PojokTIM – Jejerit buruh perempuan yang tengah perform di atas panggung kecil di pelataran Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk merayakan Hari Buruh, seperti menggerakan urat syaraf Ilhamdi Sulaiman. Adrenalinya laki-laki 67 tahun yang akrab disapa Boyke Sulaiman itu, mulai menyebar ke nadi. Tangan dan kakinya meronta.
“Saya sudah mendedikasikan hidup untuk berkesenian, pentas monolog atau baca puisi. Kalau ada yang bilang saya hidup dari panggung ke panggung, saya tidak menampik,” tutur Boyke, Rabu (1/5/2024) petang.
Totalitas “Manusia Panggung” dalam menapaki jalan monolog memang tidak diragukan. Penampilannya, dengan rambut panjang berwarna perak yang kadang dibiarkan tergerai, selalu prima hingga kadang “lupa’ usia”. Ketika sudah di atas panggung, Boyke seperti trance, asyikmazuk dengan dunianya. Ia tidak peduli berapa orang yang hadir menonton pementasannya. Bagi seniman yang telah melanglang buana hingga Malaysia itu, benda-benda yang ada di sekelilingnya – dinding, bangku hingga gelas – adalah penonton.
Mungkin ada yang menyayangkan gaya hidup bohemiannya mengingat Boyke memiliki latar belakang yang memberinya kesempatan untuk “hidup mapan”. Sebab hidup dari panggung ke panggung tidak memberinya keamaman finansial. Tetapi itulah pilihan. Dan Boyke telah memilih jalan monolog dengan penuh kesadaran, keberanian dan totalitas, termasuk ketika dengan sadar melepas status pegawai negeri sipil (PNS).
Mari simak ringkasan perbincangan PojokTIM dengan pria kelahiran Medan, 12 September 1957.
Bisa ceritakan peristiwa yang membuat Anda berani mengambil keputusan memilih jalan kesenian, khususnya monolog?
Prosesnya cukup panjang, bukan keputusan mendadak. Latar belakang saya sastra murni, dan sejak remaja memang sudah tertarik dengan dunia kesenian, khususnya seni pentas. Tahun 1976, saya bergabung dengan Bumi Teater-nya Wisran Hadi. Saat kuliah di Universitas Bung Hatta, Padang, saya membentuk Teater Proklamator dan aktif mengadakan pementasan.
Tahun 1988 saya mendapat tawaran bekerja di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya ditempatkan di Taman Budaya Bengkulu. Tempatnya cukup sunyi dan sepi dari aktifitas kesenian. Maklum, di masa itu kesenian belum menjadi prioritas kita. Pemerintah masih sibuk dengan jargon pembangunan ekonomi dan kesenian tidak termasuk di dalamnya.
Untuk mengobati kerinduan pada kegiatan pementasan, saya sempat meliatih anak-anak sekitar taman budaya untuk bermain teater. Tapi ya hanya sebatas itu. Tidak pernah dipentaskan.
Karena jarang ada kegiatan, saya kemudian ditarik menjadi guru SD. Hati saya langsung beraontak. Pertama, saya tidak bisa mengajar. Kedua, penampilan saya sejak muda sudah gondrong dan punya tato. Menurut standar seorang pendidik saat itu, penampilan terlihat aneh untuk menjadi pendidik. Belum lagi ada kewajiban mengajar minimal 20 jam per minggu. Padahal gajinya hanya Rp 250 ribu ditambah beras 10 kg.
Akhirnya saya memutuskan keluar dari PNS tahun 1999. Sejak itu saya totalitas menjadi seniman.
Totalitas Boyke Sulaiman dalam salah satu pementasa. Foto: Ist
Sejak kapan berkiprah di lingkungan TIM?
Sebenarnya sejak tahun 80-an saya sudah sering ke TIM. Sesekali pentas juga. Tapi kemudian saya ke Padang untuk kuliah dan kemudian kerja jadi PNS di Bengkulu. Saya balik dan mulai berkiprah di lingkungan TIM secara total sejak 2013.
Kalau begitu, antara tahun 1999 sampai 2013 Anda berkesenian di mana?
Setelah memutuskan keluar dari PNS dan menjalani hidup sebagai seniman, saya mulai keliling ke berbagai daerah. Dari satu taman budaya ke taman budaya lainnya. Paling sering ke taman budaya di daerah Jawa. Kadang saya tinggal di satu taman budaya sampai satu minggu. Setelah pementasan selesai, saya mulai menghubungi teman di taman budaya lain untuk pentas. Begitu seterusnya.
Demikian juga ketika di Malaysia. Saya lebih sering bolak-balik KL (Kuala Lumpur) – Jakarta daripada Padang – Jakarta. Di Malaysia saya juga keliling dari satu tempat ke tempat lain, pentas monolog sesuai keinginan saya. Tapi pernah juga diajak bergabung dengan teater Malaysia untuk mementaskan Uda dan Dara karya Usman Awang. Sebulan lebih saya keliling mementaskan naskah itu dari Kuala Lumpur sampai Selangor.
Karena pentas di taman budaya – taman budaya itu atas keinginan Anda sendiri, bagaimana dengan pendapatannya? Apa ada bantuan dari taman budaya atau ada penjualan tiket masuk?
Tidak ada bantuan resmi dari instansi seperti taman budaya atau dinas terkait. Pementasan saya juga gratis, tidak menjual tiket. Semua saya biaya sendiri. Namanya rejeki ada saja jalannya. Tidak sang pungkiri, kadang juga dapat uang saku dari kepala taman budaya. Ya, cukup untuk ongkos transportasi ke taman budaya berikutnya.
Bagaimana saat di Malasyia
Nah, kalau di Malaysia beda. Meski tidak pakai karcis, sifatnya sukarela, tapi banyak yang memberikan donasi. Apalagi kalau mereka puas dengan pementasan saya. Kadang, seminggu di Malaysia, saya bisa mendapat minimal Rp 5 juta. Saat diajak sama teater Malasyia, sebulan saya mendapat (bayaran) sekitar Rp 60 juta.
Ketika bermonolog, tema apa yang sering dibawakan?
Disesuaikan dengan tempatnya. Saya sering mengambil tema spontan. Misalnya saat di Malaysia saya membawakan monolog berjudul Jerebu (Asap) yang bercerita tentang kebakaran hutan dan polusi udara. Itu monolog saya yang pertama. Ada juga Si Utih Orang Gila Budiman, Tong Kosong Nyari Isinya, dan lain-lain. Total saya telah menulis 59 naskah monolog
Antara pentas di Indonesia dengan Malaysia, mana yang lebih berkesan?
Bagi saya, semua berkesan. Ini kan sebuah perjalanan berkesenian saya, sehingga setiap tiap tapaknya, jejaknya, saya nikmati dan syukuri. Dalam berproses, kita harus menikmati semuanya, termasuk jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya ketika sepi penonton. Mengapa kita harus hilang semangat? Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk datang, menonton dan menyukai karya kita. Kita tetap maksimal dalam berpentas, sambil berujar pada diri sendiri untuk lebih giat berlatih agar pementasannya mendatangkan banyak penonton. Ini fase lumrah yang dialami oleh orang panggung.
Setiap perjalanan memiliki sensasi, keasyikan, keunikan dan problematikanya sendiri. Saya menikmati itu semua, tanpa tanya, tanpa keluh karena sudah menjadi pilihan hidup.
Kapan terakhir pentas di Malaysia?
Terakhir saya pentas tepat sebelum pendemi Covid-19, tahun 2020. Bahkan tiket pesawat akhirnya dimajukan 2 hari dari jadwal karena sudah ada kabar bandara akan lockdown. Sebenarnya saya masih ada rencana untuk pentas di sana. Sedang menunggu kesiapan pihak Malaysia.
Bagaiman dengan keluarga saat Anda pentas keliling, tidak pulang hingga berbulan-bulan?
Istri saya sudah memaklumi dan tidak masalah dengan jalan yang saya pilih. Demikian juga anak-anak. Sekali waktu, istri saya datang ke sini (TIM, red). Tidak ada masalah. Apalagi istri saya punya usaha katering sehingga tidak ada masalah dari segi keuangan. Kalau kebetulan ada yang mengajak pentas, dan diberi honor, saya pun selalu menyisihkan untuk orang rumah. Selama ini tidak ada maasalah.
Apa masih ada obesesi yang ingin diwujudkan?
Saya memiliki obsesi pentas monolog di dengan penonton kelompok disabilitas tunarunggu. Saya ingin bermonolog menggunakan bahasa tubuh. Mudah-mudahan dapat terwujud.
Ketika PojokTIM mengambil gambar pementasan Hari Buruh, Boyke Sulaiman mendadak menghilang. Tubuhnya lenyap tanpa jejak. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain seringan beban hidupnya. Manusia Panggung itu telah kembali menjadi dirinya, yang tidak mau terikat pada ruang dan waktu.