PojokTIM – Banyak yang kesulitan menjawab ketika ditanya mengapa menekuni sesuatu yang tidak memberikan keuntungan, hanya buang-buang waktu, bahkan harus keluar biaya sendiri. Misalnya menulis puisi yang membutuhkan pemikiran, dan membiayai sendiri ketika dijadikan buku karena jarang ada yang mau membiayai penerbitan buku puisi. Tetapi jika hal itu ditanyakan kepada Ramayani Riance, kita segera mendapatkan jawaban tanpa berbelit-belit.
“Kalau kita mendapat kepuasan, merasa senang saat melakukan sesuatu yang positif, jalani saja meski mungkin tidak dipahami oleh orang lain,” ujar Ramayani saat ditemui di kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Cikini, Jakarta Pusat, akhir April lalu.
Energi dan semangat penyair yang baru saja dilantik menjadi Ketua Wanita Penulis Indonesia (WPI) Jambi itu memang selalu berkobar saat diminta menceritakan pengalamannya di kesenian, selain tugasnya sebagai pendidik di mana saat ini Ramayani mengemban amanah sebagai Kepala SMKN 1 Tebo, Provinsi Jambi.
Perjalanan berkesenian Ramayani cukup panjang. Dari teater hingga puisi. Penulis tiga buku antologi puisi, termasuk Sebungkus Kenangan (2008), itu juga aktif menggelar dan menghadiri even sastra seperti Borobudur Writers & Culture Festival.
“Saya lebih senang nonton teater atau pembacaan puisi daripada pergi ke gedung bioskop. Kadang saya bela-belain dari Tebo ke Kota Jambi, menempuh lima jam perjalanan, hanya untuk menonton teater. Asyik saja,” kata mantan pengurus Komite Sastra Dewan Kesenian Jambi itu.
Bagaimana cara Ramayani menyelaraskan karir dan kecintaannya pada kesenian? Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan penyair yang pernah diundang dalam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XII 2023 di Kuala Lumpur, Malaysia, di mana dalam ajang itu Ramayani membacakan puisinya yang berjudul Dibawah Cahaya Sigombak.
Anda masih mengajar?
Alhamdulillah masih. Selesai kuliah, saya ikut tes CPNS dan langsung diterima menjadi guru. Lima tahun mengajar, ikut tes kepala sekolah dan langsung jadi. Sampai sekarang sudah 10 tahun lebih menjadi kepala sekolah, yakni 5 tahun di SMK 7, 2,5 tahun di SMK 5 dan sekarang sudah berjalan 3 tahun Kepala SMK 1 Tebo.
Bagaimana kegiatan sastra di sekolah?
Menurut saya agak suram karena di kurikulum sekarang, pembelajaran sastra berkurang. Lomba sastra tingkat siswa juga minim. Dulu pada FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) di Jambi masih ada lomba cipta puisi. Sekarang lomba monolog saja. Padahal tidak semua sekolah punya teater. Kalau dari pusat, semua cabang seni dilombakan, tapi di daerah disesuaikan dengan kemampuan dan anggaran. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir sekolah harus menyediakan anggaran sendiri untuk mengikuti kegiatan lomba. Hal ini semakin mempersempit ruang-ruang ekspresi siswa.
Faktor kedua, keterbatasan buku bacaan di sekolah karena ada ketentuan alokasi pembelian buku dengan dana BOS (bantuan opersioanl sekolah) maksimal 20 persen. Jadi hanya belanja buku pelajaran. Tidak bisa untuk beli buku-buku lain, seperti buku sastra. Berharap murid membeli buku sendiri, juga sulit karena sudah ada mindset bahwa sekolah gratis, buku-bukunya disediakan oleh pemerintah melalui dana BOS.
Ketiga, tidak mudah mengajak siswa untuk berorgansiasi. Kalau dulu, siswa yang berinisiatif buat kegiatan. Kalau sekolah tidak mau kasih duit, kita ribut. Siswa sekarang berbeda. Sekolah yang harus punya inisitif. Itu pun belum tentu hasilnya sesuai harapan.
Apakah faktor lingkungan memberi pengaruh?
Tentu saja, terutama di lingkungan domestik. Kecerdasan, sopan-santun, dan etika anak berawal dari rumah. Saya percaya setiap keluarga punya aturan dan nilai-nilai luhur. Hanya saja penerapannya sangat lemah. Apalagi kalau orang tuanya bekerja, sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah. Padahal anak merekam bahasa pertama dari keluarga dan lingkungannya. Dari satu kata, dua kata, menjadi satu kalimat. Jika bahasa orang tuanya, bahasa lingkungan yang didengar dan direkam kurang bagus, bagaimana mengharap interaksi anak akan bagus? Terlebih ketika sudah sekolah, si anak tidak gemar membaca. Sebab perkembangan anak juga dipengaruhi oleh apa yang dibaca, apa yang ditonton dan apa yang dilihat.
Saat kuliah, saya nongkrongnya di Taman Budaya Jambi. Lingkungan pergaulan saya dengan orang-orang yang menyukai seni budaya. Seperti juga nongkrong di TIM, kadang lucu-lucuan, seru-seruan tapi ada juga diskusinya. Kita pun terlibat dan turut menyukai. Jadi lingkungan memberi pengaruh yang kuat dalam membentuk karakter dan jiwa kita.
Kendala apa yang sering ditemui?
Karena saya ASN, penempatan tugas saya berdasarkan perintah dari pemda (pemerintah daerah). Jadinya sering pindah-pidah, tidak menetap di satu sekolah saja. Dampaknya, ketika sudah membentuk grup kesenian, misalnya teater, tiba-tiba saya dipindah tugas, maka grup teater itu terbengkalai.
Pernah saya sedang membentuk grup teater sekolah, tiba-tiba datang perintah untuk melanjutkan pendidikan S2 di Padang, jurusan Manajemen Sekolah. Pada saat itu status kepegawaian saya beralih dari fungsional menjadi pegawai stuktural di Setda. Akibatnya tertinggallah semua yang baru saya bentuk. Tapi semua saya nikmati.
Ramayani Riance (depan, baju merah) bersma pengurus WPI Pusat dan daerah di PDS HB Jassin. Foto: Ist
Kapan tepatnya Anda mulai menekuni seni?
Saya mengawali dari teater kampus saat kuliah di Universitas Negeri Jambi. Saat itu saya bergabung dengan Teater Oranye. Saya belajar olah vokal, akting, membangun kepercayaan diri di atas panggung, dan lain-lain. Sebab teater mencakup hampir semua cabang seni. Kemudian tahun 2009, bareng Kang Didin Sirajd dan teman-teman kampus Angkatan 1997-1998, saya mendirikan Teater Tonggak (2009)
Bagaimana dengan puisi?
Saya mulai dari deklamator, dan memenangkan lomba-lomba baca puisi. Karena sering baca puisi orang, saya pun tertarik untuk menulis puisi sendiri. Rasanya berbeda antara membaca puisi karya orang lain dengan puisi sendiri.
Beberapa teman yang membaca puisi saya, mendorong agar diikutkan lomba. Bahkan Ari Setya Ardhi, presiden penyair Jambi yang juga orang pers, terus membimbing dan memotivasi saya dengan mengirim puisi-puisi saya ke berbagai media massa dan diikutkan dalam beberapa antologi bersama. Jadilah puisi saya banyak dimuat di media seperti Posmetro Jambi, Media Indonesia, Sumeks, Padang Ekspres, dan lain-lain.
Lama-lama saya dituduh sebagai penyair. Meski repot, saya harus bertanggung jawab dalam berkarya. Saya mulai diundang untuk menghadiri even-even sastra. Dari pelatihan, diskusi dan interaksi di ruang-ruang itu saya belajar. Bertemu dengan penyair-penyair senior yang memiliki keunikan dan kekhasan sendiri dalam menulis puisi. Saya mempelajarinya secara otodidak. Belajar dari bentuk, bukan teori. Saya benar-benar tumbuh di lapangan, karena background pendidikan saya sarjana Bahasa Inggris.
Bagaimana perkembangan sastra di Jambi?
Saya tinggal di kota kabupaten, jadi tidak terlalu memantau perkembangan sastra di Provinsi Jambi secara keseluruhan. Setahu saya, tokoh-tokoh kesenian sudah banyak yang pergi. Dulu ada Dimas Arika Miharja, Agus Melaz, Arie Setya, Sakti Alam Watir, Firdaus, Arifin Ahmad dan lain-lain. Dampaknya even sastra agak melemah, terlebih mahasiswa fighting-nya juga kurang. Kalau teater masih ada regenerasi. Kami kehilangan tokoh-tokoh pemikir di bidang sastra.
Tapi kalau komunitas masih lumayan banyak. Banyak juga kegiatannya, termasuk bikin taman bacaan. Saya mengapresiasinya.
Apa yang bisa dilakukan membangkitkan ghirah seni sastra di Jambi?
Saya ingin seniman belajar manajemen organisasi budaya. Sekarang orang maunya punya panggung, tidak mau memberi panggung kepada orang lain. Kalau saya senang memberi ruang berekspresi, bahkan sering pakai duit sendiri. Bukan uang saya berlebih. Berapa sih gaji ASN, sudah diukur orang. Saya lakukan itu karena murni kecintaan saya pada seni.
Saya berharap terjadi regenerasi secara alamiah. Awalnya boleh ikut-ikutan, lalu terjadi seleksi alam. Nah yang lolos seleksi alam, sudah memantapkan diri di jalur kesenian, segera mencari bentuk yang paling sesuai, apakah sutradara, koreogarfer, penulis. Jangan hanya jadi obyek kesenian. Selama ini banya seniman yang hanya dijadikan obyek kesenian oleh pemerintah. Makanya setiap ada even, yang tampil orangnya itu-itu saja, yang sudah senior, tidak mau mencari pemain baru di lapangan.
Sudah menerbitkan berapa buku antologi tunggal?
Sudah tiga buku puisi. Buku keempat sedang dipersiapkan. Mungkin karena kesibukan sebagai kepala sekolah sehingga kurang produktif. Tapi saya berusaha menyempatkan diri, menjaga semangat berkarya. Caranya dengan selalu menulis. Setiap bulan selalu bikin puisi, tidak boleh tidak. Itu juga sebagai terapi bagi jiwa.
Buku mana paling berkesan?
Saya berharap buku keempat paling berkesan. Dan ke depannya, buku kelima yng berkesan. Prinsip saya, kalau sudah puas, saya tidak akan berkarya lagi. Karena saya menulis puisi hanya saat ada kesempatan, jadi tidak ada tema khusus, semisal hasil riset. Kalau dipaksa menulis (dengan tema tertentu) malah tidak bisa.
Ada yang ingin disampaikan kepada mereka yang sedang berproses?
Nikmati setiap tahapannya. Jangan mudah mengeluh dan patah semangat. Ketika pertama kali tahu ditugaskan di daerah, saya belajar menerima, belajar iklas dan sabar. Saya tidak merasa suram meski, padahal sejak kecil tinggal di ibu kota provinsi. Saya ambil hikmahnya saja. Tiap hari naik oplet ke tempat kerja, lalu belajar naik motor, belajar menyetir, akhirnya jadi pembalap karena keadaan. Percayalah, apa yang kita perbuat, Tuhan tetap mencatat.
Apa kesan tentang TIM?
TIM luar biasa, Ekosistem yang sangat menyegarkan. Dari pagi, sampai malam tetap hidup. Bukan hanya pekerja seni, juga pelajar, dan pengunjung umum. Siapa saja bebas memanfaatkan untuk latihan seni atau sekedar nongkrong. Kalau ke Jakarta, saya selalu sempatkan mampir ke TIM. Bertemu teman-teman. Dalam berkarya kita bisa masing-masing, tapi kita tetap butuh ruang untuk bertemu dan berkomunikasi secara langsung.
Itulah kesan saya tentang TIM, selain tentunya sebagai tempat kegiatan dan pementasan karya seni yang telah melahirkan banyak seniman besar.