PojokTIM – Pertama bertemu di pameran lukisan Galeri 1 Soemanang, Antara Heritage Center , Pasar Baru, Jakarta Pusat, sikap ramah Nadia Sandra Dewi Iskandar langsung terlihat. Saat itu sejumlah lukisannya sedang dipajang bersama karya pelukis lain dalam pameran bertajuk Apresiasi Kehidupan Wanita. Tiga minggu kemudian PojokTIM bertemu kembali di kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) Cikini, Jakarta.

“Saya sering ke TIM. Rumah saya tidak jauh dari sini,” ujar Nadia di galeri PDS HB Jassin, Lantai IV Gedung Ali Sadikin, Rabu (14/5/2025).

Nadia sudah memiliki keinginan menjadi pematung sejak SMA, namun dilarang karena dirinya perempuan.  Siapa sangka, Nadia justru kuliah di Jurusan Teknik Elektro Universitas Trisakti yang notabene didominasi laki-laki. Bahkan Nadia melanjutkan pendidikannya di Jurusan Electrical Engineering di California, Amerika Serikat.

“Setelah lulus, kerjanya malah di bidang keuangan dan manajemen, bukan elektro. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini, saya bersama teman-teman mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang elektro,” terang Nadia sambil tertawa.

Nadia memulai jalan kesenian dengan tak biasa, karena “dipaksa” oleh kondisi. Namun Nadia berhasil membuktikan konsistensi dan eksistensinya, bahkan berhasil menjual karya lukisnya di tengah lesunya pasar lukisan saat ini. Berikut penuturan lengkap Nadia kepada PojokTIM.

Jadi Anda akhirnya “berani” menjadi pelukis?

Saya mulai melukis tahun 2001 di California, Los Angeles, karena ada keterdesakan untuk mengekpresikan situasi, menuangkan perasaan saya melalui media yang tepat. Di situlah saya mencoba melukis dan dalam prosesnya saya merasa nyaman.

Saya kemudian melibatkan diri dengan komunitas di sekitar tempat saya tinggal. Kebetulan di Beverly High School, California ada komunitas painting lesson beranggotakan 16 ibu-ibu. Awalnya saya melukis realis saat belajar, kemudian menuju ke impresionis. Melihat hasil karya saya, guru saya menganjurkan berguru ke maestro Marilyn Hoek Neil yang memberi kursus di Bel Air, ketimbang saya memperdalam ke bidang lukisan di universitas ataupun akademi

Akhirnya saya bertemu dan ikut les di rumah Marilyn, bersama sekitar 7 bule. Awalnya saya melukis dengan berbagai aliran seperti ekspresionis, dan impresionalis. Bahkan ada juga realis, sampai 3 lukisan. Tetapi saya tidak begitu suka. Saya melukis realis hanya ingin membuktikan bahwa saya bisa melukis  persis seperti obyeknya.  Saya juga pernah mencoba lukisan abstrak, tetapi saya kurang puas.

Antara ekspresionis, dan impresionalis, mana yang lebih kuat dalam lukisan Anda?

Dalam proses pencarian, saya sempat berpikir, apa sih yang ingin saya tampilkan di kanvas. Jika itu tentang perasaan yang ingin saya letupkan, seperti apa bentuknya. Setelah melakukan berbagai eksperimen, ternyata lukisan saya sekarang lebih banyak ke abstrak, ekspresionis dan impresionis.

Kapan Anda pulang ke Indonesia?

Tahun 2003 saya pulang ke Indonesia, dan sudah menghasilkan beberapa lukisan. Lukisan-lukisan itu saya pajang di rumah. Tidak pernah ikut pameran. Sampai akhirnya di tahun 2018, ada teman yang melihat dan mendorong saya untuk pameran di Balai Budaya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya saya setuju. Ternyata lukisan saya laku, surprise juga. Setelah itu saya diajak oleh Syahnagra Ismail ikut pameran berikutnya.

Sudah berapa kali pameran lukisan?

Sudah banyak. Pameran bersama pertama saya di Hall Community Centre of Beverly Hills Saat ini saya sudah lebih dari 30 kali ikut pameran, termasuk pameran di Korea. Waktu itu sebenarnya mau lanjut pameran di China, sudah apply, sudah registrasi, tahu-tahu ada wabah Covid-19. Kalau di Indonesia, selain Jakarta, saya sudah pameran  di Bandung, Solo, Surabaya, Bali, Bogor, dan beberapa kota lain. Lukisan saya tentang Pangeran Diponegoro akan diikutkan dalam pameran bersama di Balai Budaya yang dibuka tanggal 20 Mei mendatang .

Anda bergabung juga dengan komunitas seni lukis?

Iya, karena saat ikut pameran pasti bertemu dengan teman-teman dari berbagai komunitas. Yang awalnya hanya kepentingan untuk mengekspresikan perasaan, akhirnya tercebur beneran. Tetapi asyik juga, dan saya berusaha menikmati setiap proses dan momennya.

Bagaimana Anda melihat karya lukis saat ini secara umum?

Kalau dari teman-teman komunitas, karyanya sangat variasi. Dari yang sederhana, sampai yang sudah jadi. Ada juga yang  baru mulai, meski tidak semua karya pemula kurang bagus kualitasnya. Ada juga pelukis baru yang memiliki karya berkualitas. Namun dalam pameran bersama yang diadakan komunitas seringkali kualitasnya bercampur.

Dalam perkembangannya, pelukis yang sudah punya karakter, punya kemampuan untuk mandiri, memilih berpisah, keluar dari komunitas. Bergabung dalam grup-grup kecil yang anggotanya hanya 3 atau 7 pelukis.

Saya bergaul tanpa batas, tanpa sekat-sekat. Itu bagian dari proses pengayaan. Bahkan kadang belajar dari keluguan dan kesederhaaan pelukis lain.

Pernah mengadakan pameran tunggal?

Pernah, saya pameran tunggal di Galeri Vetaran tahun 2021.

Apakah punya liukisan favorit?

Tentu punya. Saya punya lukisan yang tidak mau saya jual. Tetapi tidak fair juga kalau ada yang berminat tapi kita mau melepas. Terlebih banyak lukisan yang merupakan ungkapan diri saya sendiri. Kalau lukisan itu dibeli orang, dan saya bisa terus berkomunikasi dengan pemilik barunya, bagi saya itu menenangkan. Rasanya (jiwa saya) tidak pergi jauh.

Bagaimana cara Anda menentukan harga lukisan?

Masing-masing pelukis punya standar harga. Kalau pelukis yang masih baru, pasang harga rendah, misal Rp 4 juta. Bagi yang merasa sudah selesai usahanya, sudah maksimal dalam berkarya, dan lukisannya amat sangat berharga, memasang harga sampai Rp 100 juta. Sah-sah saja, bahkan andai lebih mahal dari itu. Ada yang merasa bangga ketika pasang harga mahal. Ada juga anggapan yang (pasang harga) murah sedang kepepet (ekonomi). Macam-macam dan bagi saya itu dinamika saja.

Terlepas laku atau tidak, saya diajari  sama Marilyn bahwa if you really love the painting, harus pasang harga tinggi, karena bukan jualan. Saya melihatnya, kalau pun tidak laku, bukan berarti lukisan itu jelek. Sebab beli lukisan seperti jodoh, ada orang yang cakep tapi kita tidak naksir,ada yang begitu-begitu saja, kita malah suka. Jadi sesuai feeling. Saya juga punya teman yang hanya mau beli lukisan dari pelukis ternama, baginya itu prestise ketika dipasang di rumah.

Terkait jual lukisan, saya sering merasa ambivalen. Ini bukan tentang duit, tapi diri saya. Uang  pasti perlu banget untuk proses, beli cat, beli kanvas. Tapi ada hal lain yang kadang ukurannya tidak selalu tentang uang. Seni buat saya lebih kepada senimannya. Dia bisa mengekspresikan perasaan dalam suatu karya, itu prestasi. Di situlah harganya. Bahwa nanti orang menghargai lebih, karena mengandung momentum, sejarah, itu soal lain. Beli lukisan itu subyektif banget. Bukan seperti kita beli jas, atau beli sepatu. Karena orang tanpa lukisan tidak mati. Beda dengan orang tanpa makanan. Atau tanpa busana, kita tidak pantas. Lukisan lebih kepada kebutuhan jiwa. Saya sendiri merasa lebih sehat setelah melukis.

Melukis bisa untuk terapi?

Bisa banget. Orang bilang sekarang saya lebih happy. Hanya kepada lukisan saya bisa jujur, bisa mengeluarkan semua perasaan; sedih, marah, bahagia. Pernah lukisan saya tentang Jakarta diikutkan dalam pameran di Tugu Kuntskring Palais Jakarta. Teman saya bilang, lukisan itu menggambarkan kemarahan saya. Dia bertanya, apa yang membuat saya marah. Saya sendiri sudah lupa, saat melukis itu saya sedang marah pada apa atau siapa. Tetapi lukisan itu memang mengekspresikan kemarahan saya pada Kota Jakarta dengan bangunan- bangunan yang merepresentasikan kondisi yang carut marut, dan tidak sehat. Saya senang ada orang yang bisa menangkap kemarahan saya di dalam lukisan. Itu bentuk apresiasi yang saya hargai.

Masih ada keinginan pameran lukisan di galeri tertentu?

Saya tidak punya cirta-cita, tapi jika suatu waktu saya bisa pameran di tempat-tempat yang prestisius seperti Galeri Nasional (Galnas), berarti saya telah mencapai sesuatu yang penting. Kadang ingin juga lukisan saya dibeli dengan harga mahal. Tetapi setelah itu apa? Saya tidak mencari titik-titik pencapaian yang seperti itu karena bisa terjebak pada rasa bangga dan akhirnya sombong. Itu bahaya. Saya lebih mencari kebahagiaan, wisdom, berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan.

Apakah sebelumnya ini Anda pernah ke TIM?

Saya pernah belajar melukis di TIM. Bagi saya, dulu kalau ke TIM seperti ada dorongan ingin berkarya. Atau ingin menonton drama. Perasaan kita terbawa oleh suasana kesenian. Kalau sekarang kesannya sangat intelektual, lebih ke logika. Untuk mengeksplorasi ekspresi seni, sepertinya  sekarang sudah susah karena terkesan ada tuntutan akademis. Sangat terasa (tuntutan) itu.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini