PojokTIM – Setiap orang bisa merakit perahu, tapi tidak selamanya bisa berlayar bersama. Ada kalanya, dalam satu pelayaran yang tadinya bersama rombongan besar, sebelum sampai tujuan tinggal beberapa orang saja.

Jawaban puitis itu disampaikan Emi Suy ketika ditanya pendapatnya tentang komunitas.

“Bagi saya, komunitas tetap penting sebagai tempat sosialisasi, membahas dan membedah karya serta memperluas jaringan. Selama masih satu visi-misi, it’s okey,” kata Emi Suy ketika ditemui di Kafe Sastra Balai Pustaka, Jakarta, akhir pekan kemarin.

Kesibukan kerja dan mengurus keluarga, yang disebutnya sebagai dunia besar, memaksa penyair yang telah menulis 5 buku antologi puisi tunggal itu, ketat mengatur jadwal agar bisa menyeimbangkan dengan dunia kecil yang disukainya di mana dia bisa healing, kontemplasi dan berkarya.

Ketika anak masih kecil, suaminya sempat tidak mendukung kegiatan menulisnya. Emi pun harus nyuri-nyuri waktu. Setelah anak dan suaminya tidur, ia menulis dalam sunyi. Emi merasa harus menulis agar bisa mengalirkan energi yang mengumpal, apakah marah, bahagia ataupun sedih.

“Saya perlu ruang khusus agar tetap waras,” cetus Emi sambil tertawa.

Seiring waktu, setelah anaknya besar dan melihat semangatnya untuk menjadi penyair, suaminya mulai mendukung serta memberi keperrcayaan dalam berkarya, termasuk mengizinkan Emi mengikuti kegiatan-kegiatan kreatif di dunia kecilnya.

Kerja kerasnya berbuah manis dengan sejumlah penghargaan yang telah diraih seperti BasaBasi Award, buku terbaik Perpustakaan Nasional, dan lain-lain. Puisi-puisinya juga banyak yang digubah menjadi lagu oleh pianis yang juga komponis, Ananda Sukarlan.

Menariknya, setiap mendapat penghargaan atau memenangi lomba, maka orang yang pertama kali diberitahu adalah suaminya sebagai ungkapan terima kasih, sekaligus membuktikan bahwa ia tidak menyia-menyiakan kepercayaan yang diberikan dan mampu berkarya dengan baik.

Berikut rangkuman wawancara PojokTIM dengan Emi Suy, penyair yang karyanya dipuji oleh Sutardji Calzoum Bachri, D Zawawi Imron hingga Joko Pinurbo.

Kapan Anda mulai serius berkarya?

Sejak kecil saya sudah menyukai puisi, bahkan pernah membaca puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar di acara Porseni (Pekan Olahraga dan Seni, kini Festival Lomba Seni Siswa Nasional/FLS2N). Namun saya mulai benar-benar serius menulis puisi sejak tahun 2009. Ikut dalam kegiatan KPSI (Komunitas Pencinta Seni dan Sastra Indonesia), Satra Reboan, dan lain-lain. Sempat juga privat menulis cerpen pada almarhum Kirana Kejora. Tapi saya gagal sebagai penulis cerpen. Ternyata saya lebih setia kepada puisi.

Anda dikenal sebagai pekerja kantoran, sekalaigus ibu rumah tangga. Kapan waktu Anda menulis?

Saya berkarya di sisa waktu saya sebagai istri, sebagai ibu, dan di sela rutinitas kantor. Saat di kantor, tiba-tiba melintas ide untuk menulis, biasanya saya catat dulu. Demikian juga ketika dalam perjalanan melihat dan terpikir sesuatu yang menggugah nurani, idenya saya catat dulu di handphone. Atau saya potret dan ketika sudah punya waktu saya eksplorasi menjadi tulisan.

Apa makna puisi bagi Anda?

Dunia yang besar ini kehidupan, dan puisi adalah intisarinya kehidupan. Jika kehidupan diibaratkan jeruk, maka puisi adalah intisarinya, air dari perasan jeruk.

Apa yang Anda dapatkan dari puisi?

Banyak. Saya menemukan dunia lain, ruang lain, di mana saya bisa mem-balancing hidup saya. Dunia besar saya, dunia nyata, adalah keluarga dan pekerjaan. Di sastra saya menemukan dunia kecil untuk healing, kontemplasi. Ketika di dunia nyata saya tidak bisa speak up, tidak bisa diungkap, maka saya menyuarakannya lewat tulisan.

Bisa ceritakan sedikit perjalanan di “dunia kecil” Anda?

Jujur saja, prosesnya cukup istimewa, mengalami jatuh bangun juga. Bahkan awalnya saya tidak pede membuat buku. Buku pertama Tirakat Padam Api (2011), gagal secara konten dan bentuk fisiknya. Buku itu tidak layak dipublikasikan, tetapi tetap saya simpan sebagai bagian dari proses dan sejarah perjalanan saya di dunia kepenyairan.

Kemudian saya menerbitkan buku Alarm Sunyi (2017). Sampai saat ini sudah 3 kali cetak, dengan cover berbeda. Setelah itu terbit Ayat Sunyi, menyusul kemudian Api Sunyi. Buku Ayat Sunyi masuk 25 besar buku pilihan HPI (Hari Puisi Indonesia). Buku Ayat Sunyi juga mendapatkan penghargaan dari Perpusatakaan Nasional RI 2019 sebagai 6 besar buku terbaik. Di tahun yang sama saya juga memenangani sayembara manuskrip yang diselenggarakan BasaBasi.

Alarm Sunyi, Ayat Sunyi dan Api Sunyi. Ada makna khusus tentang sunyi?

Ini adalah trilogi sunyi. Bagi saya, sunyi itu sesuatu yang istimewa, mewah. Ketika saya berada dalam sunyi, segala sesuatunya berbunyi nyaring. Saya bisa mendengarkan suara-suara, baik dalam diri sendiri maupun dari luar. Jadi sunyi bukan sekedar ruang untuk kontemplasi. Karena saat kita sedang dalam kesunyian, mungkin saja batin kita riuh. Dalam kehidupan yang penuh hiruk-pikuk, saya yakin setiap orang membutuhkan kesunyian untuk mengenali dirinya, bahkan untuk bisa secara jernih bicara dengan Sang Khalik.

Masih akan terus dengan narasi sunyi dan kesunyian?

Saya merasa sudah cukup dengan trilogi sunyi. Setelah itu saya keluar dari (tema) sunyi, meski saya tetap membutuhkan kesunyian untuk ide penciptaan puisi. Misalnya ketika saya menulis buku Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami. Saya tetap membutuhkan sunyi.

Tema apa yang paling kuat dalam karya Anda?

Saya menulis hampir semua tema, tidak khusus pada tema tertentu.  Mengalir saja, terutama tentang kehidupan sehari-hari. Tentang ibu, tentang perempuan, tentang luka. Saya juga menulis kritik sosial seperti ketika menyoroti omnibus law Cipta Kerja di mana. menurut saya, undang-undang hanya berpihak pada orang yang bisa membeli pasal, dan meminggirkan kepentingan rakyat bawah.

Kadang saya juga menulis berdasarkan tema even atau lomba, semisal tentang perdamaian. Ada beberapa buku antologi bersama dengan tema tertentu, tematik, yang saya ikuti.

Anda juga menulis selain puisi?

Iya, saya menulis esai dan tulisan ringan lainnya. Ada yang sudah dibukukan, judulnya Interval, itu buku kumpulan esai ringan saya tentang ungkapan hati. Kalau dalam Bahasa Jawa, istilahnya nguda rasa.

Saya juga menulis naskah opera (libretto) I’m Not For Sale yang bertutur tentang perjuangan Auw Tjoei Lan. Naskah itu dipesan oleh pianis sekaligus komponis Ananda Sukarlan dan rencananya akan dipentaskan tahun 2025 ini. Untuk menulis 30 puisi dengan sekitar 60 halaman tersebut, saya menghabiskan waktu selama 2,5 tahun karena harus riset, dan mewawancarai tokoh-tokoh yang masih ada, termasuknya cucunya.

Siapakah Auw Tjoei Lan?

Semasa hidunya, Auw Tjoei Lan berjuangan melawan perdagangan perempuan di zaman Belanda. Dia bebas keluar-masuk kapal karena suaminya nahkoda. Dia keluarkan perempuan-perempuan cungkok (perempuan dari daratan China) yang akan dijual di Batavia. Auw Tjoei Lan kemudian mendirikan Panti Asuhan Hati Suci.

Saya ingin membukukan kisah itu sebagai pengingat bahwa praktek perdagangan manusia, khususnya perempuan, sampai sekarang masih ada, baik terselubung maupun terang-terangan. Upaya untuk memberantasnya sudah dilakukan, tetapi kelihatannya sulit karena banyak faktor yang turut mempengaruhi.

Anda punya interest pada isu-isu perempuan?

Tentu saja, sebagai perempuan saya turut memperjuangkan hak-hak yang belum sepenuhnya dinikmati oleh kaum perempuan. Namun demikian, saya juga mengingatkan perempuan untuk bisa mandiri. Dalam buku Alarm Sunyi, ada dua baris kata yang sering dikutip, “perempuan mesti bisa menjahit/setidaknya menjahit lukanya sendiri”.

Perempuan harus kuat. Itu pesan yang ingin saya sampaikan. Tidak apa-apa sesekali menangis karena terluka. Tetapi setelah itu harus bangkit lagi. Lekas bangun dan berjuang kembali mencari way out dari permasalahan yang ada. Entah masalah sebagai ibu, sebagai istri sekaligus pekerja, sebagai single parent atau masalah sebagai individu sosial.

Sebenarnya, jika perempuan punya kekuatan dan juga smart, dia bisa berdaya guna tinggi. Tidak cuma untuk keluarganya, tapi juga bagi orang lain, lingkungan bahkan bisa inspirasi perempuan lain. Jadi saya mengajak setiap perempuan untuk smart dan tangguh. Tidak lagi menjadi Kartini zaman dulu yang dunianya sebatas sumur, kasur, dan dapur. Perempuan harus punya keberanian mengubah dunia, dirinya dan luar dirinya.

Selain prestasi, apa hal paling berkesan sepanjang Anda berkarya?

Saya merasa sangat trenyuh sekaligus bangga ketika buku puisi Ibu Menenak Nasi hingga Matang Usia Kami, dibaca oleh ibu saya dan beliau menangis tersedu-sedu. Ibu saya seperti sedang flashback karena semua kisah yang berkaitan dengan saya, sejak kecil hingga dewasa, ada di buku itu. Bahwa saya bisa sampai seperti ini adalah hasil didikkannya. Bagi saya itu capaian tersendiri.

Saya juga memiliki kesan mendalam pada foto saya tentang perempuan tua yang sedang mengambil botol plastik di tong sampah. Saya abadikan momen itu karena puitis sekali: aku hidup dari apa yang terbuang sia-sia. Bagi orang lain, botol bekas itu tidak berguna, tapi bagi dia menjadi sumber kehidupan. Foto itu lolos kurasi dan diikutkan pameran foto The Power of Woman di Bandung tahun 2016.

Pergaulan Anda cukup luas. Apakah puisi yang memberi jalan atau pergaulan itu yang menjadi pemantik puisi?

Iya dan tidak. Sebab sebelum saya serius menekuni puisi, pergaulan saya juga sudah lumayan luas. Bagaaimana kita membawa diri, itu kunci untuk memasuki pergaulan, link atau jejaring yang baru. Dengan puisi, pergaulan saya menjadi lebih luas. Sebab di dunia puisi, bukan hanya ada penyair, tetapi juga orang-orang dengan latar berbeda, dari segala lini dan profesi. Puisi menjadi semacam titik pertemuan, sebuah terminal.

Apa arti komunitas bagi Anda?

Untuk berkarya, kita bisa sendiri. Tetapi untuk menjadi penyair atau sastrawan, kita butuh komunitas, butuh dukungan orang lain. Kita butuh sebuah ruang untuk berproses, tumbuh bersama di mana kita bisa berdiskusi, karya kita diberi masukan dan kritik.

Komunitas dibutuhkan selama masih satu visi misi. Sebab kadang kala, namanya kehidupan, ada pasang surut. Saya percaya setiap orang bisa merakit perahu, tapi tidak selama-lamanya bisa berlayar bersama.

Masih ada yang ingin Anda capai dalam karya?

Setia di jalan sunyi itu proses, dan saya akan terus berada di dalamnya. Saya ingin terus menulis, sampai tidak bisa menulis. Jika tulisan saya memenangi kompetisi atau mendapat penghargaan, itu hanya bonus, bukan alasan untuk berhenti dan berpuas diri.

Apa kesan Anda tentang Taman Ismail Marzuki?

Pertama kali saya baca puisi di TIM sewaktu peluncuran buku Sinta Miranda berjudul Konstanta. Saat itu PDS HB Jassin masih menempati gedung lama. Dulu kesannya hanya sebagai tempat kumpulnya seniman.

Aura TIM yang sekarang sudah berbeda. Walaupun sebagian seniman mengatakan nuansa TIM tidak lagi sesahabat dulu, saya rasa kita tidak boleh mengesampingkan perubahan zaman. TIM  yang sekarang merepresentasikan perkembangan zaman, lebih instagramable. Perpustakaannya juga banyak dikunjungi kaum muda, sehingga kita bisa berharap minat baca akan meningkat. Terlebih sekarang buka sampai malam.

Menurut saya, tanpa mengesampingkan masih adanya sejumlah kekurangan, TIM yang sekarang lebih bagus dan lebih tertata.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini