PojokTIM – Tetap lugas dan jernih saat menyampaikan pandangan dan pemikirannya terhadap berbagai isu kesenian meski “dipaksa” mengulang karena rekaman wawancara pertama hilang tertimpa rekaman lain. Itulah Hasan Aspahani, anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2023-2026.
“Kita mulai dari mana (lagi)?” tanya Hasan Aspahani, ramah. Ketika PojokTIM mengatakan, wawancaranya diulang dari awal, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2021-2023 itu langsung menjawab setiap pertanyaan dengan runut dan tertata.
Hasan Aspahani lahir di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bukunya, Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering mendapatkan penghargaan sebagai Buku Puisi Terbaik Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Puisi-puisinya juga pernah dimuat di berbagai surat kabar seperti Jawa Pos (Surabaya), Riau Pos (Pekanbaru), Batam Pos (Batam), dan lain-lain. Puisi Huruf-huruf Hattater terpilih sebagai 1 dari 10 puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (KPSP, Padang, 2002), dan Les Cyberletress (YMS, 2005).
“Saya banyak maunya dan selalu ingin mengetahui hal-hal baru. Banyak novel saya yang menggantung, baru setengah jalan, lalu menulis (novel) lainnya karena mendapat ide baru,” ujar mantan Wakil Pemimpin Redaksi Batam Pos itu.
Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Hasan Aspahani- sarjana pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang pernah menjadi kartunis di koran Pos Metro Balikpapan.
Anda beralih dari puisi ke prosa?
Tidak sepenuhnya, karena saya tetap menulis puisi. Hanya saja belakangan saya senang menulis prosa. Lagi pula ada perbedaan antara menulis puisi dan prosa. Puisi umumnya pendek dan bisa ditulis spontan manakala hati kita tergerak oleh suatu peristiwa atau terlintas suatu ide. Kalau prosa, seperti novel, kan panjang. Kita harus bisa menjaga kontinyuitas, karakter, dan perlu effort yang berbeda saat menulis novel.
Berapa novel yang sudah diterbitkan?
Sejak senang menulis prosa saya sudah menulis beberapa novel di antaranya Dayak Aku Lari, Laut Semua Suara yang merupakan novel sejarah, dan novel remaja berjudul Persimpangan. Novel-novel itu saya tulis seperti biasa, tanpa bantuan AI (artificial intelligence).
Apakah ada novel yang Anda tulis dengan bantuan AI?
Benar, saya sudah menulis beberapa novel yang dibantu AI. Namun perlu dipahami, kehadiran OpenAI dengan produknya seperti ChatGPT, menurut saya hanyalah alat bantu di mana saya memanfaatkannya untuk membantu proses kreatif saya dalam menulis prosa. Tentu saja tidak langsung berhasil. Setelah beberapa kali gagal, saya kemudian memadukan struktur cerita berdasarkan pengalaman yang saya dapatkan ketika mengembangkan cerita pada penulisan script atau skenario film yang terdiri dari 8 sequence, 3 babak, menyusun beat, treatment dan lain-lain. Sebab kerja AI sangat sistematis, bisa membaca secara sistematika. Meski demikian, di awal-awal hasilnya tetap buruk, tidak memuaskan saya sebagai pengarang.
Setelah mencoba banyak prompt, barulah saya menemukan pola komunikasi dengan ChatGPT. Saya merasa menemukan alat bantu yang tepat dan hasilnya memuaskan saya sebagai pengarang. Bukan berarti AI menulis buat saya dan saya pasif saja, hanya menunggu hasil yang ditulis AI. Tidak seperti itu. Saya tetap aktif mengarahkan, memberi perintah dengan deskripsi yang sesuai gaya penulisan saya.
Dengan demikian, karena AI hanya alat bantu, maka karya saya yang dihasilkan dengan bantuan AI akan berbeda dengan karya pengarang lain yang juga menggunakan alat bantu AI.
Sejauh mana AI diperbolehkan dalam membantu proses kreatif?
Saya tidak tahu. Saya hanya ingin melihat dan membuktikan sejauh mana potensi AI bisa digunakan dalam membantu bidang kreatif. Jika kita melihat dunia kedokteran, mereka sudah memanfaatkan AI untuk mendekteksi penyakit, dampak operasi, kondisi jantung pasien dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan. Itu artinya kedokteran tidak menganggap kehadiran AI sebagai kemajuan yang dapat mengancam eksistensi manusia.
Memang di seni masih ada perdebatan, batasan boleh dan tidaknya. Misalnya musisi memprotes dan menuntut ketika musik mereka dijadikan bahan untuk membentuk musik baru oleh AI, seperti pada aplikasi Suno. Demikian juga di bidang sastra. Konon beberapa novel diambil model bahasanya untuk AI, bukan ceritanya.
Karena AI hanya mengambil model bahasanya, maka kalau saya menggunakan bantuan AI untuk membuat cerita, bukan berarti AI mencuri karya orang lain lalu diberikan kepada saya. Bukan begitu. Hanya model bahasanya yang diambil oleh AI dan digunakan untuk menjawab permintaan saya sebagai kreator. Sekali lagi saya tidak tahu batasnya di mana. Tetapi saya yakin suatu saat nanti AI akan lazim diterima sebagai alat bantu, sebagaimana alat lain yang telah lebih dulu diterima dalam membantu pekerjaan manusia, misalnya kalkulator.
Di Jepang, Ryunosuke Akutagawa mengakui jika sedikit bagian dalam novel yang memenangkan suatu kompetisi, menggunakan bantuan AI. Ternyata tidak ada masalah. Di Indonesia, Buku Panduan Mencari Kerja karya Dadang Ali Murtono yang ditulis dengan bantuan AI, juga bisa masuk 5 besar buku pilihan Tempo. Saya yakin, juri Tempo melihat AI sebagai kelaziman. Mungkin Tempo mengajak kita untuk melihat kualitas karya, ceritanya, bukan alat bantu yang digunakan.
Sekali lagi, AI punya potensi digunakan sebagai alat bantu dalam segala bidang, termasuk prosa. Dan saya tidak ada masalah dengan novel yang ditulis dengan bantuan AI.
Apa itu Peta Jalan kebudayaan?
Peta Jalan Kebudayaan merupakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan di mana setiap daerah wajib menyusun Peta Jalan Kebudayaan yang kemudian menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Di dalamnya terdapat poin-poin terkait apa masalahnya, apa isunya, apa yang akan dilakukan untuk mengatasi, siapa yang bertanggungjawab untuk mencapai tujuan itu, berapa budgetnya, dan dinas mana yang menjadi leading sector-nya
DKJ juga terlibat dalam penyusunan Peta Jalan Kebudayaan di Jakarta di mana Dinas Kebudayaan sebagai leading sector-nya. Dokumen itu akan masuk dalam RPJMD. Jika disahkan, maka Jakarta menjadi daerah pertama yang memiliki Peta Jalan Kebudayaan sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan.
Mengapa Indeks Pembangunan Kebudayaan di Jakarta naik-turun?
Indeks Pembangunan Kebudayaan atau IPK adalah sebuah parameter yang dibuat oileh Bappenas. Ada 7 dimensi dan 21 indikator IPK. Nah, untuk Jakarta, IPK-nya turun-naik. Dari nilai tertinggi 100, Jakarta berada di kisaran 54-58. Artinya IPK di Jakarta belum konsisten. Bahkan belum fokus menggarap sektor tertentu untuk diperkuat, atau dinaikkan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, Dinas Kebudayaan mengajak DKJ membahas soal IPK, dan bagaimana cara menaikkannya. Di sinilah pentingnya road maps atau Peta Jalan Kebudayaan.
Jika kita ingin fokus menaikkan indeks ekonomi budaya, maka harus diperbanyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan seniman. Kalau seniman sejahtera dari kegiatan seninya, maka indeks ekonomi budayanya otomatis naik.
Namun perlu dipahami, IPK bukan hanya tugas Dinas Kebudayaan. Sebab di dalamnya mencakup juga toleransi, gender, dan isu-isu lain. Dinas Sosial, Dinas Pendidikan juga harus terlibat karena ini kerja lintas sektoral yang idealnya dipimpin oleh pejabat selevel Sekretais Daerah.
Apa korelasi antara IPK dengan Pemajuan Kebudayaan?
Lahirnya UU Pemajuan Kebudayan sesuai dengan Pasal 32 Ayat (1) UUD 1945 di mana “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
IPK adalah ukuran, parameternya, sementara pemajuan kebudayaan pekerjaannya. Upaya pelestarian, pembinaan, pemanfaatan, dan pembedayaan adalah 4 langkah kerja pemajuan kebudayaan.
Ambil contoh pelestarian. Kerjanya adalah mencari, mengumpulkan dan mendokumentasikan budaya yang dimiliki suatu daerah. Semakin banyak suatu daerah mempunyai budaya yang bisa dicatat dan didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda, maka IPK-nya akan naik.
Bagaimana menjaga marwah Lomba Novel DKJ?
Lomba manuskrip novel, bukan buku, sudah diselenggarakan cukup lama, dan merupakan legacy bagi DKJ. Tidak ada sayembara manuskrip yang bertahan selama itu. Lomba manuskrip novel DKJ telah melahirkan banyak penulis ternama seperti Putu Wijaya, Ayu Utami, dan lain-lain. Nama mereka mencuat setelah memenangi sayembara manuskrip DKJ. Namun perlu dicatat, nama besar mereka tidak hanya karena memenangi lomba. Karya-karya mereka setelah memenangi lomba juga hebat-hebat. Jadi beriringan, tumbuh bersama. Oleh karenanya sayembara manuskrip novel DKJ harus dipertahankan, apa pun kondisinya.
Saya sudah terlibat dalam kepanitian sayembara manuskrip novel DKJ sejak 2021. Namun jujur, saya tidak pernah tahu karya pemenangnya sampai diumumkan. Bahkan tidak tahu karya siapa saja yang masuk. Itu adalah salah satu bentuk menjaga marwah sayembara.
Hal lain yang dilakukan adalah pada pemilihan dewan juri. Juri kemudian bekerja secara rahasia, tertutup. Sampai pengumanan, publik baru tahu jurinya. Proses penjuriannya juga buta di mana nama penulis disingkirkan dari teks manuskrip yang diberikan kepada juri. Hanya satu orang yang tahu manuskrip itu karya siapa, yakni sekretaris komite karena fungsinya sebagai administrator yang menerima karya peserta lomba dan memberikan kepada dewan juri.
Namun demikian sekretaris komite tidak tahu karya siapa yang dipilih oleh juri. Bahkan saat menghubungi peserta untuk hadir dalam pengumuman pemenang sayembara, sekretaris komite tidak tahu apakah yang diundang termasuk pemenang. Paling-paling hanya tahu mereka masuk nominasi. Di pada malam pengumuman itulah baru kita semua tahu, karya dan penulis yang menang.
Jadi kuncinya ada pada juri. Juri harus benar-benar independen. Kita memberi kebebasan kepada juri untuk menilai secara adil. Bahkan pengumanan pemenang sayembara pernah diundur sampai Januari (biasanya November), karena jumlah karya yang masuk sangat banyak dan juri membutuhkan waktu lebih lama untuk membaca semua dengan teliti.
Wibawa dari sayembara ada pada penjurian. Oleh karenanya panitia sayembara harus hati-hati dalam memilih juri. Jika jurinya tidak bener, bisa dibeli, tidak baca semua karya dengan serius, maka kualitas dan marwah sayembara akan pudar.
Begitulah cara kami di Komite Sastra dalam menjaga legacy sayembara manuskrip novel yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali.
Bagaimana dengan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK)?
Ya, kebetulan saya baru bergabung dengan Kusala Sastra Khatulistiwa sebagai kurator bersama Eka Kurniawan dan Nezar Patria. KSK merupakan ajang penghargaan bagi dunia kesusastraan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh sejak tahun 2001. Acara ini, sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Award, tetapi berganti nama sejak tahun 2014. Pemenang KSK didasarkan pada buku-buku puisi dan prosa terbit dalam kurun waktu 12 bulan terakhir, yang kemudian diseleksi secara ketat oleh para dewan juri independen.
Berbeda dengan lomba manuskrip DKJ, KSK tidak mungkin dilakukan melalui penjurian buta karena yang dinilai buku yang sudah terbit, tercantum nama pengarangnya. Untuk menjamin hasilnya fair, maka pemilihan dewan juri menjadi sangat krusial. Kami bersama panitia lainnya, benar-benar selektif dalam memilih juri.
Baik sayembara manuskrip DKJ maupun sayembara buku terbaik KSK, merupakan bagian dari membangun ekosistem sastra.
Apakah lomba manuskrip novel DKJ memberi sumbangsih pada ekosistem perbukuan tanah air?
Karena sayembara novel DKJ berbentuk manuskrip, maka pemenangnya menjadi rebutan penerbit besar maupun penerbit kecil. Terlebih terbukti karya pemenang sayembara laku di pasar. Contohnya Saman, manuskrip karya Ayu Utami yang menang sayembara tahun 1997. Demikian juga manuskrip Pulang karya Leila S. Chudori.
Memang tidak ada jaminan menjadi best seller, tapi paling tidak bikin penasaran pembaca sehingga selalu dicari, bahkan hingga beberapa tahun setelah terbit. Jadi wajar kalau pemenang sayembara menuskrip DKJ tidak pernah kesulitan mencari penerbit, bahkan penerbit yang berebut.
Tahun ini, para pemenang akan kami beri pembekalan untuk bernegoisasi dengan penerbit. Para nominatornya juga akan kamu kelola manajemennya, bekerja sama dengan Bappneas. Penulisnya akan mendapatkan sesuatu sebagai bagian dari upaya kami menyehatkan ekosistem sastra dan perbukuan. Semua sektor akan kita sentuh.
Apakah ekosistem di TIM masih cukup representatif untuk menumbuhkan bibit-bibit kesenian baru?
Dulu TIM menjadi pusat dari semua cabang seni, bukan hanya sastra. Pernah dalam setahun ada 6 maestro lukis seperti Affandi, Sudjojono, dan lain-lain mengadakan pemeran di TIM. Itu peristiwa besar, dan meneguhkan TIM sebagai pusat. Namun saat itu belum banyak galeri lukis di luar TIM, berbeda dengan sekarang. Apakah sekarang, ketika para maestro tidak pameran lukisan lagi di TIM, wibawa TIM jadi turun? Tidak juga.
Demikian juga di sastra. Mungkin Jakara tidak lagi menjadi pusat karena sudah tumbuh pusat-pusat sastra baru di berbagai kota seperti di Yogyakarta, Bandung, Ubud, Makasar, dan bahkan Banggai. Namun TIM tetap tidak tergantikan dengan adanya PDS HB Jassin, dan sekarang ada beberapa entitas baru seperti Perpustakaan Jakarta yang menyedot banyak pengunjung muda dan menyumbang IPK untuk parameter literasi. Bahkan angkanya sangat tinggi.
TIM berubah, ada yang mundur ada yang baru. Hal yang lumrah. Namun kita terus berupaya agar TIM tetap eksis, melahirkan peran baru sesuai zamannya. DKJ yang kantornya berada di dalam kawasan TIM, juga terus melakukan inovasi. Apa-apa yang belum dilakukan oleh pihak lain, namun kita tahu itu penting bagi eksosistem sastra, maka kita adakan. Jika pun sudah ada berarti tinggal kita pertahankan atau tingkatkan seperti sayembara manuskrip. Ketika tidak ada kritik seni yang cukup baik, kita bikin tengara.id
Ada aspirasi yang mengendaki agar Dewan Kesenian berubah menjadi Dewan Kebudayaan. Tanggapan Anda?
Pada Munas (Musyawarah Nasional) Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan di Ancol, Desember 2023, yang dihadiri sekitar 300 perwakilan provinsi dan kabupaten/kota, kita mengeluarkan Resolusi Ancol yang isinya antara lain mendesak diadakannya Kementerian Kebudayaan. Sekarang, di era Kabinet Merah Putih, Kementerian Kebudayaan sudah terbentuk, sehingga tugas kita adalah mengawal dan memastikan kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan cita-cita awal.
Nah, saat ini Kementerian Kebudayaan sedang menyusun Peraturan Pemerintah tentang Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan. Mengapa Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayan? Karena kalau mengikuti amanat UU Pemajuan Kebudayaan, maka pilihannya hanya itu.
Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayan sebenarnya dua hal yang berbeda. Di dalam UU Pemajuan Kebudayaan ada 10 obyek pemajuan kebudayaan. Salah satunya adalah seni. yang menghimpun seluruh cabang seni seperti seni pertunjukan, tari, patung, rupa, sastra. Jadi seni hanyalah 1 dari 10 obyek dalam pemajuan kebudayaan. Itulah obyek yang menjadi garapan Dewan Kesenian di seluruh Indonesia, termasuk DKJ.
Untuk Jakarta, idealnya tetap Dewan Kesenian atau Dewan Kebudayaan?
Saya pikir tetap Dewan Kesenian karena sudah ada Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Lebih baik DKJ tetap fokus mengurus kesenian. Untuk lenong, ondel-ondel, bir pletok, olahraga tradisonal, kuliner, arsitek tradisional, cagar budaya dan kebudayaan lainnya yang tidak termasuk dalam cabang keenian, biar diurus oleh LKB.
Saat ini Jakarta juga sedang menyusun Perda Pemajuan Kebudayaan. Nanti akan jelas, apakah LKB tetap seperti sekarang, atau DKJ berubah menjadi Dewan Kebudayaan. Akhirnya semua disesuaikan dengan kebutuhan, dan masing-masing punya argumen yang kuat.
Jadi kita masih menunggu Perda, juga Peraturan Pemerintah yang mungkin saja akan mengubah keberadaan Dewan Kesenian, atau malah menguatkan, beriringan dengan LKB untuk saling melengkapi.