PojokTIM – Tidak ada kata main-main dalam kamus dosen Seni Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Gandung Bondowoso. Baginya, kedisiplinan dan keseriusan dalam teater tidak dapat ditawar, bahkan saat latihan. Teguh Karya, N Riantiarno, Putu Wijaya adalah contoh teaterwan yang sangat mengutamakan kedisiplinan. Gandung mengaku, saat kuliah dirinya sangat dihargai oleh dosen Seni Akting IKJ Tatiek Maliyati karena selalu displin, tidak pernah terlambat, dan tidak pernah mbolos.
“Kalau kamu masih tertawa (saat latihan), padahal itu tidak ada dalam naskah (teater) artinya kamu belum serius,” ujar Gandung Bondowoso. Tatapan dari balik kacamata tertuju lurus pada PojokTIM, seolah-olah ingin memastikan kata-katanya dapat dipahami dengan baik.
Dosen kawakan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh riuh celoteh pengunjung kantin yang sedang menikmati menu buka puasa di kantin Gedung Trisno Soemardjo, dalam kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Hangatnya udara sore, Senin (10/3/2024), menemami perbincangan yang mengalir tanpa jeda selama hampir 1 jam.
“Hanya beberapa orang yang tahu nama asliku,” katanya renyah. Nama Gandung Bondowoso memang sudah terlanjur lekat dengan pria yang kini berusai 71 tahun itu.
Berikut rangkuman perbincangan PojokTIM dengan Gandung Bondowoso diselingi lontaran candaan khasnya yang pedas.
Sejak kapan Anda mengajar di program studi Seni Teater?
Sudah lama sekali, sejak tahun 1991. Saya ini termasuk dosen senior di IKJ.
Bagaimana minat lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan ke jurusan Seni Teater?
Masih tinggi. Dalam satu angkatan jumlahnya di atas 20 orang tapi di bawah 30 orang. Itu jumlah yang stabil, dari dulu sampai sekarang. Meski pun dalam perjalanan waktu ada mahasiswa yang keluar, tidak menyelesaikan kuliahnya.
Apa alasannya?
Macem-macem. Salah satunya karena biaya kuliah di IKJ mahal. Ketika orang tuanya sudah tidak berdaya, dia memutuskan berhenti (kuliah). Faktor lainnya datang dari mahasiswanya. Misal dia terpikat main film, sehingga kuliahnya terbengkalai. Mereka yang beralih dari teater ke film lumayan banyak.
Adakah lulusan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ yang kemudian menjadi bintang film terkenal?
Kalau zaman dulu banyak seperti Didi Petet, Yayu Unru, Mathias Muchus, dan lain-lain. Tapi yang sekarang, yang muda-muda, belum terlihat.
Mata kuliah apa saja yang diajarkan kepada mahasiswa program studi Fakultas Seni Pertunjukan IKJ?
Pada pokoknya hanya ada tiga yakni Jurusan Akting, Penyutradaraan, dan Artistik. Kalau kemudian ada yang menulis naskah atau skenario, itu inisiatif dia sendiri.
Pada saat ujian akhir, apakah ada kewajiban bagi mahasiswa teater untuk membuat pementasan?
Iya, itu wajib. Bisa sebagai aktor maupun sutradara. Bisa juga dua-duanya, sebagai aktor sekaligus sutradaranya.
Selain berkiprah di dunia teater dan main film, adakah profesi lain yang bisa ditekuni lulusan Seni Teater?
Nah, itu yang penting untuk diketahui. Lulusan teater tidak harus menjadi pemain teater atau bintang film. Apalagi zaman sekarang, sedikit sekali lulusan IKJ yang bangga naik panggung. Mereka malah banyak yang menjadi guru, mengajar di SMA, membuka studio akting, sambil menjadi kritikus teater. Jadi, jika memiliki minat kuliah seni teater, jangan ragu-ragu karena banyak profesi yang bisa ditekuni sesuai keilmuannya.
Dari sisi ketekunan dan keseriusan, apakah ada perbedaan antara mahasiswa di tahun 90-an dengan generasi yang tumbuh di tengah disrupsi teknologi seperti sekarang?
Sama saja. Ada yang tekun, serius menghajar dirinya dalam hal mengasah kemampuan seni akting, ada juga yang biasa-biasa saja. Tapi saya punya trik dalam mengajar agar mereka tekun dan serius. Kalau sedang mengajar, saya sangat galak. Dispilin menjadi penting. Terlambat lebih dari setengah jam, saya suruh keluar. Tiga kali terlambat, dia tidak akan lulus. Saya sangat keras dalam hal disiplin.
Ada anggapan, seniman, termasuk mahasiswa calon seniman, sulit untuk diatur, tidak disiplin, dan imej negatif lainnya …
Itu pandangan yang salah. Titik tolak seniman adalah disiplin dalam berkarya. Pertama-tama dia melakukan penciptaan. Dalam proses penciptaan, tidak mungkin jika tidak didukung keteguhan hati, keteguhan semangat, yang didasari oleh disiplin.
Para seniman yang berhasil, dalam arti sudah mengorbitkan karya-karyanya, adalah orang-orang yang memiliki disiplin. Sebutlah seniman dari generasi saya seperti Putu Wijaya, WS Rendra, Nano Riantiarno. Disiplin dalam kesenian itu sangat-sangat penting.
Apa arti kebebasan dalam kesenian?
Kebebasan dalam kesenian adalah kebebasan untuk mencipta karya sesuai kehendak senimannya. Dulu, di masa Orde Baru, banyak karya seniman yang dilarang, atau dipotong pada bagian yang dianggap mengkritik pemerintah. Kalau sekarang saya kira tidak ada. Paling-paling kalau menyinggung wilayah kepercayaan atau agama. Ingat, kebebasan juga dibatasi oleh norma, oleh hal-hal yang hidup di tengah masyarakat.
Persoalannya, sekarang norma telah bergeser. Contohnya dalam hal korupsi. Masyarakat (seperti) bersikap biasa saja, menerima terhadap perilaku korup para pejabat. Jika dibiarkan akan menjadi budaya. Karena sudah menjadi budaya, maka korupsi di Indonesia tidak bisa berhenti. Nantinya ketika ada karya yang mengangkat tema korupsi, akan dimusuhi, atau bahkan dilarang, karena menyinggung budaya. Ini fenomena aneh yang sedang terjadi.
Selain norma terkait kepercayaan dan agama, menurut Anda, di mana lagi batasan karya seni?
Karya harus jujur. Oleh karenanya, karya tidak boleh berisi fitnah. Jadi di situ batasannya. Misalnya melukis laki-laki sedang memeluk 2 perempuan — istrinya dan pacarnya. Itu fitnah ketika ternyata laki-laki itu hanya punya istri, tidak punya pacar.
Sebelum menjadi dosen, Anda pernah bermain teater?
Tentu pernah. Bahkan sejak muda saya sudah gabung dengan grup teater. Saya setia dengan Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya. Banyak pimpinan grup teater meminta saya bergabung, namun saya tolak. Paling ikut main, tapi tidak sampai bergabung menjadi anggota. Misalnya, saat Riantiarno (almarhum) memohon secara pribadi. Karena menghargai, saya ikut main di pementasannya, tapi hanya sekali. Demikian juga ketika main di teater lembaga, dengan sutradara Wahyu Sihombing. Saya merasa tidak nyaman, tidak merasa nikmat. Karena akting saya bukan seni akting realis.
Apa perbedaan antara realis dengan nonrealis?
Kalau di realis, adegan nangis harus benar-benar sedemikian rupa sehingga penonton terpesona. Di nonrealis tidak ada adegan seperti itu. Dalam seni akting, intinya cuma 3, tertawa atau gembira, marah, dan sedih. Lainnya hanya prontholan-prontholan-nya saja. Nah, saya lemah untuk akting sedih. Karena tingkatan tertinggi dalam kesedihan itu adalah mengeluarkan air mata. Saya tidak bisa. Kalau di sinetron (aktor) menggunakan obat tetes mata dan di-zoom. Kelihatan air matanya. Kalau di panggung mana bisa. Tangisnya harus alami, dan (bagi saya) itu sangat sulit.
Menurut Anda, apa kekurangan dari grup-grup teater baru?
Mereka jarang mengadakan pementasan. Padahal pengalaman berharga di teater adalah naik panggung, main di depan penonton. Minimal grup teater menggelar 3 kali pementasan dalam setahun.
Kalau dari antusisme penonton, Anda melihatnya seperti apa?
Saya kira makin berkurang. Penyebabnya karena pelaksana produksi tidak bisa bisa mengendus, menggenggam cita rasa penonton sekarang. Yang mereka mainkan selalu naskah-naskah kuno, terutama Barat dan Yunani.
Artinya perlu naskah-naskah teater yang baru?
Iya, yang relevan dengan kondisi saat ini. Bisa juga adaptasi dari karya-karya klasik, tapi harus hati-hati supaya tidak dituduh plagiat atau mencuri. Terpenting adalah memahami cita rasa kekinian supaya pementasannya dapat dipahami dan dinikmati oleh penonton yang lebih luas.