PojokTIM – Kesan sebagai pendidik yang serius langsung terpancar dari perbincangan awal dengan Julia Utami. Setiap kata yang terucap seolah sudah ditata sehingga minim salah.

“Saya mengajar di SMP Santa Ursula Jakarta sejak 1996,” ujar Julia Utami yang bernama asli Yulia Sri Utami ketika berkenalan dengan PojokTIM di pusat kuliner Gedung Trisno Soemardjo, Pusat Kesenian Jakarta  Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Sabtu (7/9/2024).

Julia kemudian memberikan beberapa buku karyanya, dari antologi puisi hingga novel berjudul Perempuan-Perempuan Abhipraya. Dengan antusias Julia menceritakan kisah di balik proses kreatifnya, termasuk momen paling menyentuh saat ditinggal pergi ibunya, Elisabeth Siti Rejeki. Julia pun mendedikasikan satu buku antologi puisi untuk ibunya yang diberi judul Mata Ibu.

“Sebelum meninggal, Ibu menceritakan kisah hidupnya, sangat detail, kepada saya. Mungkin Ibu ingin saya menulis kisah beliau karena di keluarga kami, hanya saya yang suka menulis,” ujar Julia, anak ke-5 dari 6 bersaudara, yang lahir di Lampung, 28 Mei 1972.

Terik siang telah sempurna. Riang anak-anak yang berlatih tari sudah tidak terdengar. Sebelum mengikuti acara peluncuran buku di PDS HB Jassin, kepada PojokTIM Julia menceritakan  perjalanan menulisnya sampai mendapat julukan Penyair Kereta. Berikut rangkumannya.

Dari beberapa buku-buku yang telah diterbitkan, sepertinya Ibu menjadi sumber inspirasi utama Anda?

Ibu saya perempuan luar biasa. Meski sekolahnya hanya sampai kelas 2 SMP, dan tinggal di desa, tetapi Ibu menguasai banyak keterampilan, dari bertani, menjahit sampai berdagang, selalu menjadi andalan memasak saat ada hajatan, dan beternak ayam petelor. Dari usaha Ibu, semua anak-anaknya bersekolah sampai jenjang perguruan tinggi, di Yogyakarta. Ibu mendampingi Bapak yang seorang kepala sekolah SD. Merantau ke Lampung sejak awal nikah sampai meninggal.

Setelah ditinggal Bapak, dan anak-anaknya sudah mentas semua, Ibu tinggal sendiri selama 22 tahun, Ibu tidak pernah mau tinggal di rumah anak-anaknya. Alasannya klasik, tidak ingin meninggalkan kebun, dan jika meninggal ingin dimakamkan dekat makam suaminya.

Hingga suatu hari Ibu sakit dan harus dirawat jalan di RSCM. Itu seperti berkah tersembunyi karena kami, anak-anaknya, jadi punya kesempatan untuk merawatnya. Ibu kami boyong dari Lampung  ke Jakarta. Tinggal bergantian di rumah anak-anaknya. Kadang di rumah saya sampai setengah bulan. Saat itu saya merasa senang karena akhirnya bisa mengajak Ibu tinggal di rumah kami. Semua anak, menantu, dan cucu punya kesempatan menunjukkan kasih pada Ibu.

Ketika Ibu wafat, saya sempat  limbung. Menjelang peringatan 40 hari kematiannya, saya sakit, bahkan sampai koma dan dirawat di RS Polri Kramatjati selama 22 hari. Saya genap 2 bulan tidak mengajar. Setelah berhasil melewati fase kritis, saya berusaha menerima kenyataan. Itu jalan terbaik bagi Ibu, dan mendoakan agar Ibu bahagia di Surga. Meski demikian, setiap kali melihat foto Ibu, saya masih saja menangis. Akhirnya saya putuskan untuk menulis kisah Ibu. Seluruh cerita yang pernah disampaikan saya pethani, lalu saya tuangkan dalam larik-larik puisi.

Kapan tepatnya Anda mulai serius menekuni dunia sastra?   

Pendidikan saya, bahkan skripsi saya tentang kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Saksi Mata. Sejak SMP saya juga sudah menulis puisi untuk ditempel di majalah dinding sekolah. Saat kuliah di Sanata Dharma (Yogyakarta) saya juga menjadi murid B.Rahmanto, dosen yang juga peneliti sastra. Kebetulan di sekolah Santa Ursula, saya juga menjadi guru Bahasa Indonesia.

Tetapi memang ada masa di mana saya tidak bisa menulis puisi. Bahkan saya sempat kesulitan mencari kosakata yang tepat sebagai metafora dari perasaan atau pesan yang hendak saya sampaikan. Daripada dipaksakan, saya memilih vakum.

Sampai akhirnya, entah mendapat kekuatan dari mana, di tahun 2016 tiba-tiba saya bisa menulis dengan lancar. Mengalir seperti air bah. Saat berada di kereta, dari rumah di Citayam (Bogor) menuju tempat kerja di SMP Santa Ursula, Jakarta Pusat, saya biasa menulis 3 puisi di smartphone saat berangkat. Demikian juga saat pulang 3 puisi lagi. Puisi-puisi itu kemudian saya unggah di (akun) Facebook.

Faktor apa yang memengaruhi atau mendorong Anda sehingga tiba-tiba lancar menulis?

Waktu di ada masalah di keluarga trah Bapak, tapi tidak bisa saya ceritakan secara detail karena menyangkut pribadi orang lain. Saat itu saya ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Sebab narasi yang beredar di luar sudah jauh melenceng dari faktanya. Tetapi ketika saya hendak mengatakan kebenaran itu, suami saya melarang. Saya pun sebenarnya tidak ingin permasalahan itu semakin mengganggu keluarga saya, sehingga akhirnya saya memilih diam.

Dalam diam, saya merasa tertekan. Saat di kereta, karena tidak ada yang dikerjakan, saya lantas menumpahkan unek-unek itu melalui tulisan. Mengalir saja, karena awalnya sekedar katarsis. Tulisan-tulisan itu kemudian saya unggah di Facebook. Rupanya, postingan saya diperhatikan oleh beberapa teman, termasuk Ibu Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati sehingga kemudian diundang menghadiri acara peluncuran buku puisi. Dari situ saya mulai mengerti, (menjadi) penyair itu menyenangkan.

Artinya, tema-tema puisi Anda di awal, hanya tentang keluarga?

Hanya beberapa saja tentang persoalan yang menekan batin saya itu. Lebih banyak justru peristiwa atau persoalan-persoalan yang saya temui di kereta, di sepanjang perjalanan Bogor – Jakarta dan sebaliknya.

Bisa dicontohkan?

Misalnya saat saya melihat penumpang berdesakan di pintu kereta, saya ibaratkan permainan rugby. Ketika melihat orang bergandengan tangan, saya membayangkan sebagai pasangan yang sedang selingkuh, yang kemudian menjadi puisi dengan judul Lupakan Cinta Surga Kita.  Atau ketika melihat orang sedang terkantuk-kantuk sambil pegangan tiang kereta, saya berimajinasi sebagai orang yang sedang melawakkan diri.

Apa pun yang saya lihat di kereta, saya bisa langsung menemukan kata-kata yang pas dan menulisnya sebagai puisi. Dalam waktu 3 bulan, sudah ratusan puisi yang saya tulis di kereta.

Karena itu maka Anda mendapat julukan Penyair Kereta?

Suatu hari puisi-puisi saya dilihat oleh Alexander Aur. Dia mengurasi, dan memilih sekitar 87 puisi untuk diterbitkan oleh Kandil Semesta. Itulah buku saya yang pertama. Di luar buku tunggal, saya sudah mempunyai beberapa buku puisi bersama. Setelah buku-buku saya terbit, baik tunggal maupun antologi bersama, oleh JB Kleden, pemerhati sastra dari NTT (Nusa Tenggara Timur) saya diberi julukan #penyairkereta. Mungkin karena saya banyak mendapat inspirasi dari peristiwa di kereta, dan menulisnya juga saat di kereta.

Kebetulan saya telah menjadi bagian dari warga NTT setelah menikah dengan Daniel Kotan. Malah saya sempat memakai nama pena Julia Daniel Kotan. Dari situ saya aktif di Flores Sastra bersama Kris da Somerpes dan Paskalis Bataona serta Rumah Sastra Kita bersama Bapak Yoseph Yapi Taum dan Yohanes Sehandi.

Kami menerbitkan buku-buku puisi karya anak-anak NTT  yang dikurasi oleh Joko Pinurbo dan Dhenok Kristianti serta Alexander Aur.

Sejak 2016, Anda sangat produktif dalam berkarya dan menerbitkan banyak buku. Ada motivasi tertentu, semisal mengejar ketertinggalan karena sebelumnya sempat vakum?

Saya punya budaya self reward, penghargaan pada diri sendiri. Jadi setiap ulang tahun, saya menerbitkan satu buku. Bukan berarti di lain waktu tidak menerbitkan. Jika memang ada naskah tetap saya terbitkan. Atau ketika diajak teman membuat buku antologi bersama, saya akan ikut.  Tapi untuk ulang tahun, saya selalu menerbitkan buku secara khusus.

Sebagai pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan sastra dan sekarang dikenal sebagai penyair produktif, bagaimana Anda mengajarkan sastra di sekolah?

Kalau membuat buku karya anak sekolah, saya selalu melibatkan siswa. Dari 36 siswa di kelas, ada yang menyiapkan materi, jadi layouter, editor, dan lain-lain.  Nama-nama mereka beserta tugasnya tercantum dalam credit title di halaman belakang buku. Saya ajarkan ke mereka, bahwa dalam sebuah kolaborasi, semua harus bergerak dan masing-masing punya tanggung jawab. Selain itu saya juga mengajari siswa untuk berkarya dan menerbitkan buku. Buku tersebut diberi endors oleh para penyair ternama seperti Mas Kurnia Effendi dan Bara Pattiradja.

Julia Utami saat membaca puisi di Rumah Budaya Tembi 2020. Foto: Ist

Target Anda ke depan?

Saya tidak punya terget tertentu. Hanya berharap, siapa tahu suatu hari nanti ada yang melirik saya sebagai guru yang suka menulis. Terlebih 2 tahun lagi saya pensiun, tentunya saya akan kembali ke sini (dunia sastra). Saya ingin menginspirasi banyak orang. Sebab banyak yang tidak tahu dirinya punya kemampuan. Hanya ikut-ikutan, hanya mengikuti  passion. Jadi harus ada seseorang yang membukakan jalan. Saya bisa bikin buku sendiri karena banyak yang memotivasi seperti Bunda Nana Ernawati, Mbak Nia Samsihono, Mas Kurniawan Junaedhie, JB Kleden, termasuk Seno Gumira Ajidarma.

Target lainnya adalah bisa membacakan puisi di pentas-pentas yang menghargai puisi sebagai bahasa jiwa untuk menjadi jembatan komunikasi atau sarana penyampaian suara. Seperti dulu saat saya dan Mas Imam Maarif, pada tanggal 7 Desember 2019, membaca puisi di depan 3.000 orang yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Saya berterima kasih kepada Mas Eddy Pramduane yang mempercayakan pada kami untuk tampil.

Sepertinya buku-buku Anda banyak yang di-endorsment oleh Seno Gumira Ajidarma?

Saya mengenal beliau sejak masih mahasiswi di Sanata Dharma. Sejak 1993, saya membahas cerpen Pelajaran Mengarang, pemenang cerpen Kompas. Saya mengirimkan proposal seminar. Berlanjut, saat itu, 1996, saya mengajukan beasiswa ke Kompas Gramedia untuk menulis skripsi berdasar buku cerpen Mas Seno yang berjudul Saksi Mata yang diterbitkan Gramedia. Proposal beasiswa saya disetujui sehingga kemudian saya banyak berinteraksi dengan Mas Seno sampai skripsi saya yang berjudul “Imajinasi Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata” selesai, bahkan kemudian dibukukan. Bahan-bahan skripsi banyak yang saya dapatkan dari Pusat Dokumentasi HB Jassin, yang dikirimkan dalam bentuk kliping. Selesai mempertanggungjawabkan skripsi di hadapan Pak P.Swantara dan Pak Daniel Dhakidae (keduanya sudah almarhum), saya dipertemukan dengan Mas Seno. Saat itu beliau menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta Jakarta.

Selesai kuliah dan mengajar, saya masih sering berkomunikasi dengan beliau. Termasuk ketika saya melanjutkan ke jenjang S2. Nah, saat saya mulai menerbitkan buku, tentunya saya minta Mas Seno untuk menulis endors.

Anda  juga aktif di komunitas sastra di Jakarta?

Saya mengelola komunitas Aksi Swadaya Menulis dari Rumah, di 4 Grup WA.dengan anggota aktif seribuan orang. Saya mendirikannya bersama Mas Kurniawan Junaedhie, 22 Desember 2020. Fokusnya ke literasi keluarga. Jika komunitas lain mengangkat tema-tema sosial, kami lebih pada tema tentang keluarga. Misalnya puisi tentang Ibuku Surgaku, Ayahku Jagoanku, Anakku Permataku, Guruku Inspirasiku, dan lain-lain. Ada beberapa tema yang diikuti sampai 400 penulis sehingga kami cetak dalam beberapa edisi, bahkan sampai 7 edisi, namun dengan judul yang sama.

Menariknya setiap kali Aksi Swadaya Menulis membuat antologi puisi bersama, banyak penulis senior yang selalu ikut seperti Dokter Handrawan Nadesul, Eka Budianta, Adri Darmadji Woko, Fanny J Poyk, Nia Samsihono, Hendro Siswanggono dan lainnya.

Dalam satu tahun, Aksi Swadaya Menulis minimal  menerbitkan 3-4 judul buku. Itu sebabnya, meski komunitas kami baru 5 tahun terbentuk, namun sudah menerbitkan 17 judul atau seri buku. Mas Kurniawan Junaedhie selalu mengajari saya bagaimana mengelola dan menghargai orang banyak, sambil tetap menulis dan menerbitkan buku. Mas Kurniawan Junaedhie juga mempercayai saya menjadi editor dari hampir 70-an buku.

Tahun 2017 saya juga dipercaya oleh Pak Maman S Mahayana sebagai salah satu dari banyak orang yang dilibatkan menjadi kurator sekaligus kontributor buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia. Saya diminta menyetorkan nama-nama penyair NTT, Saya lalu mengajak  Pak Yohanes Sehandi untuk terlibat dalam proses tersebut.

Bagaimana tanggapan Anda dengan kondisi TIM sekarang?

Suasana TIM yang dulu memang  lebih akrab dengan kita. Awal saya masuk ke dunia sastra dan ubyang ubyung datang ke acara peluncuran buku puisi kawan penyair, apalagi saat itu saya masih aktif ikut di DSJ,asuhan Bang Remmy Novaris DM, hampir setiap bulan berapa kali datang ke PDS, TIM. Di pelataran TIM, selalu ada pembacaan puisi para penyair senior, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain.

Kerinduan kepada suasana yang dulu jelas ada, karena sudah menjadi bagian dari diri kita. Namun kita tidak lantas berhenti berkesenian hanya karena wadahnya berubah. Faktanya, saya saya bisa menikmati kondisi yang sekarang. Masih terasa suasana keseniannya. Apalagi kegiatannya juga lebih terorganisasir melalui PDS HB Jassin. Jadi tergantung pada orangnya.

Sekarang tidak hanya seniman dan penyair yang datang ke TIM. Siapa saja senang datang dengan tempat yang lebih menjanjikan untuk orang-orang bertemu dan bercerita apa saja. Sastra, politik, atau lainnya sambil makan nasi, soto, mendoan atau sekedar ngopi, Tinggal pilih mau yang mahal atau yang sesuai dengan isi kocek kita.

 

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini