PojokTIM – Materi yang dipaparkan jernih dan runut. Demikian pula saat menegaskan sikapnya terhadap suatu permasalahan yang masih kontroversi, lugas tanpa ambiguitas. Itulah Ririen Fina Richdayanti, sarjana psikologi yang doyan mengupas karya sastra dengan pisau keilmuannya.
“Sejak kecil saya suka puisi-puisi Chairil Anwar dan WS Rendra,” ujar Ririen yang meraih gelar sarjana psikologi dari Universitas Katholik Soegijapranata Semarang.
Ririen tidak pelit berbagi ilmu dan rajin mengikuti kegiatan seni, dari pementasan hingga diskusi, di PDS HB Jassin dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM). Keramahannya seolah-olah mampu menepis ketakutan ketika kita “terpaksa dekat-dekat” psikolog karena masih kuatnya stigma buruk tentang penyakit mental yang diindetikkan dengan kurang waras alias gila.
“Sepanjang (karya) ciptanya tidak bersifat destruktif atau berpotensi merugikan dan menghancurkan diri pencipta sendiri, orang di sekitarnya, dan lingkungan sekitarnya, maka (secara psikologi) itu masih wajar,” ujar Ririen ketika ditanya apakah kecenderungan seniman memberontak terhadap nilai, aturan dan kemapanan sosial atas nama kebebasan seagai gangguan kejiwaan.
Saat ini Ririen bekerja sebagai Konsultan Manajemen Sumber Daya Manusia beberapa perusahaan asing di Indonesia di bawah PT BIPO Service Indonesia. Magister Kebijakan Kerjasama Internasional dengan konsentrasi Pariwisata dan Bisnis Keramahtamahan dari Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang itu juga aktif sebagai psikolog industri, organisasi, dan General Psychology.
Berikut ringkasan wawancara dengan penulis buku Peta Jalan di Garis Waktuku yang memuat kumpulan tulisan tentang kesehatan dan ketangguhan mental, kepemimpinan, dan manajemen sumber daya manusia. Tanya jawab dengan Ririen Fina dilakukan secara tertulis dalam 2 kesempatan.
Dari tinjauan psikologi, bagaimana hubungan antara ekpresi dengan emosi seseorang?
Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan pilihan tindakan seseorang merupakan salah satu cara manusia untuk mengungkapkan emosinya pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Namun ada pula orang-orang yang memang sudah terlatih untuk mengelola emosinya, sehingga saat emosi-emosi negatif, seperti marah, kecewa, dan sedih, sedang mereka rasakan, tidak kita lihat melalui ekspresinya.
Misalnya, seorang yang berprofesi sebagai sales, walaupun sedang marah, sedih, ataupun kecewa, namun saat bekerja, ia harus tetap bersikap profesional untuk menunjukkan keramahan, senyuman, dan ketrampilan komunikasi yang baik, untuk menarik (perhatian) pembeli.
Apakah karya seni dapat digunakan untuk menilai kepribadian atau kejiwaan penciptanya?
Karya seni dapat menjadi salah satu data pendukung untuk memahami kepribadian atau kondisi kejiwaan penciptanya, namun tetap harus dipadukan dengan data lainnya, misalnya membangun komunikasi untuk mengenal seniman tersebut dengan lebih baik. Atau dengan melakukan rangkaian observasi keseharian pencipta karya seni tersebut, dan mewawancarainya. Apabila merasa masih perlu menggali lebih jauh, dapat dipadukan dengan memberikan tes psikologi, untuk menyusun dinamika psikologis atau keadaan kejiwaan seseorang, termasuk seorang seniman.
Apakah seseorang dalam berkarya, baik prosa maupun seni rupa dapat memisahkan emosi dirinya dengan karya ciptanya? Bahwa itu hanya bentuk ekspresi sebagai penyampai pendapat atau pesan saja tanpa melibatkan unsur dirinya. Misalnya, karya yang mendukung hak-hak LGBT, namun dirinya menolak atau bukan LGBT?
Bisa saja prosa maupun karya seni benar-benar hanya sebuah deskripsi dan paparan dari penciptanya, untuk menggambarkan sebuah fenomena. Untuk menyampaikan pendapat, maupun pesan pribadinya, misalnya tentang LGBT dan karya-karya yang mendukung hak-hak LGBT, tanpa penciptanya harus menjadi bagian dari komunitas LGBT.
Apabila kita merasa bahwa deskripsi maupun hasil karya seninya sangat mewakili komunitas tertentu, bisa saja hal itu terjadi karena pengamatan yang sangat detail dalam jangka waktu yang cukup panjang, serta menjadikan beberapa orang dalam komunitas tersebut sebagai narasumber dalam proses penciptaan karya seninya.
Dimungkinkan pula seorang seniman yang memang anggota suatu komunitas, yang kemudian menciptakan karya seni sebagai ekspresi atas apa yang ia pikirkan, rasakan, maupun harapkan.
Ada beberapa kasus di mana seniman berkarya mendahului “zamannya” sehingga dianggap memiliki kelainan kejiwaan. Pendapat Anda?
Vincent van Gogh pada jamannya dianggap sebagai seorang dengan gangguan jiwa, sampai dirawat dalam RSJ Saint Paul de Mausole di Provinsi Saint Remy de Provence. Namun saat ini lukisan-lukisannya menjadi legenda, seperti The Starry Night, Vase with Fourteen Sunflowers, Self-portrait, Wheatfield with Crows, dan Irises. Jadi mungkin saja, yang saat ini kita anggap sebagai ekspresi dari gangguan kejiwaan, di masa depan akan dianggap sebagai karya seni bernilai tinggi.
Karya fiksi tidak terlepas dari daya khayal penciptanya. Namun kadang daya khayal itu begitu liar. Apakah daya khayal dapat dibatasi atau dikendalikan?
Daya khayal maupun imajinasi dapat dikendalikan oleh pemiliknya, sepanjang dia tetap memiliki kontrol diri. Daya khayal atau imajinasi dibutuhkan dalam berkarya. Bahkan banyak penemu-penemu dunia seperti pelukis Leonardo da Vinci, fisikawan Albert Einstein, ilmuwan Thomas Alva Edison, termasuk BJ Habibie yang menciptakan Teori Crack Propagation – sebuah solusi untuk mendeteksi rambatan kerusakan konstruksi pada badan pesawat – mengawali temuannya dari imajinasi. Berkat temuan-temuan hebat mereka, kehidupan manusia menjadi lebih baik dan nyaman.
Namun saat daya khayal maupun imajinasi mulai liar, yang ditandai dengan kecenderungan untuk merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya, maka pada titik inilah manusia yang masih memiliki kontrol diri, harus dapat menghentikan imajinasi liarnya, sebelum makin tidak terkendali. Dan jika ia gagal mengontrol dirinya, institusi-institusi diluar dirinya akan bertindak untuk menghentikannya, misalnya kepolisian maupun petugas dan perawat dari rumah sakit jiwa (RSJ).
Dalam konteks seni, seseorang yang tidak ingin membuat atau menciptakan sesuatu, namun kemudian merasa tersiksa dan gelisah sehingga “terpaksa” menuruti dorongan dari dalam jiwanya. Apakah ini bentuk gangguan mental?
Tidak, sepanjang ciptaannya tidak bersifat destruktif atau berpotensi merugikan dan menghancurkan diri pencipta sendiri, orang disekitarnya, dan lingkungan sekitarnya.
Ririen Fina (kedua dari kiri) saat tampil menjadi pembicara dalam acara launching buku karya Shantined di PDS HB Jassin.
Adakah karya seni yang dapat digunakan untuk terapi kesehatan mental?
Prosa dan puisi adalah contoh karya seni yang dapat menjadi media untuk memulihkan kesehatan jiwa. Menulis adalah salah satu media untuk mengekspresikan suasana hati, keinginan, pemikiran, keluh kesah, harapan, kemarahan, kesedihan, penyesalan, kebahagiaan, dan beragam jenis emosi lainnya.
Dari hasil penelitian terbaru, menulis juga dapat menjadi salah satu media untuk memulihkan jiwa. Sebab menulis dapat membantu mengurasi stress dan depresi, membantu kita menjadi lebih santai dan tenang, membantu meningkatkan dan mempertahankan fungsi kognitif (berpikir), sehingga mencegah kita untuk menjadi lekas pikun, membantu meningkatkan kesejahteraan emosional, serta membantu mengatasi trauma, karena menuliskan pengalaman traumatis akan mengurangi stres yang terjadi setelah ada kejadian yang menimbulkan trauma secara emosional.
Contohnya karya tulis yang dapat dijadikan bahan terapi mental adalah buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Cerita dari Digul.
Apa hal paling menarik terkait hubungan antara psikologi dengan seni?
Berkesenian dapat menjadi salah satu media untuk memelihara dan memulihkan kesehatan jiwa para pekerja seni, maupun penikmat seninya. Tujuan utama dari perawatan psikologis adalah memelihara dan memulihkan kesehatan jiwa, sehingga dapat dikatakan hubungan antara seni dan psikologi ini cukup menarik.
Pada kasus paling ringan, adakah metode, alat atau cara untuk mengukur atau mengetahui kesehatan mental kita tanpa konsultasi dengan psikolog?
Sepanjang jiwa kita merasa nyaman, tenang, dan segala pilihan tindakan kita tidak merugikan diri kita sendiri, orang-orang sekitar kita, dan lingkungan sekitar, serta apabila sebagai individu, kita tetap berfungsi dengan baik sebagai anggota masyarakat, maka kita belum perlu konsultasi dengan psikolog. Misalnya sebagai seorang ayah dan suami, tetap dapat berfungsi sesuai kedua perannya tersebut, maka seorang pria tidak perlu konsultasi terkait kesehatan mentalnya pada psikolog.