PojokTIM – Ruang Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seketika senyap ketika Saras Dewi, dosen filsafat Universitas Indonesia yang juga penyair, serta Riri Satria, pakar teknologi dan transformasi digital, memaparkan perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang dapat menggantikan eksistensi manusia. Bukan hanya di bidang pekerjaan, namun juga memengaruhi pola pikir dan budaya manusia.

Menurut Saras Dewi, awalnya teknologi hanya dianggap sebagai alat bantu untuk menyelesaikan permasalahan manusia. Dari teknologi yang sangat sederhana di zaman purba hingga teknologi yang membantu manusia mencapai peradaban modern. Namun pemahaman itu mulai goyah  ketika disrupsi teknologi mulai masuk ke dalam kesadaran manusia.

“Ketika AI mampu bermain game, seperti catur, bahkan mengerjakan atau memecahkan rumus-rumus matematika, filsafat teknologi masih menganggapnya sebagai bentuk ekstrem dari pengembangan kalkulator. Namun ketika AI mulai bisa membuat puisi, lukisan, dan karya seni lainnya, kita menyadari teknologi bukan lagi sebagai alat, tetapi ancaman terhadap eksistensial manusia,” ujar Yayas, sapaan akrab Saras Dewi, dalam diskusi dengan tema Hak Cipta dan Filosofi AI yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, Jumat (7/3/2025) malam.

Lebih jauh Yayas mengatakan, kehadiran AI mulai meruntuhkan hegemoni manusia sebagai makhluk berpikir. “Kecerdasan buatan membuat resah filsafat. Logos yang menandai perayaan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berakal mulai terganggu. Disrupsi teknologi, khususnya AI, menyadarkan kita bahwa manusia bukan lagi satu-satunya “makhluk” yang dapat berpikir,” kata Yayas.

Ahli filsafat yang juga dikenal sebagai penyanyi itu mencontohkan beberapa karya yang dihasilkan dari kolaborasi antara manusia dengan AI. Di bidang seni rupa ada potrait Edmond de Belamy. Pada lelang Christie’s  tahun 2018, lukisan itu terjual seharga US$ 432.500. Kemudian Sougwen Chung, seniman multidisiplin yang bekerja dengan bantuan robot AI dan menghasilkan berbagai karya fantastik.

Dari Indonesia, ada  Jemana Murti. Seniman asal Bali itu memanfaatkan AI untuk mengeksplorasi budaya Bali dengan teknologi terutama pada bentuk, warna dan komposisi.

“Kolaborasi antara manusia dengan AI menghasilkan karya yang unik,” simpul Yayas.

Sejarah AI

Peserta diskusi dari pemerhati teknologi, seniman dan sastrawan sudah “terteror” sejak Riri Sastria, yang tampil menjadi pembicara pertama, menguraikan sejarah kehadiran AI. Staf ahli Kemenko Polkam itu mengatakan, keberhasilan Deep Blue, komputer IBM yang dikendalikan AI, mengalahkan Garry Kasparov pada pertandingan catur 11 Mei 1997 adalah milestone perkembangan AI yang hari ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia.

“Kekalahan itu tidak terjadi sertamerta, karena sebelumnya Garry Kasparov telah mengalahkan Deep Blue. Nah, data pertandingan-pertandingan sebelumnya itu diolah AI dan digunakan untuk melawan Kasparov pada pertandingan berikutnya, dan Deep Blue akhirnya menang. Jadi, pengetahuan AI berasal dari data yang dipasok oleh manusia,” ujar Ketua Jagat Sastra Milenia yang rajin memberikan pemahaman tentang AI kepada para seniman dengan tujuan agar seniman dapat berkarya lebih baik dari komputer.

Sebab, demikian Riri, sepandai-pandainya AI, tidak mungkin menggantikan manusia karena AI hanya dapat bekerja jika ada input data dari manusia. “AI bekerja hanya berdasarkan program atau chip yang disisipkan. AI tahunya simbol, tanpa karakter, jiwa dan rasa. Sementara manusia memiliki hati dan pikiran. Oleh karenanya puisi yang dihasilkan oleh AI tidak memiliki kedalaman rasa sebagaimana puisi ciptaan manusia,” terang Riri.

Namun, Riri mengingatkan, saat ini AI memang masih dibantu oleh manusia. Ke depan, AI dirancang untuk berjalan sendiri alias autonomous. Oleh karena sebagian besar pekerjaan manusia, sangat mungkin digantikan oleh AI.

“Dulu juru ketik sangat diperlukan oleh setiap instansi, namun saat ini sudah hilang. Itu contoh pekerjaan yang digantikan oleh teknologi. Jadi, mungkin saja ke depan semua pekerjaan manusia digantikan oleh AI, kecuali pekerjaan-pekerjaan yang high thinking,” kata Riri.

Melihat perkembangan AI yang sangat cepat, menurut Riri, pemerintah perlu segera membuat lembaga AI nasional agar ada regulasi yang mengatur penggunaan AI. Surat Edaran Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 belum cukup kuat. “Kita perlu undang-undang yang mengatur penggunaan AI secara etis,” tegas Riri.

Carissa P Finneren tampil membaca puisi dalam diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI di Teater Wahyu Sihombing.

Sementara Dimaz Prayudha, ahli hukum tentang hak cipta, memaparkan tentang pentingnya bagi pencipta untuk mendaftarkan karya ciptanya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) agar terlindungi secara hukum. Terlebih, karya seseorang dengan mudah diambil sebagai data AI sehingga penciptanya justru dianggap sebagai plagiat dari AI.

“Hak cipta adalah hak ekslusif sejak ide diciptakan dan diumumkan dalam bentuk nyata. Untuk memudahkan waktu pengumuman ke publik, atau sejak kapan karya itu diumumkan, posting saja di medsos. Dengan demikian jejaknya jelas dan dapat digunakan sebagai bukti manakala terjadi sengketa hukum,” ujar Dimaz.

Menariknya, Dimaz memaparkan bahwa hak cipta atas karya yang diciptakan oleh karyawan, tetap menjadi milik karyawan tersebut, bukan perusahaannya, kecuali diperjanjikan lain.

Acara diskusi yang dipandu juga diisi dengan tanya jawab dan pembacaan puisi oleh Carissa P Finneren dari Jakarta Poetry Slam.

 

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini