Oleh: Nanang R. Supriyatin
Seniman Purbalingga Terus Bergerak
Dalam peta kepenyairan Indonesia, penyair yang berasal dari Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, nyaris dapat dihitung dengan jari. Bahkan, di antara para penyair itu, sebagian kini hijrah ke kota lain. Dalam kaitannya dengan event sastra yang menonjol belakangan di Kabupaten Purbalingga tampak saat diselenggarakannya Mengenang Penyair Sapardi Djoko Damono; yakni berupa pagelaran pentas puisi yang diselenggarakan Dewan Kesenian Purbalingga pada hari jumat, 7 Agustus 2020. Sejumlah sastrawan Purbalingga dan grup musik ikut andil dalam kegiatan tersebut. Pementasan puisi dengan menerapkan protokol kesehatan, ditayangkan dengan cara live streaming di channel youtuber misbar Purbalingga. Para sastrawan yang tampil, antara lain Agustav Triono, Trisnanto Budidoyo, Andy Prasetyo, Ryan Rachman, Meinur Diana Irawati, Lintang Kumala, Yani Ekasari dan sebagainya.
Dalam berita online Jatengdaely.com tertanggal 25 Desember 2020. Dengan lokasi di Restoran Green Sabin, Mrebet, Purbalingga, telah diluncurkan antologi puisi “Kidung Ibu”. Peluncuran antologi puisi yang memuat 21 penyair perempuan asal Kabupaten Purbalingga itu sekaligus dalam rangka memperingati Hari Ibu 22 Desember. Hadir pada kesempatan tersebut Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah Gunoto Saparie dan Wakil Ketua Dewan Kesenian Purbalingga Ryan Rachman.
Para penyair perempuan Purbalingga yang terlibat dalam penulisan antologi puisi ini adalah Anastasia Sri Kartisusanto, Ariyani, Gagat Wahyuni, Heny Nopi Ganeti, Ira Ismatul Hamidah, Isni Widiarti, Jiah Palupi Twihantarti, Lelly Faizatillah, Lilian Kiki Triwulan, Lintang Kumala, Makhmudah, Marti Susanti, Nia Samsihono, Nur Amaliyah Choerunisa, Nur Widijanti, Septiningsih, Setyati Listiani, Sri Hartati, Titi Budi Rahayu, Tri Widiastuti, dan Windu Setyaningsih.
Sebelumnya melalui posted by Dinkominfo tertanggal 4 Oktober 2020, di kota yang sama juga terbit dan diluncurkan buku antologi puisi berjudul “Epitaf Tanah Perwira” (3/10/2020), bertempat di kompleks Taman Kota Usman Jahatin. Menurut Ryan Rachman, dalam antologi puisi tersebut menyiratkan semacam catatan kecil di atas monumen yang merangkum karya puisi “Wong Purbalingga”. Selain penulis puisi yang tinggal di Purbalingga, buku tersebut juga memuat karya dari para penulis kelahiran Purbalingga yang kini bermukim di berbagai kota di Indonesia. Ada 60 kontributor lintas generasi yang puisinya termaktub dalam buku tersebut
Pada bulan Februari 2021, kata Ketua Dewan Kesenian Purbalingga, Bowo Laksono kepada detikcom, disampaikan ada enam pelukis Purbalingga mengikuti ajang pameran seni lukis Internasional bertajuk Imlek Art International Exhibition. Eksibisi digelar selama sebulan dari tanggal 23 Januari 2021 hingga 23 Februari 2021 di Rest Area Heritage KM 260B Banjaratama, Brebes, Jawa Tengah. Ke enam pelukis dimaksud yaitu Imam Karsosno, Khadno Aprianto, Yuli Hartono, Sajiman Abdul Hadi, dan Hamdi.
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah yang memiliki luas wilayah 78 Ha (2,3% dari Luas wilayah Jawa Tengah), atau lebih luas sedikit dari Jakarta Pusat (sekitar 56 Ha), ternyata punya daya tarik. Daya pikir dan daya olah para seniman Purbalingga terus bergerak dan dilakukan dengan sangat ekspresif. Bukan saja di bidang sastra. Sukatani, bank punk new wave asal Purbalingga, Jawa Tengah. Duo musisi yang menutup mukanya dengan valaclava ini kerap berbagi sayuran saat sedang perform. Aransemen musiknya sangat kental dengan permainan sound yang ciamik.
“Rimba Nostalgia”
Kumpulan Puisi “Rimba Nostalgia” ini semula direncanakan terbit bersamaan dengan hari ulang tahun penulisnya, Tri Widiastuti yang ke-55 (lahir di Bukateja, Purbalingga, 28 Mei 1969). Katakanlah sebagai kado ulang tahun bagi dirinya. Berisi 55 puisi dengan titimangsa tahun 2018 – 2024. Sebagian besar puisi-puisi ditulis di Cilungsi, Bogor. Dalam perjalanan karirnya tercatat Tri Widiastuti sudah hijrah ke Jakarta, dari kota asalnya Purbalingga tahun 1988. Saat tinggal bersama Saudara kandungnya di daerah Kelapa Gading, Jakarta Timur Tri sudah banyak membaca dan menyimak karya puisi yang tersebar di media massa. Sesekali menghadiri pameran buku yang diselenggarakan IKAPI. Tri juga pernah tergabung di Komunitas Dapur Sastra Jakarta dan Komunitas Alinea Baru. Sebagai penulis puisi tentulah Tri tidak se-produktif perempuan penyair lainnya. Ini semata-mata karena kesibukkannya bekerja. Namun, meskipun tidak produktif, beberapa karya puisinya sempat menghiasi antologi puisi bersama, seperti “Cintamu Kujaga”, Kutulis Namamu di Batu, “Kekasih Sejati”. “Zamrud Khatulistiwa”, “Kita Adalah Indonesia”, dan sebagainya.
Judul puisi yang sekaligus dijadikan judul buku, “Rimba Nostalgia” umumnya disampaikan dengan larik-larik naratif, ekspresif, dengan simbol-simbol menghanyutkan. “Keheningan bertubuh hijau tanah kelahiran/ Meraba belantara rimba ingatan/ Pepohonan menyulam waktu keluarga inti/ Ranting-rerantingnya tiga plus tiga” (bait ke-1). Penyair mencoba mengingat pada kampung halaman. Ia coba meraba melalui ingatan. Sebuah lukisan melalui kata-kata yang disampaikan dengan polos, ‘Pepohonan menyulam waktu keluarga ini’. Duh! Sebuah kalimat metaforis yang keren.
Sebagai anak yang patuh pada orangtua, yang sayang keluarga dan sebagai perempuan yang selalu rindu pada kampung halaman – terlihat jelas dari bait ke bait. Inilah puisi ‘Rimba Nostalgia’ secara seluruhannya.
RIMBA NOSTALGIA
Keheningan bertubuh hijau tanah kelahiran
Meraba belantara rimba ingatan
Pepohonan menyulam waktu keluarga
Ranting-rantingnya tiga plus tiga
Keberkahan air susu ibu
Mengalir lembut dalam darah
Mengarus dari hulu hisapan puting susu
Merawat hayat pada tingkat kehidupan
Di bawah langit Bukateja-Purbalingga
Menerawang indah sepasang pohon berakar doa
Merimbun daun penyejuk di gugusan firdaus
Musim silih berganti mengeja namamu
Menguji ketegaran kian menjulang langit
Hingga suatu saat semesta memanggilnya kembali
Cileungsi (Bogor), 04/11/2021
Tema kerinduan pada kampung halaman juga tampak dari sudut pandang penyairnya saat mengenang ibu yang digambarkan layaknya Srikandi. Puisi yang terdiri dari empat bait.
SRIKANDI KELUARGA
: Ibu
Perempuan itu
Adalah Perempuan bersahaja
Cinta kisah hangat terus menyala
Membakar kerinduan anak-anak panahnya
Untuk kembali bersimpuh di kakinya
Bibir menyulam waktu
Benang dan jarum tertata rapi
Memadukan warna-warna pada hamparan kanvas kehidupan
berwarna warni
Menghiasi hari-hari di masa senja
Bibir yang madu mengulum senyum
Mencoba mengeja waktu yang tergilas putaran roda zaman
Menatap kaca benggala pada potret diri
Masih melekat memori di kepala
Saat ia mengarahkan panah serupa Srikandi
Anak-anak panah melesat jauh
Satu persatu berpijak
Satu persatu mengarungi kehidupannya
Cileungsi (Bogor), 13 Oktober 2020
Kelebihan perempuan yang bergumul dengan dunia kata-kata, antara lain batinnya mudah tersentuh hal-hal yang tak terlupakan. Perasaannya yang halus membuatnya dengan mudah mengeksplorasi bahasa hati ke dalam bentuk puisi. Selain dua puisi di atas, ada beberapa puisi Tri Widiastuti yang menggambarkan tentang sosok ibu dan kerinduan pada kampung halaman, seperti pada judul “Perempuan Bermata Embun”, “Lir-Ilir Di Alam Purbalingga”, “Memeluk Kenangan”, “Jembatan Keluarga”, “Untaian Rinduku”, dan beberapa puisi lainnya.
Rasa cinta dan sayang bukan saja tertumpah pada ibu, sebagai sosok perempuan yang melahirkannya. Dalam puisinya yang lain, Tri mampu menguntai kata-kata dengan lirik-lirik ekspresif, khususnya puisi-puisi yang ditujukan pada mantan pacar (suami), dan anak kandungnya yang semata wayang.
LELAKI USIA SENJA
: Belahan jiwaku
Ia lelaki usia senja
Mengukir kenang pada tiap-tiap pelataran
Menikmati asin garam dan asam kehidupan
Tak hirau akan peluh membasah tubuh
Rentang masa dekade musim dijelajahi
Ada beribu tapak jejak menapak di beribu peristiwa
Mematangkan usia dan pendewaan diri lelaki usia senja
Menjadi tulang punggung
Mengemban amanah tanggungjawab keluarga
(Cileungsi (Bogor), 15 April 2022
PERMATA HATI
: lahir 05 Mei 1999
(Cahyo Surya Widodo Anak bujang semata wayang)
Bayi mungilku yang pernah bermukim di dalam rahimku
Berendam di dalam air ketuban
Hingga hitungan angka sepuluh purnama
Kini genap berusia duapuluhlima tahun
Menapaki dunia fana
Selamat sehat berkah, Nak bujangku
Permata hati ibu
Anugerah dan amanah illahi
Kado menjelang ultahku ke tigapuluh tahun
Pelengkap kebahagiaan
Menandai sebutan ibu dalam diriku
Aroma bulan Mei aroma sejarah sakral keluarga inti
Menikmati perjalanan hidup
Melukis dunianya
Terbangkan mimpi-mimpimu sampai ke bintang
Berproses menggapai usia
Mewarnai kanvas kehidupan
Ada doa dan restu ibu dalam setiap jejak tapak langkah kakimu
Cileungsi (Bogor), 02 Juni 2024
Puisi-Puisi Tematis
Kumpulan puisi “Rimba Nostalgia” menghimpun 55 puisi. Membaca jejak kepenyairan Tri Widiastuti akan terlihat jelas dari untaian kata maupun tema-tema spesifik yang terkandung di dalamnya. Dalam pengamatan saya, Tri memulai menulis puisi sejak akhir tahun 1990. Ini dapat terbaca dari proses kreatifnya di beberapa antologi puisi yang memuat karyanya. Di antara puisi-puisinya yang tersebar itu, Tri cenderung mengungkapkan isi hatinya dengan sangat polos dan bernas. Kemampuannya merekam peristiwa di masa lalu dan mengekspresikan kata-kata saat adanya peristiwa aktualitas, telah menggiringnya menjadi seorang pencatat sejarah. Ada duka di rumah singgah Bukateja, kenangan-kenangan masa lalu di Purbalingga. Dan yang sangat miris adanya wabah pandemi covid-19, tragedi Tsunami di Banten, serta firasat kematian Sang Ayah pada tahun 2006.
Sebuah puisi Tri Widiastuti di bawah ini pastilah akan membawa pembacanya ke sebuah kota kenangan, apalagi jika si pembaca asli kelahiran Purbalingga. Yuk simak,
KOTA KENANGAN
Bukateja, Purbalingga
tanah kelahiran, kota kenangan
tempat terkubur ari-ari
tempat tergenang
pecah ketuban
Kota itu menggali ingatanku untuk bertandang
tempat rinduku berpulang
Setiap pemudik berjalan-jalan mengitari
rumah tua, kokoh di pinggir sawah
Terperangkap ruang sejarah
Sarat riwayat
Secercah
bersimbah darah
Pada gelar tikar
masih terbiar ceceran berlembar
membekas nafas syuhada bertaruh nyawa
menukar dengan hidupnya
Kisahmu terus menguar di udara sepanjang musim
Tikar merah membalut senyum tangis bahagiamu
merawat jejak tapak juangmu
Cileungsi (Bogor), 17/08.2021
•Nanang R. Supriyatin, Penyair dan Penulis asal Jakarta