Kau tahu, seberapa besar kesetiaan dimiliki seorang pecundang tak berperasaan? Sebesar butir debu yang bahkan ketika dilenyapkan masih menyisakan bekas kotor menjijikkan.
***
Bertahun lalu lelaki itu adalah seorang ayah menyenangkan. Seorang suami setia dan selalu bertanggung jawab atas beban keluarga yang dilimpahkan padanya. Bahkan seorang anak yang sangat berbakti pada kedua orang tua. Tapi tahun-tahun itu bahkan terlipat bagai lembar masa lalu usang. Sungguh sulit untuk dikembalikan. Karena kau hanya akan menemukan huruf-huruf memudar yang sudah tak terbaca lagi di sana, lebur dan lengket oleh kebencian, kian hari semakin meremukkan dan menjadikannya satu benda hanya layak berada di tempat sampah.
Lelaki itu awalnya baik, dengan kehidupan baik-baik dan segala sesuatu yang telihat baik. Hingga satu ketika segalanya menjadi berubah, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Tak ada lagi kebahagiaan di sana, kebahagiaan milik sebuah keluarga harmonis yang selama ini di agung-agungkan dan dibanggakan. Berubah menjadi sebuah neraka panas menyesakkan. Di satu pagi kembali terjadi kegaduhan dalam rumah, lelaki itu membanting pot bunga yang tergeletak di atas meja. Bau mulut beraroma alkohol menyeruak ke seluruh ruangan.
“Kau tahu kan aku tidak suka dengan mulutmu yang selalu berisik seperti petasan bocor? Jadi jangan selalu bertanya tentang apa pun yang aku lakukan, dan kerjakan saja tugasmu yang tidak pernah becus selama ini!” hardik lelaki itu pada seorang wanita berusia kepala empat yang tak beda jauh dari usianya.
Wanitanya hanya melengos saja, lalu pergi beranjak setelah membersihkan pecahan pot yang berhamburan di lantai. Entah karena sudah bosan dengan kelakuan suaminya, atau malas berdebat dan meladeni orang sedang tidak waras. Kata-kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu cuma bisa dia telan dengan rasa pahit. Tak ada lagi air mata dan rasa sakit yang tersisa, mungkin saja dia sudah mati rasa. Semalam lelaki itu tak pulang, tapi dia sudah tidak peduli lagi untuk hal yang dilakukan suaminya.
***
Suatu sore lelaki itu lupa meletakkan rambut di kepalanya. Kepala tanpa rambut yang terlihat sangat licin berkilau berulang kali dia elus seperti ada sesuatu yang akan tumbuh di sana. Tiba-tiba tangannya terhenti di ujung kepala, jarinya meraba-raba. “Benar ada yang tumbuh di sana,” pikirnya. Apa ini? Lalu dia pergi ke depan cermin dan mendapati di kepalanya sudah tumbuh akar. Akar-akar menjalar hingga telinga, mata, melingkari mulut, melewati hidung dan hampir seluruh wajahnya dengan ketebalan berbeda. Dia mulai panik, berputar-putar di depan cermin dan melihat kepalanya yang tadi tak berambut kini sudah ditutupi hampir seluruhnya oleh akar. Dia lalu berteriak-teriak memanggil-manggil istrinya, tapi istrinya tak kunjung datang. Dia mengumpat tak karuan, kemudian berteriak lagi memanggil anaknya, pun tak kelihatan batang hidungnya. Lelaki itu mulai kelelahan dan terengah-engah, emosinya tertahan di leher. Menyebabkan akar yang menjalar semakin bertambah banyak menutupi lehernya. Dia memegangi leher yang terasa panas dan nyeri, sampai satu ketika dia pingsan, tubuhnya ambruk ke lantai.
Sudah dua jam lebih lelaki itu tak sadarkan diri di lantai rumah, sampai dia dibangunkan oleh suara ponselnya sendiri. Dia mulai membuka mata, meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya, suara seorang wanita terdengar di seberang sana tapi bukan istrinya. Dia mendengar dengan saksama, sesekali mimiknya tampak berubah. Beberapa kali ingin menjawab atau menyela percakapan, tapi sepertinya wanita itu tak berhenti bicara dan memberi kesempatan padanya untuk bicara juga. Dia mulai tak sabar, dengan sekali bentakan akhirnya wanita itu terdiam.
”Dim! Apa kamu tak bisa mendengarkan saya?”
Akhirnya dia menceritakan juga apa yang baru saja dialaminya, dan wanita itu bergantian mendengarkannya bercerita. Setelah melewati percakapan demi percakapan, mereka pun memutuskan untuk bertemu di suatu tempat yang sudah ditentukan, tempat yang sering mereka kunjungi, tempat umum rahasia.
***
Seorang wanita usia kisaran enam puluhan sedang duduk menunggu seseorang di sebuah cafe yang terletak dalam sebuah kompleks perumahan elit di bilangan ibu kota. Hampir setengah jam sudah, tapi orang yang ditunggu belum juga tiba. Penampilannya mewah, dengan mengenakan baju yang terlihat mahal dan aksesoris swarovski seragam di leher, telinga juga jarinya. Matanya tampak menekuri layar ponsel yang dipegang dengan sebelah tangan, dan tangan satunya tampak bertopang dagu menandakan kebosanan yang juga terlihat jelas di raut wajahnya. Segelas jus berwarna puschia yang ada di hadapannya menyisakan setengah dari isinya. Helaan napas berkali-kali terlihat keluar dari mulutnya disertai gumam tak jelas juga di sana. Tak lama seorang laki-laki datang menghampiri, sambil merangkul ringan dan mengecup kening wanita itu, lalu duduk di hadapannnya.
”Maaf sayang, aku tadi terjebak macet sebab harus memutar jalan karena ada pengalihan kendaraan.” Lelaki itu coba memberi penjelasan.
”Its oke, duduklah,” sahut wanita itu.
Tak lama mereka larut dalam percakapan, dari yang ringan dengan sesekali diselingi candaan, sampai serius dan tampak ada perdebatan. Hubungan mereka memang spesial, namun rahasia. Si lelaki adalah seorang lawyer yang berkantor di sebuah Law Office di Jakarta, sedangakan si wanita pensiunan dari salah satu BUMN dan janda dengan dua anak yang sudah menikah semuanya. Mereka selama ini saling memberi dan menerima, saling membutuhkan, dan mempertahankan hubungan yang sudah tiga tahun lebih mereka jalani.
”Kapan kau akan menjual rumah yang ada di daerah Timur itu, sayang? Lokasi itu sudah sangat padat dan kumuh, kau bisa menggantinya dengan apartemen yang baru di bangun di daerah Utara. Kudengar prospeknya cukup bagus untuk dijadikan investasi sebab lokasi itu sangat strategis untuk konsumen dari perkantoran, mumpung harganya juga masih sale. Tapi jangan lupa mengatasnamakan diriku, kau sudah janji kan?” Lelaki itu meraih jemari si wanita dan menggenggamnya hangat. Wanita itu hanya menghela napas sejanak, lalu menjawab;
”Anakku sedang mengusahakannya, nanti akan kukabari kalau sudah ada yang berminat. Lalu kapan kau akan menikahiku? Hubungan ini sudah berjalan tiga tahun lebih, dan kau juga sudah janji akan segera merealisasikannya untuk menjadi pasangan utuh.”
Lelaki itu menarik tangannya, mimiknya sedikit berubah.
”Aku belum berhasil menemukan cara untuk melepas istriku dari hidupku. Dia selalu sabar dengan perlakuanku yang kadang sudah tak masuk akal padanya. Anak dan orang tuaku juga selalu membelanya dan menyudutkanku.” Lelaki itu tampak memberikan alasan.
”Lalu bagaimana denganku? Kau masih mencintaiku kan?” Wanita itu mulai meradang.
”Kalau aku tak mencintaimu, kita tak mungkin ada di sini sekarang, kau ini ada-ada saja. Sudahlah, aku tak ingin membahasnya saat ini, kau sudah merusak suasana santai kita. Nanti saja dibahas di waktu yang tepat, persoalan yang tak ringan ini.”
Wanita itu hanya bisa menarik napas berat, tak ingin melanjutkan percakapan. Dia hanya diam saja mendengar banyak celoteh yang keluar dari mulut lelaki itu. Emosinya labil, dia seperti sulit mengendalikan diri kalau sedang emosi. Kedewasaan sikap tergambar dari usia yang terbilang lanjut, kerap membuat wanita paruh baya itu selalu mengalah.
Sore semakin ranum, matahari sudah tinggal menyisakan cahaya emas dari sisi Barat langit. Kopi yang tinggal seperempat gelas milik lelaki itupun sudah dingin, mereka meninggalkan cafe itu dengan isi kepala yang tak sama.
***
Hari-hari selanjutnya, masih tetap sama. Lelaki yang tak berambut itu masih saja tak bisa mengendalikan emosi. Setiap kali marah dadanya seakan ingin meledak, akar-akar mulai bertumbuhan di kepala, leher dan seluruh wajahnya. Akar-akar itu akan hilang dengan sendirinya ketika emosi telah reda. Anehnya, hanya dia yang bisa melihat dan merasakan perubahan pada dirinya itu. Tak ada yang tahu, istri, anak, keluarga, bahkan kekasihnya. Keadaannya pun masih sama, hatinya masih menyimpan dendam sejak bertahun-tahun lalu ketika dia memergoki istrinya memasuki sebuah penginapan dengan seorang lelaki di sebuah kota kecil. Ketidaksengajaan itu terjadi saat dia sedang bertugas di kota tersebut. Bukan, bukan dia tak mengkonfirmasi hal itu pada sang istri. Tapi kenyataan pahit harus dia telan saat istrinya mengaku dan minta maaf memohon-mohon padanya. Sejak saat itu, dia tak pernah bahagia. Dia selalu ingin melampiaskan emosi dan rasa sakit hatinya pada setiap wanita. Tapi hanya ada dua wanita yang bisa bertahan dengan sifat pemarahnya saat ini, yaitu istri dan juga kekasihnya. Lelaki itu tak akan pernah bisa lagi memindahkan rambut ke kepalanya, dia sudah lupa. Lupa kalau dia pernah bahagia.***
Bionarasi
Khairani Piliang, berdarah Minang, lahir Medan, besar di Rantau Prapat, tinggal dan menetap di Jakarta. Punya beberapa buku antologi bersama cerpen dan puisi, buku solo kumcer pertama berjudul Suatu Pagi di Dermaga rilis 2017, dan beberapa tulisan yang sudah dimuat di media koran maupun online (puisi dan cerpen).