PojokTIM – Nama Ahmadun Yosi Herfanda sebenarnya sudah masuk daftar sastrawan yang harus dikulik pemikiran dan pandangannya untuk disertakan dalam buku “Mereka Ada di TIM” jilid pertama yang terbit tahun 2024. Ketika hal itu tidak dapat terlaksana, jujur saja, faktornya murni karena keterbatasan kontak yang dimiliki PojokTIM.

Surprise! PojokTIM justru bisa menemuinya di sela-sela acara pembahasan buku terjemahan puisi Chairil Anwar ke dalam Bahasa Perancis karya Isadora Fichou di Aula HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Minggu (9/2/2025). Ahmadun hadir sebagai pembaca puisi dwibahasa, Indonesia dan Perancis.

“Silakan, mau tanya apa?” ujar penulis buku Kasidah Seribu Purnama itu kepada PojokTIM.

Ramah dan hangat. Tutur kata pemenang penghargaan Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) melalui cerpen berjudul Sebutir Kepala dan Seekor Kucing tersebut mengalir jernih tanpa terganggu aktifitas orang-orang di sekitarnya.

Ahmadun Y Herfanda dikenal sebagai esais, jurnalis dan sastrawan yang telah menerbitkan puluhan buku kumpulan cerpen dan juga antologi puisi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Buku yang telah diterbitkan antara lain Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997), Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997), Sembahyang Rumputan  (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997), Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004), Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004), The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005), serta Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006).

Bukan hanya produktif berkarya dan menjadi pembicara di dalam dan luar negeri, pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 17 Januari 1958 itu juga aktif di berbagai organisasi di antaranya Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2010-2013), Ketua Umum Komunitas Cerpen Indonesia (KCI, 2007-2010), Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 2008). anggota Dewan Penasihat dan anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP), pendiri Yayasan Sastra Indonesia, anggota dewan pakar Institute of Malay Studies Patthani University (Thailand) dan tim ahli Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Sastra Kemendikbud RI.

Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan penulis buku Surat Cinta untuk Puan Sunyi, sebuah kumpulan puisi yang diterbitkan Ikatan Penulis Sabah (2024).

Bagaimana kondisi sastra di tengah gemuruh era digital yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat?

Kondisi sastra saat ini baik-baik saja. Tergantung kepada kita bagaimana mempertahankan dan  meletakkan sastra di tengah era digital supaya tidak tergantikan oleh teknologi seperti AI (Artificial intelligence).

Apa yang perlu kita antisipasi dari kehadiran teknologi bernama AI?

AI menyediakan fasilitas untuk membuat puisi, esai, cerpen. Untuk teman-teman yang ingin berkarya secara instan, tinggal memerintah, tinggal pesan ke AI. Hal itu tentu merupakan ancaman bagi sastrawan, ketika kerja kreatif seperti menulis sudah digantikan oleh mesin.

Banyak yang mengatakan AI tidak bisa menggantikan sastrawan, terutama pada rasa dan nuansa yang menjadi kekuatan karya sastra. Menurut Anda?

Saat ini, AI memang memiliki banyak kelemahan. Misal, kata-kata yang dipilih AI masih streotipe, sering mengulang kata-kata yang sama, pola tipografinya mirip. Tapi itu sekarang. Ke depan, AI akan semakin pintar karena basis datanya makin banyak. Kelak, jika terus diupdate, AI bisa menyaingi sastrawan sungguhan.

Pemerintah menggencarkan industri kreatif, apakah sastra termasuk yang dapat masuk atau menjadi bagian dalam industri kreatif?   

Industri kreatif akan membantu sastrawan apabila dikelola secara adil. Namun kenyataannya, sastra hanya menjadi bagian kecil dari industri kreatif. Salah satunya karena industri kreatif kita tidak menyentuh semua jenis buku sastra. Hanya karya-karya yang memenuhi selera pasar saja yang diterbitkan oleh pemerintah melalui program industri kreatif. Itu pun hanya beberapa saja, terutama novel, seperti Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

Sementara buku-buku sastra seperti kumpulan puisi, belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Tidak salah jika kita menyebut industri kreatif menyisakan cerita sedih bagi pelaku penerbitan buku sastra dan sastrawan. Jika tidak ada lagi yang mau mencetak karya sastra, kumpulan puisi, lama-lama akan tergantikan oleh sastra digital. Sastra kovensional – sastra cetak – akan terpinggirkan.

Apa alasan pemerintah?

Alasannya selalu klasik, bahwa buku sastra tidak laku di pasaran. Padahal pasar bisa diciptakan, dengan prosi yang gencar, dengan memanfaat teknologi. Misal kita menerbitkan buku kumpulun puisi, lalu didengungkan melalui buzzer di media-media sosial sehingga menarik perhatian. Dengan demikian pasar akan tercipta. Ini kan membutuhkan dana. Nah, pemerintah harus hadir. Tidak bisa hanya bersikap pasif dengan memilih buku-buku yang mengikuti selera pasar. Jika kondisi ini diteruskan, jangan salahkan sastrawan ketika kelak karya-karya yang dikenal oleh masyarakat hanya karya-karya yang sebatas hiburan.

Dengan kondisi demikian, apakah sastra masih bisa eksis, tumbuh dan berkembang?

Saya optimis rumah sastra tetap memiliki penghuni. Kita punya lembaga-lembaga pengayom sastra, yang menjaga sastra agar tetap eksis. Yang dekat dengan kita itu DKJ dan Badan Bahasa. Pusat Bahasa dan Sastra, melalui program-programnya juga terus memberdayakan karya sastra.

Demikian juga di daerah-daerah, banyak lembaga dan komunitas penjaga sastra non-pemerintah. Mereka terus menggeliat dan mampu menyelenggarakan kegiatan sastra. Bukan hanya penerbitan, namun juga pementasan dan pertemuan-pertemuan sastra.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap kondisi TIM saat ini?

Ketika saya melihat TIM usai direnovasi, melihat dari arah Hotel Alia, TIM terlihat jelek. Desain arsitekturnya kaku. Ada bangunan segitiga, yakni tempat parkir dan bankwir,  teronggok di tengah depan TIM. Ini membuat pandangan ke ara TIM terasa tidak nyaman, seperti milihat gudang tanpa sentuhan arsitektur yang indah. Saya kira pihak Jakpro perlu memodifikasi lagi bangunan segitiga itu agar tidak terkesan kaku, agar TIM tampak lebih indah dari semua sisi depan.

Akan tetapi kalau kita bergeser ke selatan, ke depan patung Ali Sadikin, depan Gedung Panjang, kawasan TIM tampak sangat indah. Apalagi pada malam hari. Tampak bangunan segitiga tadi dari arah kiri, atap planetarium dan gedung teater kecil yang artistik dengan latar belakang apartement penuh lampu seperti deretan bintanģ, menjulang tinggi, kawasan TIM tampak sangat indah, dengan Gedung Ali Sadikin (gedung panjang) berdiri kokoh di sebelah kiri. TIM terkesan cocok untuk menjadi pusat kesenian modern, pusat kesenian urban, penanda terpenting Jakarta sebagai Kota Sastra (menurut Unesco) karena di TIM kegiatan-kegiatan sastra terpenting bergulir, termasuk di PDS HB Jassin.

Kalau kita masuk ke dalam, masuk gedung panjang, di dalam ada PDS HB Jassin, yang ditata dan dikelola secara modern, baik dokomentasi sastranya maupun sistem layanan pengunjungnya, secara apik. Selain ruang dokumentasi sastra, ada ruang baca yang luas, ada aula diskusi dan pertunjukan, ada pula ruang baca keluarga dan anak-anak. Ada pula gedung arsip nasional menyatu di dalamnya. Saya kira pengunjung merasa nyaman dengan ruang-ruang yang tersedia itu. Ruang-ruang itu ditata secara rapi dan digitalize. Pengunjung yg butuh informasi ttt bisa memanfaat komputer yang tersedia di banyak meja.

Kalau kita beranjak keluar, Teater Jakarta  (teater Besar dan Teater Kecil) serta Planetarium, masih berdiri di posisinya, siap didayagunakan. Sedangkan Graha Bhakti Budaya masih ada di tampat semuda dan sudah disulap jadi gedung baru. Begitu juga IKJ masih ada di belakang TIM.

Renovasi TIM tampaknya belum selesai. Masi banyak ruang atau area yang kosong dan ada gedung (di seberang Toko Buku Jose Rizal Manua yang tampaknya akan dirobohkan. Toko buku Jose Rizal kabarnya juga bakal dibuatkan tempat khusus. Bangunan yang ditempati sekarang terkesan sebagai bangunan sementara.

Pada awal renovasi, banyak sastrawan dan seniman pada mengeluh dan bahkan berunjuk rasa. Mereka antara lain mempotes renovasi TIM yang kurang berdialog dengan mereka, sehingga minim masukan. Kita tahu, desain tata ruang dan arsitektur yang menjadi dasar renovasi TIM kurang lebih adalah desain arsitektur pemenang sayembara.

Para seniman dan sastrawan juga menyayangkan hilangnya ruang publik bagi mereka. Dulu depan Graha Bhakti di sisi kanan ada sederet kafe sebagai ruang publik bagi mereka untuk bersantai, minum, sambil berdiskusi sampai larut malam. Dari silah sering lahir ide-ide untuk menulis puisi, cerpen, esai, dan karya seni apa saja. Nah, sejak kafe-kafe itu digusur, mereka tak punya lagi ruang publik yang mendorong proses penciptaan. Ruang-ruang berkumpul tinggal tempat tempat formal yang dibatasi waktu dan peraturan.

Di ground floor (GF) gedung panjang memang ada beberapa kafe dan di bagian depan gedung panjang juda kafe tempat makan dan minum. Tetapi, berkali-kali saya mencoba duduk di kafe-kafe itu, baik sendiri atau dengan sejumlah kawan, rasanya memang tidak senyaman dan se inspiratif dulu. Jadi, pantaslah kalau para sastrawan dan seniman merasa KEHILANGAN, seperti kehilangan habitat seninya. Layaknya, teknokrat memang mendengar suara seniman, jika hendak membangunkan tempat berproses untuk menjadi bagi mereka.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini