan kalau boleh menambahkan satu hal terakhir: jangan takut gagal. Yang lebih bahaya dari gagal adalah jadi penulis yang tak pernah mempertaruhkan apa-apa.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini