PojokTIM – “Menuju Cikin, naik KRL dari Karet,” tulis Nurhayati melalui layanan pesan Facebook. Setelah berbincang sekitar satu jam di selasar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, nada bicaranya tidak berubah. Cepat dan pendek-pendek, seperti bait puisi-puisinya.
Nurhayati adalah potret perempuan yang rajin mengikuti lomba penulisan puisi dan acara baca puisi dalam beberapa tahun terakhir. Setiap acara baca puisi di lingkungan TIM yang diadakan oleh komunitas sastra, Nurhayati tampil dengan penuh percaya diri.
“Saya menikmati suasana di atas panggung,” ujar perempuan kelahiran Wonosobo, 22 Oktober 1971.
Nurhayati seperti gadis yang baru lepas dari pingitan. Maklum, kesenangannya dalam berpuisi dan bermain teater terhenti setelah menikah. Padahal saat kecil ia gemar membaca puisi di lingkungannya, termasuk sekolah. Pun ketika kuliah di STIE STIKUBANK Semarang Angkatan 90, Nurhayati aktif di Teater ANGKA. Ikut pementasan di berbagai acara kampus hingga luar kampus.
“Meski orang tua kurang setuju karena berkesenian saat itu dianggap hanya hura-hura, tapi saya berusaha meyakinkan bahwa kegiatan saya positif dan yang terpenting tidak melalaikan tugas belajar,” lanjut Nurhayati. Intonasi suaranya sedikit berubah ketika menceritakan pengalamannya.
Aktifitas berkeseniannya berlanjut setelah Nurhayati bekerja di Wonosobo sebelum kemudian pindah ke lembaga keuangan di Jakarta. Namun ia tidak ‘melawan’ ketika suaminya melarang beraktifitas di kesenian. Dengan sadar ia memilih meninggalkan semuanya untuk fokus mengurus suami dan anak. Bertahun-tahun bergelut sebagai ibu rumah tangga, ia baru bisa kembali mengekspresikan gundah jiwanya melalui puisi ketika anak-anaknya dewasa, dan suaminya memberi izin.
“Tahun 2023 saya menjadi juara 3 lomba kreasi dan baca puisi di se- Kota Bekasi,” katanya bangga. Bagi yang lain, memenangkan lomba tingkat kota, mungkin bukan prestasi. Namun tidak demikian halnya untuk perempuan yang cukup lama passion-nya ‘terkungkung’. Rasanya tak terkatakan.
Nurhayati saat membaca puisi. Foto: Ist
Berikut ringkasan obrolan PojokTIM dengan Nurhayati, Jumat (3/5/2024).
Kapan tepatnya kembali ke dunia kesenian?
Kalau aktifitas menulis sudah saya mulai sejak 2013. Bentuknya cerita bersambung yang saya unggah di platform KBM. Jadi aktifitasnya tetap dari rumah. Nah, dua tahun sebelum suami meninggal, saya diberi izin melakukan aktifitas seni di luar rumah. Jadi sejak 2019 saya mulai mencari-cari komunitas sastra di Bekasi. Alhamdulilah bertemu dengan komunitas yang anggota baik-baik dan saling support. Saya memutuskan bergabung dan beraktifitas dengan sejumlah komunitas. Saya merasa nyaman sehingga terus berlanjut. Bahkan sekarang saya ditunjuk sebagai admin Rumah Baca Ceria punya Umi Rissa Churria.
Sudah berapa banyak puisi yang ditulis?
Lumayan banyak. Soalnya saya belum bisa mengendapkan ide. Ketika bertemu dengan ide yang menarik, menggugah perasaan, mendadak seperti ada dorongan kuat untuk segera menuangkan dalam bentuk puisi. Jadi peristiwa apa pun yang saya temui dan mengena di hati, langsung saya jadikan puisi atau cerpen. Misalnya ketika bertemu dengan ojek payung yang masih anak-anak. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan, tapi tetap semangat mencari penyewa payung. Saya merasa trenyuh ketika mendengar ceritanya. Mendengar keinginannya untuk membantu ibunya. Membawa ingatan saya pada anak bungsu saya yang telah meninggal dunia. Sampai di rumah, saya langsung menuangkannya dalam larik-larik puisi.
Sudah dibukukan?
Tahun 2023 kemarin, atas support teman-teman, puisi-puisi saya diterbitkan dalam sebuah antologi tunggal berjudul Pancaroba. Banyak juga yang sudah saya diikutkan dalam antologi bersama, baik puisi maupun cerpen seperti antologi Mengejak Susuhing Angin (Istana Puisi, 2021), Surat Untuk Ibu (KSN, 2021), Lengkung Pelangi (Puserik, 2022), dan Lima Titik Nol (JSM, 2022).
Kalau untuk pentas baca puisi, ada yang paling berkesan?
Saat membaca puisi Widji Thukul yang berjudul Reportase Dari Puskesmas di Teater Kecil (TIM). Saya merasa sedang menceritakan sesuatu yang begitu dekat sehingga larut dalam puisi itu. Saya bisa mengekspresikan diri saya secara total.
Apa alasan tetap menggunakan nama asli, Nurhayati, dalam berkarya?
Supaya orang yang membaca langsung tahu itu karya saya. Kalau pakai nama alias, nanti saya harus mengenalkan kembali karena belum tentu orang akan langsung mengetahui nama alias saya. Alasan lainnya karena saya harus bertanggungjawab dengan apa yang saya tulis, tidak bersembunyi di balik nama alias.
Kebetulan di lingkungan RW saya ada kelompok belajar untuk remaja. Saya disuruh ikut membina. Jadi saya ajarkan mereka menulis dan baca puisi. Suatu ketika ada remaja, Gen Z, yang membeli buku puisi saya. Awalnya saya pikir hanya sekedar beli untuk menyenangkan hati saya. Tidak disangka, dia memposting beberapa puisi saya di akun media sosialnya. Jadi saya cukup surprise karena ternyata puisi saya disukai oleh mereka. Kalau saya pakai nama alias, mungkin saya harus meyakinkan dulu kalau itu benar-benar karya saya. Dengan memakai nama asli, mereka langsung mengenali itu karya saya saya dan alhamdulillah banyak yang menyukai.
Apa itu juga bagian dari motivasi dalam berkarya?
Tidak sepenuhnya. Bohong kalau saya bilang tidak ingin terkenal. Tetapi yang terpenting bagi saya, puisi dapat menjadi katarsis batin. Saya anggap kegiatan menulis sebagai healing. Dengan menuangkan ke dalam puisi, beban yang menggayut, nyaris tidak mampu saya tanggung, mendapat jalan pelepasan. Jadi, selain mengadu, berserah dan memohon petunjuk kepada Tuhan, puisi menjaga hati saya dari hal-hal yang sesat.
Bagaimana dengan pandangan negatif orang lain ketika melihat Anda beraktifitas di luar, dari panggung ke panggung?
Saya berusaha tetap berpikiran positif. Ketika ada yang mencemooh, sok-sok’an puitis padahal hidup masih susah, saya berusaha memaklumi dan memahami bahwa dia tidak tahu apa tujuan dan motivasi saya. Saya harus pandai-pandai menjaga hati. Sebab kita sendiri yang harus menjaga hati kita. Orang lain tidak bisa menjadi hati kita. Jika sudah keterlaluan dan mulai menekan batin, biasanya saya menghindar, dan menganggap mereka bukan bagian dari circle yang harus saya pertahankan.
Cerita Nurhayati masih mengalir deras ketika senja mulai menyapa. Ia baru beranjak setelah menghabiskan kopi cappucino sachet. Bergegas menuju stasiun KRL Cikini yang entah sudah berapa puluh kali ia singgahi, menuju satu panggung ke panggung lainnya.