Rendra memang seorang yang dilahirkan sebagai penyair. Kesenimanan Rendra bermula dari kepenyairannya, yang berintikan suasana penderitaan (passion) dalam jiwanya. Ini terlukis dalam karya-karya puisi, cerpen dan drama-dramanya; yang bersifat sangat mengesankan, agung dan menggema (resonan).
Passion merupakan inti dari Suasana yang tragik. Adalah juga suasana keharuan di mana keharuan itu melibatkan jiwa raga dengan habis-habisan. Situasi demikian terdapat dalam totalitas Rendra. Karenanya, image yang merupakan manifestasi pengungkapan diri Rendra selalu menggetarkan. Suasana ini dapat dirasakan ketika kita menyaksikan pementasan-pementasannya; baik berupa drama maupun puisi. Yang lahir dari inspirasi atas intensitas penghayatan terhadap hidup dan kehidupan, dengan kemahiran permainan yang terkontrol baik, selektif, efektif, sehingga keutuhan ciptaannya itu menjadi sangat kuat dan meyakinkan. Demikian pula halnya dengan kumpulan “Puisi-puisi Cinta” yang di launcing sore ini.
Memang, Rendra adalah seorang yang dilahirkan sebagai penyair, sehingga apapun yang ia ungkapkan melalui tulisan senantiasa mengandung unsur-unsur puisi. Dengan demikian seluruh karya-karyanya bernada puitis.
Membaca puisi-puisi Rendra yang terhimpun dalam kumpulan “Puisi-puisi Cinta” ini, tidak bisa sepenggal-sepenggal, ia merupakan suatu kesatuan yang kait-berkait. Setiap puisi adalah proyeksi dari pribadi penyair. Dengan demikian kita akan dapat mengenal pribadi sang penyair secara total, utuh dan menyeluruh. Karena sifat puisi itu sendiri adalah organistis dan kompleks.
Belajar dari tokoh-tokoh yang dikaguminya, seperti; Bima Sena, Zen Budhisme, Frans Asisi dan Theresia dari Spanyol, yang mengerahkan segala tenaga dan kekuatan hidupnya untuk menangkap arti dan nilai ketragisan hidup, maka Rendra ingin menemukan hidup itu langsung dari tangan pertama yang masih otentik, unik dan indah. Karena ia dilahirkan sebagai penyair, maka hidupnya adalah puisi itu sendiri. Rendra sendiri adalah puisi.
Suatu ketika Rendra berkata: “ Aku dulu mau sekolah di Jakarta. Tapi kupikir-pikir di Jakarta nanti bisa jadi aku tak bisa bersajak. Di Jakarta orang bersajak karena persoalan dan rangsangan otak. Saya bersajak karena perasaan. Dan perasaan ini haruslah perasaan-perasaan yang mendorong orang bertindak secara alam. Begitu saja dengan sendirinya. Jadi tanpa pertimbangan seorang intelektual.”
Melalui puisi-puisinya, kita dapat merasakan, bahwa dalam hidupnya Rendra selalu berjuang untuk menemukan dan mempersatukan seluruh kegiatan pancainderanya dan kesiapsiagaan sukmanya untuk menangkap dan mencapai apa yang dikatakan sebagai apa yang lebih besar daripada hidup. Pendek kata, dengan mempersatukan seluruh kemampuannya, Rendra dalam totalitasnya sanggup menghasilkan karya yang juga total sifatnya.
Jika kumpulan “Puisi-puisi Cinta” cinta ini kita baca dengan seksama, maka dalamnya akan tersirat suatu irama. Atau ritme.
Ritme ini sangat mempengaruhi hidup Rendra. Karena cara ia menangkap hidup dan memberi arti kepada hidup itu jelas sekali ritmenya selalu tragis, mengharukan. Ia melihat bahwa manusia dan alam sekitarnya tak dapat dipisahkan. Kedua ciptaan ini telah tercipta menurut hokum kodratnya masing-masing sehingga kelihatan harmonis dan indah. Pengalaman jiwa yang semacam inilah yang ingin diungkapkannya.
Membuat ia ingin meminta kepada Rembulan yang bundar untuk menjenguk kekasihnya. Membayangkan rambut panjang kekasihnya sebagai pohon cemara yang jauh. Memanjat sendiri papaya yang ranum untuk kekasihnya yang sakit. Dilain kesempatan, ia berkata kepada awan yang lewat, agar melindungi kekasihnya yang pulang sekolah, dari sengatan panas amatahari yang membara. Dan demi cinta ia rela menunda makan untuk memperbaiki sepeda kekasihnya yang rusak. Cinta membuatnya bagai kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Dalam menyelami samudera cinta, Rendra selalu optimis:
OPTIMISME
Cinta kita berdua
adalah istana dari porselen.
Angin telah membawa kedamaian
membelitkan kita dalam pelukan.
Bumi telah memberi kekuatan
kerna kita telah melangkah
dengan ketegasan.
Muraiku,
hati kita berdua
adalah pelangi selusin warna.
Sagan, 1958.
Dalam sikap hidupnya, Rendra selalu membela dan bersikap solider pada kaum marjinal, yang menurut masyarakat umum sebagai orang-orang terbuang. Menurut pandangan Rendra, mereka ini sebenarnya mungkin mengalami kesulitan yang tidak dapat diatasi. Karenanya, mereka harus disayangi, harus dibimbing ke arah yang lebih baik. Memang, Rendra seorang pengagum cinta kasih, cinta kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Mengingat akan cinta, Rendra berkata, “Mengingat kamu, Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari, kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi.”
Karena cinta, Rendra menulis;
Aku tulis sajak cintaku ini
karena tak bisa kubisikkan kepadamu.
Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,
dan seluruh Minggu.
Menetes bagaikan air liur langit
yang menjadi bintang-bintang.
Kristal-kristal harapan dan keinginan
berkilat-kilat hanyut di air kali
membentur batu-batu yang tidur.
Gairah kerja di siang hari
di malam hari menjadi gelora asmara.
Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,
angin, dan serangga malam.
Ma, tubuhmu yang lelap tidur
Terbaring di atas perahu layar
hanyut di langit
mengarungi angkasa raya.”
(BARANGKALI KARENA BULAN).
Tentang menulis puisi, dikatakannya;
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
Langit di badan
Bersatu dalam jiwa.
Rendra memang seorang yang dilahirkan sebagai penyair.
(Dibacakan pada peluncuran “PUISI-PUISI CINTA”, Rendra, 28 November 2015 di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki).