PojokTIM – Di tengah kesibukannya yang luar biasa, Sastri Yunizarti Bakry masih berkenan menerima wawancara tertulis dari PojokTIM. Nadanya tetap ceria ketika menjeda wawancara karena harus menerima telepon, menerima kunjungan, atau kesibukan lain.
“Salat dulu ya, nanti saya teruskan,” tulis Sastri Bakry melalui WhatsApp disertai emoticon tertawa dan tangan menangkup, Sabtu (2/8/2025).
Profesi yang pernah dan masih ditekuni Sastri Bakry sangat lengkap, dari jurnalis, penyair, novelis, aktivis isu-isu perempuan, dan berbagai jabatan di pemerintahan. Sastri telah menulis sejak masih duduk di bangku SMP dalam bentuk puisi, cerpen, feature, dan artikel lainnya.
Sebagai penyair, puisi-puisi Sastri Bakry telah dibukukan baik dalam antologi tunggal maupun antologi bersama. Antologi puisi Kebenaran Tanpa Rasa Takut bahkan sudah diterjemahkan ke bahasa Bahasa Inggris, Tamil, Rusia, dan Turki. Sedang cerpennya antara lain terhimpun dalam antologi Perempuan dalam Perempuan. Sastri Bakry juga telah menulis sejumlah novel yakni Kekuatan Cinta, Gelombang Matahari, dan Hatinya tertinggal di Gaza.
Kiprahnya diakui secara nasional dan internasional. Berbagai penghargaan telah diraih seperti Anugerah Srikandi Tun Fatimah dari Ketua Menteri Melaka yang disematkan oleh PM Abdullah Ahmad Badawi (2007), Srikandi Numera bidang Sastra dan Budaya, Malaysia (2016), Anugerah Tokoh Budaya Nusantara, Festival Warisan Etnik, Melaka (2023), Kathak Literary Award, Bangladesh (2024), World Poetry Movement Appreciation, Kolombia (2024), ISISAR Peace Award for Women, India (2025), Rangkayo Minang Awards (2025). serta yang terbaru penghargaan dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai Pelaku Sastra 40 Tahun Berkarya.
Penghargaan yang diterima memiliki prestise tersendiri di dunia internasional. Misalnya Kathak Literary Award, penghargaan bergengsi dari Bangladesh yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang berkontribusi besar dalam dunia sastra. Penghargaan tersebut diserahkan pada acara World Thinkers and Writers Peace Meet 2024 di Kolkata, India, pada 18–21 November 2024. Sejumlah sastrawan dunia yang pernah menerima penghargaan ini antara lain Ahmad Al Shahawy (Mesir), Manfred Schubt (Austria), Tobias Burkhart (Jerman), Jona Burghardt (Argentina), Bengt Berg (Swedia), Milan Richter (Slovakia), Ahmad Kamal Abdullah(Malaysia), Lee Kuei-shien (Taiwan), Agnes Meadows (Inggris), dan Joyce Ashontang (Kamerun).
“Saya sendiri tak pernah merasa hebat, apalagi berkontribusi bagi dunia,” ujar Sastri, merendah.
Berikut wawancara lengkap PojokTIM dengan Sastri Bakry.
Apa kesibukan Anda saat ini?
Saya tetap memenuhi undangan untuk mengajar dan jadi narasumber di berbagai tempat meski sudah pensiun. Saya juga fokus mendorong dan menggerakkan literasi. Tidak hanya literasi dasar seprti membaca dan menulis, tetapi lebih jauh dari itu literasi di banyak bidang yakni sastra, pendidikan, seni budaya, ekonomi, kreatif dan pariwisata. Tiga bulan ini sedang menyiapkan lomba menulis surat untuk guru dan lomba menulis surat untuk murid yang diikuti ribuan guru dan murid. Sekarang sudah tahap 50 nominasi. Puncaknya nanti pada tanggal 21 Agustus 2025 untuk penetapan 8 pemenang untuk masing-masing kriteria. Selain itu juga sedang bersiap-siap untuk mematangkan IMLF (International Minangkabau Literacy Festival) keempat tahun 2026 yang akan diikuti 30 negara.
Di tengah kesibukan yang begitu padat, apakah Anda masih sempat menulis puisi dan cerpen?
Tentu saja, tahun ini ada tiga antologi puisi saya terbit di India dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Bangla, sedang di Malaysia terbit dalam antologi bersama dan di Indonesia ada empat antologi bersama dan sendiri. Khusus sendiri itu adalah kumpulan puisi berjudul SAKTI dengan tiga bahasa Indonesia, Inggris dan Spanyol. Novel Kekuatan Cinta juga diterbitkan di Amerika Serikat dan sudah memasuki cetakan ketiga.
Sudah ada buku baru yang siap diterbitkan?
Iya, ada, Tapi perlahan karena tahun ini banyak buku saya diterbitkan di luar maupun dalam negeri. (Tertawa) nanti nggak ada yang baca.
Karir Anda sangat lengkap dan dari berbagai aspek. Apakah hal itu turut mempengaruhi karya-karya fiksi Anda?
Ya , tentu saja. Terutama soal korupsi yang tiap hari jadi kesedihan saya terutama ketika saya jadi Inspektur Khusus (Investigasi) di Kementerian Dalam Negeri yang tugasnya memeriksa kepala daerah dan sekretaris daerah (sekda) provinsi seluruh Indonesia dan pejabat kementerian. Banyak sekali pejabat dan staf secara bersama-sama melakukan korupsi. Dan mereka tak dikatakan koruptor jika belum dihukum dan jadi terdakwa. Jadi saya kaya dengan pengalaman sosial, budaya, pemerintahan, politik, agama di mana sering muncul ketidakadilan.
Apa yang membedakan komunitas kesenian di era 80-an dengan sekarang?
Sebetulnya dari tahun ke tahun sama saja. Tetap masalah dana dan fasilitas berkesenian. Tetapi bagi mereka yang produktif tetap saja berkarya tanpa peduli bantuan pemerintah. Kadang kita membiayai sendiri karya atau pertunjukan kita. Ruang berkarya agak selektif. Terbatas medianya. Jadi setiap angkatan beda style saja. Sekarang di era digital setiap orang dan kelompok seni bisa meng-upload karyanya kapan saja, di mana saja. Tak terbatas, dan tidak tergantung siapa-siapa.
Sastri Bakry bersama Maman S Mahayana dan seniman lainnya pada dalam “Mereka Ada di TIM”. Sumber foto: akun Facebook Sastri Bakry
Bisa dijelaskan tentang Sumbar Talenta Indonesia?
Sumbar Talenta Indonesia ( STI) didirikan tahun 2004. Saya founder-nya dan co founder Drg Riflaini (almarhumah). Bertujuan untuk membina remaja agar terhindar narkoba, tawuran dan kenakalan remaja lainnya karena diajak sibuk berkegiatan. Masa itu anak sekolah seringkali tawuran dan meresahkan. Jadi saya ajak mereka untuk berkegiatan. Awalnya lomba di bidang seni menyanyi, kemudian berkembang di bidang lain sesuai talentanya seperti menari, musik, teater, puisi. Pemenangnya selalu saya bawa untuk konser di luar negeri, ke banyak negara di hampir semua benua. Lebih 40 kali mereka tampil dalam pertunjukan lengkap dari nyanyi, tari, silat, drama, musik tradisi, termasuk teater tradisi seperti Randai.
Apa saja program dan kegiatan SatuPena Sumbar?
SatuPena setiap bulan selalu ada kegiatan. Mulai dari bedah dan peluncuran buku, lomba menulis untuk murid dan guru, kolaborasi karya dengan banyak negara seperti India, Australia, Colombia, dan lain-lain. Terakhir kemarin tanggal 1 Agustus bedah buku SAKTI, puisi tiga bahasa karya saya. Dibahas sastrawan hebat dari Bangladesh, Aminur Rahman, Luz Maria Lopez dari Puerto Rico, dan Prof Ismet Fanany dari Australia, serta KH Zawawi Imron dari Indonesia.
Sekarang banyak kegiatan sastra dan budaya Melayu lintas negara seperti Numera. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Suatu hal yang bagus. Di era tanpa batas ini justru kita harus membuka ruang dan peluang sebesar-besarnya untuk saling mendukung, saling mengapresiasi, saling berkolaborasi agar kita bisa semakin menunjukkan identitas kemelayuan kita menghadapi dunia global. Baik dalam karya seni sastra maupun dalam peradaban.
Sastra Minangkabau pernah memberi pengaruh luar biasa pada perkembangan sastra Indonesia, bahkan dunia. Menurut Anda, di mana kekuatan sastra Minangkabau?
Sastra Minangkabau memiliki tradisi lisan yang kaya dengan cerita-cerita rakyat, pantun, dan pepatah yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Minangkabau memiliki kearifan lokal yang unik. Hal itu menjadi sumber inspirasi dari nilai-nilai adat yang kuat, seperti novel Sutan Takdir Alisjabana (STA), Hamka, Marah Rusli, dan lainnya.
Selain itu sastra Minangkabau juga dipengaruhi oleh ajaran Islam, yang dapat dilihat dalam karya-karya sastra yang mengandung nilai-nilai spiritual dan moral. Apalagi para pendiri bangsa adalah orang yang memiliki kemampuan berpikir yang jauh melampaui zamannya.
Sastra Minangkabau telah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Indonesia, karena penulis terkenal Indonesia banyak berasal dari Minangkabau. Intinya orang Minangkabau mandiri berpikir, egaliter – tagak samo tinggi duduak samo randah, dan kekayaan tradisi lisan sastra Minangkabau dari lapau ke lapau terjaga hingga sekarang.
Itulah kekuatan Minangkabau, egaliter dan mandiri
Secara umum, bagaimana kondisi sastra Minangkau sekarang?
Baik-baik saja, banyak seniman dan sastrawan tetap produktif berkarya. Orang selalu membandingkan kondisi sastra kini dengan dulu. Jarak dan waktu sudah sangat berbeda. Apalagi sekarang media berkarya banyak, tentu susah penonjolan (seseorang). Semakin banyak karya, tentu semakin banyak pilihan. Bukan berarti karya sekarang menurun, justru meningkat dari segi jumlah maupun kualitas. Bandingkan saja puisi era Balai Pustaka, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 2000-an dan sekarang. Justru wawasan dan jangkauan makna lebih mendalam karena perkembangan zaman. Jadi setiap zaman ada orangnya, setiap orang ada zamannya. Tak usah khawatir, ssastra Minang tetap menggeliat
Kapan Anda pertama kali datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM)?
Tahun 2000-an saya sudah ke TIM. Novel saya Kekuatan Cinta terbitan Jendela, dibahas di TIM sekitar tahun 2008 saat Mas Endo (Endo Senggono) menjabat kepala PDS HB Jassin. Sejak saat itu saya tak pernah berhenti bikin kegiatan di TIM dari mulai bedah buku, pertunjukan teater (Randai), diskusi, baca puisi di acara Kenduri Cinta Emha Ainun Najib secara sendiri maupun kolaborasi dengan Leon Agusta, Abrar Yusra, Martin Aleida, Pipiet Senja, Taufiq Ismail, Sutarji Calzoum Bachri, Maman S Mahayana, Jose Rizal Manua, dan lain-lain. Pernah bicara dan baca puisi saya atau sekedar hadir pada suatu kegiatan. Sekarang sastrawan dan seniman yang muda-muda sudah banyak terlibat dalam kegiatan saya.
Bagaimana pandangan Anda tentang TIM sekarang?
Jika saya bernostalgia ke awal-awal saya ke TIM, ada rasa rindu dengan suasana PDS HB Jassin yang naik tangga, tempat duduk santai di kedai-kedai. Ngobrol bebas dan bertindak bebas dengan penyair-penyair besar yang sering nongkrong di TIM. Sebuah kebanggaan tentu saja.
Tapi jika kita berpikir ke depan, perubahan tentu sebuah keharusan yang tak bisa kita tolak. Saya bangga dengan keberadaan TIM sekarang. Fasilitas lebih maju, gedung-gedung lebih tersedia, kecil maupun besar. Ruang-ruang diskusi tersedia, masjid juga bagus, perpustakaan yang dilengkapi teknologi, ruang-ruang bernama sebagai penghargaan kepada penyair/seniman, tempat parkir yang luas dan lainnya.
Sayangnya sekarang semua berbayar. Meski dengan harga murah tapi bagi seniman atau sastrawan yang berkarya mandiri, tak punya sumber dana maupun sponsor, itu sungguh pahit. Ini harus dibicarakan. Tak bisa sendiri. Tidak bisa seniman saja, pemerintah saja, atau corporate saja. Harus duduk bersama. Kita mungkin menolak mengkomersialkan TIM, namun itu sebuah keniscayaan untuk membiayai seniman berkarya. Tapi apakah sudah untung? Mungkin jika dibangun hotel, di situlah keuntungan mereka. Keuntungan itu yang harus di-presure agar dibagi dengan seniman di TIM, seperti CSR-nya corporate.
Jadi ada saling ketergantungan dan kepentingan antara corporate, pemerintah dan seniman. Saatnya seniman, sastrawan, wartawan, budayawan bersatu untuk menyuarakan ini. Konsepnya harus jelas, target jelas, manfaat jelas, keuntungan bersama jelas.
Saya membayangkan ketika saya ke Jakarta dengan tim saya, untuk iven seni yang akan tampil di TIM, bisa dipinjamkan gedung dan beberapa kamar hotel yang ada di TIM, gratis. Itu bagian perjuangan kita. Semoga saja.