PojokTIM – Wajah Sukardi Wahyudi begitu semringah ketika masuk ke smoking area di balkon Lantai 4 Gedung Ali Sadikin Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta Pusat. Keceriaannya tidak hilang kala menceritakan pesawatnya yang delay dalam perjalanan dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ke Jakarta.

“Rencananya mau ajak anak-anak ke sini (TIM), tapi mereka kecapean karena pesawat delay sampai 5 jam,” kata Sukardi yang sengaja datang ke Jakarta untuk menghadiri acara Diskusi Sastra I dengan pembicara Fadli Zon dan Sutardji Calzoum Bachri yang digelar Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) bersama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemprov DKI Jakarta serta PDS HB Jassin, Sabtu (22/6/2024).

Dalam sekejap Sukardi, yang telah meluncurkan 9 buku antologi puisi tunggal, terlibat dalam perbincangan akrab dengan para penyair dan sastrawan yang sebelumnya tenggelam dalam asap tembakau seperti Nanang R. Supriyatin, Jose Rizal Manua, Guntoro Sulung, Tatan Daniel, Isson Khairul, dan Octavianus Masheka. Pria murah senyum itu sudah sering menghadiri acara sastra di TIM, dan sebaliknya, banyak juga sastrawan asal Jakarta yang berkunjung ke rumahnya di Kutai Kartanegara.

Sukardi Wahyudi lahir Samarinda 17 Januari 1960, dan mulai mengeluti dunia sastra sejak 1977. Karyanya pernah dimuat di Mimbar Masyarakat, Kutai Baru, Kaltim Post, Post Kota, Banjarmasin Post, Lampung Post, Bali Post, Karya Bakti Mataram, Anita Cemerlang, Melati, Mutiara, Simponi, Santana, Rakyat merdeka, Berita Yudha, Angkatan Bersenjata, Media Indonesia, Republika, Sinar Harapan, dan lain-lain.

Selain antologi tunggal, puisi-puisinya juga terhimpun dalam antologi bersama penyair daerah dan nasional. Namanya tercatat dalam buku Apa dan Siapa; Penyair Indonesia (Yayasan HPI, 2017).

Selain puisi, Sukardi menulis cerpen dan naskah drama. Tidak terhitung lagi jumlah pengharghaan yang pernah diterima termasuk  Setyasastra Nagari 30 Tahun Kesetiaan Sastra Indonesia oleh Lumbung Puisi Indonesia,  Sastrawan Berdedikasi 2021 Kaltimtara oleh Kantor Bahasa Provinsi Kaltim, Penggerak Literasi Dan Penulis Buku Solo oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (2023).

Suami Hj Dewi Yulinati Fatma ini juga tercatat sebagai pendiri Pondok Sastra Prajurit Puisi Kabupaten Kutai, Sekretaris HISTAS (Himpunan Seniman Teater Dan Sinetron) Kabupaten Kutai Kartanegara, pendiri Teater Swara Siswa Kabupaten Kutai Kartanegara dan pembina berbagai organisasi.

PojokTIMK berkesempatan mewawancarainya sebelum acara diskusi sastra di aula PDS HB Jassin yang telah selesai direnovasi. Berikut rangkumannya.

Anda sering mengikuti kegiatan di TIM padahal tinggal di Kutai. Apakah karena ada bisnis di Jakarta sehingga sekalian mampir ke TIM?

Kalau dulu, sebelum pensiun, setiap ada tugas kedinasan (di Jakarta), pasti mampir. Sekarang tidak ada tujuan lain, memang diniatkan ke TIM untuk berkegiatan sekaligus silaturahmi dengan teman-teman.

Sejak kapan mulai berkegiatan di TIM?

Tahun 80-an saya sering ke TIM. Saya banyak mengenal sastrawan-sastrawan besar yang menjadikan TIM sebagai rumah kegiatannya. Mereka welcome dan selalu hangat menerima siapa saja yang datang, termasuk saya yang notabene dari daerah. Saya sudah menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Jadi saya betah dan senang berkegiatan di TIM.

Bagaimana orang daerah memandang TIM?

Dulu TIM merupakan barometer berkesenian di Indonesia. Hampir semua seniman punya mimpi bisa pentas di TIM. Kalau sudah diterima dan bisa pentas di TIM, dianggap sudah sah menjadi seniman. Setidaknya sudah punya legitimasi dan jam terbang. Sebab tidak sembarang orang bisa pentas di TIM. Jika sekedar main, siapa saja boleh. Tapi kalau ikut pentas pada acara-acara sastra, ada aturan dan standar ketat yang diterapkan oleh penyelenggara. Hal itu yang membuat TIM menjadi sakral dan dihormati.

Kalau sekarang?

Saya lihat auranya sudah berbeda. Dulu kami, para penggiat kesenian yang ada TIM, sangat akrab, berbaur. Sekarang saya kurang menemukan hal itu. Mungkin karena gedungnya baru, suasananya berubah, dan juga birokrasinya.

Mungkin juga ada hubungannya dengan cara kami berkomunikasi. Dulu kami terbiasa surat-suratan, saling berkabar dan bercerita tentang banyak hal. Atau sekedar bertanya terkait isu-isu kesenian yang sedang ramai dibahas di media massa. Kalau sekarang, cukup pakai WA, selesai. Nulis pesan singkat kan beda rasanya dengan menulis surat yang bahasanya tersusun dengan rapi. Menunggu surat kita dibalas juga bisa menjadi rindu yang berat, dan berkesan mendalam sehingga ketika bisa berjumpa memberikan rasa bahagia.

Bagaimana dengan perkembangan sastra di Kalimantan Timur, khususnya Kutai Kartanegara?

Di tahun-tahun lampau, komunitas sastra di tempat kami masih kurang, jadi kebanyakan jalan sendiri-sendiri. Terlebih pemangku kebijakan juga kurang antusias dengan kegiatan bersastra. Alhamdulillah sekarang ada Kantor Bahasa, jadi kami agak terbantu.Sekarang sudah lebih banyak kegiatan yang bernuansa sastra. Terlebih Kantor Bahasa juga memiliki program pemberian penghargaan kepada sastrawan. Meski kami berkarya bukan semata karena mengharap penghargaan, tetapi program semacam itu setidaknya dapat memacu semangat teman-teman dalam berkarya.

Apa dampak kehadiran IKN bagi perkembangan sastra di Kalimantan?

Sejauh ini belum ada. Tetapi dengan kehadiran IKN, saya berharap perkembangan sastra di Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, dapat lebih baik lagi. Sebab nanti, mau tidak mau, suka tidak suka, kiblat sastra akan ikut pindah ke sana (IKN). Kalau sekarang kan di sini (Jakarta).

Langkah apa yang telah dilakukan oleh para penggiat seni, khususnya sastra di Kalimantan Timur dalam menyambut kehadiran IKN?

Kami dan juga teman-teman di Kalimantan Timur sudah bergiat. Saat ini di setiap kabupaten sudah ada kegiatan-kegiatan sastra. Contohnya di tempat kami, di Kutai Kartanegara. Setiap malam minggu di Titik Nol Ing Martapura, di depan Museum Mulawarman, masyarakat mengadakan kegiatan bercerita, macam-macam cerita, yang dinamakan Berkesahan. Seni apa saja boleh berpartisipasi, termasuk sastra. Bahkan yang harus ada di setiap acara Berkesahan adalah baca puisi.

Sejauh yang Anda tahu, apakah di IKN sudah ada infrastruktur untuk kesenian?

Pusat kesenian di IKN, termasuk gedung kesenian, rencananya akan dibangun di kawasan ring 2. Kalau ring 1 khusus istana negara dan kantor-kantor kementerian. Tapi jujur saja, bagi saya IKN masih menyimpan tanda besar.

Faktor apa yang membuat Anda kurang optimis?

Saya berharap IKN dapat terwujud sesuai rencana. Tetapi melihat perkembangan pembangunannya, mohon maaf, saya agak ragu-ragu karena seperti “dipaksakan”. Pertama, letaknya di tengah hutan. Meski jarak bukan lagi masalah, tetapi karena dibangun di tengah hutan, tentu tetap ada pengaruhnya. Kedua, saat ini infrastrukturnya belum 100 persen, dan dalam beberapa bulan ke depan akan ada pergantian pemerintahan. Walaupun pemerintahan mendatang berjanji tetap melanjutkan pembangunan  IKN, tetapi mungkin skala prioritasnya berbeda. Ketiga, kemarin Kepada Otorita IKN, dan wakilnya, mundur. Tentu dapat menimbulkan spekulasi yang berdampak pada tingkat kepercayaan investor.

Jadi Anda ragu-ragu karena faktor itu?

Jujur saja, sejak awal saya sudah ragu-ragu. Bahkan sudah saya tuangkan dalam puisi berjudul Ibu Kepada Ibu Kota Negara. Ketika tetap dilaksanakan, dengan segala kontroversinya, saya pun berharap mudah-mudahan pembangunannya dapat diselesaikan dengan baik. Saya tidak mau seperti negara-negara lain yang gagal dalam memindahkan ibu kota negaranya.

Jadi, meski ragu, saya tetap berharap IKN dapat terlaksana sesuai rencana, dan memberikan dampak positif bagi masyarakat, termasuk masyarakat sastra. Sehingga kehadiran IKN di Kalimantan Timur dapat menjadi kiblat sastra baru di Indonesia.

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini