Cerpen Yon Bayu Wahyono
Muram. Titik pertama jatuh tepat di atas daun Teki. Orang-orang bergegas, berlarian dengan wajah pucat dan lelah.
“Mengapa dia belum beranjak? Biasanya hanya menikmati kelam dan bergegas pergi saat hujan mulai turun,” ujar Batu.
“Iya, dia hanya senang menikmati gulungan awan gelap namun tidak akan membiarkan dirinya kehujanan,” timpal Daun Ganyong .
“Dia terlalu sayang pada dua merpatinya…”
“Huh!” Kumbang Tanah memotong ucapan Rumput Teki sambil mendengus. “Dasar bodoh. Dia mencumbu kelam bagai kekasih. Kelam itu yang akhirnya akan menelan dan memisahkan dengan dua merpatinya!”
Laki-laki tua menoleh pada Kumbang Tanah dengan wajah masam. “Aku tak butuh ocehanmu. Tidakkah kau lebih bodoh dariku? Setiap hari hanya menggangsir tanah dan menimbunnya kembali.”
“Aku menjalankan kodratku, menjaga keseimbangan taman ini,” jawab Kumbang Tanah.
“Mengapa kamu tidak berpikir yang sama terhadapku? Bahwa aku tengah menyeimbangkan alam? Bukankah jika semua bahagia, tidak ada lagi cermin untuk mengetahui duka, memahami luka?”
“Seniman gagal,” ejek Kecubung.
Lelaki tua tertawa. Balas mengejek. Seisi taman ini adalah sekumpulan si bodoh, batinnya.
“Aku tidak sebodoh prasangkamu,” protes Burung Sikatan. “Tapi aku maklum,” lanjutnya, “karena kamu melihat dari hati keruh sehingga semua tampak bodoh.”
Hening. Kilat kian sering datang, menyapu wajahnya. “Pelangi itu takkan kubiarkan datang,” ujar Kilat.
“Aku sudah tak peduli,” sahut laki-laki tua.
“Bohong,” cerca Kilat. “Kamu tetap berharap pelangi datang, kan?”
“Pantaskah aku berharap?”
“Kamu memang pintar menyembunyikan rasa di balik kata-kata,” kata Kumbang Tanah dengan nadanya yang jauh dari pujian.
“Dan beraninya hanya bertutur pada kita,” sergah Kecubung dengan tawa mistisnya.
Kilat menyambar dengan satu lecutan. Lelaki tua menggerakan bola matanya. Ekornya mengikuti ke mana Kilat berlalu. Aku akan menangkapmu!
Kilat tertawa riang mendengar ancaman itu. “Akhirnya kamu marah karena aku menyembunyikan pelangi!”
Lelaki tua menggeleng, batinnya mengutuk. Kamu tidak tahu inginku!
Kompasianival, 2018