PojokTIM – Wajahnya tak pernah lepas dari senyum. Seolah-olah itu menjadi identitas dirinya yang selalu ingin menebar kehangatan dalam persahabatan. Namun ketika menyangkut hal-hal yang prinsip Ihwal Benz Satriadji pun tak segan-segan mengambil sikap tegas.
“Saya pernah mengikuti laku spiritual, mengunjungi tempat-tempat yang disucikan, termasuk makam para aulia. Tetapi ketika tata cara salatnya bertentangan dengan akidah yang saya pahami, saya langsung mengambil sikap tegas dengan keluar dari kelompok itu,” ujar Ihwal, akhir pekan lalu di plasa Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.
Aktivitas spiritual dan kesenian Ihwal yang kini aktif di Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT), berjalan beriringan. Sempat di pesantren kala SMA, ihwal mengawali jalan keseniannya melalui teater dan tari. Banyak hal baru yang ditemui, yang pada titik tertentu menimbulkan pertentangan dalam dirinya. Bukannya surut, hal itu justru kian memantapkan langkahnya untuk membawa prinsip-prinsip syariat yang diyakini ke dalam kesenian.
“Saat kuliah saya punya tiga keinginan yakni menjadi pensyiar, penyiar dan pesiar. Kebetulan tiga-tiganya sudah tercapai karena dulu saya pernah manjadi penyiar radio kampus. Poin ketiga, itu yang menbuat saya semangat menjalani hidup, tapi sudah lama nih tidak pesiar,” ujar mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Bekasi selama 2 periode itu sambil tertawa lepas.
Angin sore awal Mei membawa angan Ihwal menyusuri kembali sepenggal perjalanan hidup yang mengantarkannya pada jalan kesenian. Kepada PojokTIM, Ihwal menuturkan liku-likunya. Berikut petikannya.
Kapan Anda mulai tertarik pada kesenian?
Saya senang menulis saat SMA. Karena di pondok pesantren, tulisan saya kebanyakan bertema religi. Kadang tulisan saya untuk kajian dan bahan nasehat para yunior, termasuk untuk kotbah Jumat. Saya juga pernah mengajar di Padang, Sumatera Barat. Setelah itu saya kembali ke Jakarta, bergabung dengan Teater Melati, sambil berproses juga di Gelanggang Remaja Planet Senen, Jakarta Pusat, di bawah arahan Acep S Martin, dan juga Mas Imam (Imam Ma’arif, kini anggota Dewan Kesenian Jakarta).
Saya juga pernah menjadi penari kontemporer untuk naskah karya Amelia Larissa. Koreografernya Ali Larinka dan Okti Budiati. Tarian itu dipentaskan di Jakarta, Bekasi, Bandung sampai Bali. Saat pentas di Bali, harapannya bisa menjadi pintu gerbang untuk go international. Tapi kondisi dan situasi berkata lain. Ternyata pementasan itu bukan untuk komersial, melainkan studi tari.
Dari situ saya balik ke Jakarta. Berproses lagi bersama Teater Bunga. Sempat juga ikut festival Jak Art, ikut kampanye budaya di Jakarta sampai Bali.
Anda juga pernah mendirikan sanggar?
Saat menjadi Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Bekasi, saya mendirikan Sanggar Kedip. Anggotanya kebanyakan siswa SMP dan SMA. Saya sengaja merangkul mereka karena ada misi yang saya emban.
Berusaha memasukkan unsur religi juga?
Iya, dalam berkesenian, panduan saya dari garis Qur’an dan Hadits sehingga saya banyak mengangkat tema tentang kenabian, tentang doa-doa kebaikan yang akan menjadi amal soleh kita. Terlebih selama berkesenian, saya menemukan banyak hal-hal yang bertentangan dengan syariat, berdasar akidah atau keyakinan. Saya menjadikannya sebagai salah satu tantangan yang harus saya hadapi, syukur bisa saya taklukkan. Saya harus berani berkata “tidak” lewat karya. Kalau saya berkata langsung, tidak melalui karya, tentunya akan mendapat banyak serangan.
Bisa dicontohkan?
Di Sanggar Kedip, saya membatasi aktivitas di luar naskah, dan juga membatasi adegan-adegan di atas panggung yang berpotensi melanggar syariat. Saya memang concern membina dari bawah, dari kalangan pelajar karena kalau sudah dewasa, akan lebih sulit untuk memberikan pemahaman tentang hal-hal yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran agama, sopan-santun, adab, dan budi pekerti.
Apa kabar KSJT?
Alhamdulillah, KSJT masih terus berproses, mencoba untuk tetap eksis di tengah berbagai persoalan dan kendala yang ada. Untuk 2025 ada beberapa agenda yang sudah disiapkan, termasuk acara mingguan berupa Bincang Jumat Sore. Sebenarnya ini pantikkan saja. Goals-nya adalah mengundang teman-teman seniman yang ada di Jakarta Timur untuk merapat, bergabung dengan KSJT dan membuat program bersama. Sebab tahun lalu ada beberapa program KSJT yang tertunda seperti penerbitan antologi puisi dan cerpen 2024. Isya Allah tahun 2025 ini akan kita realisasikan.
Bagaimana dengan keanggotaan KSJT?
Keberadaan KSJT berangkat dari pelatihan sastra yang diadakan oleh Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Timur. Para alumninya kemudian bersepakat untuk membentuk KSJT. Jadi, awalnya anggotanya hanya mereka yang ikut pelatihan. Seiring perkembangan, KSJT mendapat partner dan bermitra dengan komunitas lain termasuk Jagat Sastra Milenia pimpinan Bang Riri (Riri Satria). KSJT juga memiliki pembina yang kompeten seperti Mas Imam, Bang Kef (Kurnia Effendi), Mas Giyanto (Giyanto Subagio) dan lain-lain.
Saat itulah keanggotaan KSJT kita buka untuk siapa saja yang menyukai kesenian dan sastra, terutama yang berdomisili di Jakarta Timur.
Bagaimana dengan pendanaan kegiatan?
Pendanaan KSJT masih swadaya, iuran dari teman-teman. Kadang KSJT juga mengisi slot kegiatan yang ada di Sudin Kebudayaan Jakarta Timur. Bentuk bantuan yang kita terima berupa tempat, dan konsumsi. Kita juga sempat bikin perayaan Hari Guru di Condet yang di-support Dinas Kebudayaan Jakarta. Di acara itu KSJT mengangkat Benyamin Sueb sebagai Guru Indonesia. Ada lukisan yang dibuat oleh Karenina dan puisinya ditulis Giyanto Subagio. Saat ini lukisan dan puisi itu menjadi koleksi di Meseum Benyamin Sueb.
Apa yang diharapkan ke depan?
Meski berada di bawah binaan Sudin Kebudaan Jakarta Timur, nantinya KSJT harus bisa mandiri dan memiliki badan hukum. KSJT juga akan konsisten di ruang literasi dan sastra, mengembangkan ke dunia pendidikan. Sekarang sudah mulai menjalin kerjasama dengan TBM (taman bacaan masyarakat), bersinergi dengan perguruan tinggi, dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah. Kami juga menjalin komunikasi dengan guru-guru bahasa dan sastra di sekolah menengah. Mudah-mudahan ke depan bisa bersinergi lebih erat dengan komunitas sastra dari wilayah lain yang ada di Jakarta, termasuk Kepulauan Seribu.
Apa pandangan Anda tentang TIM?
Dari proses di Senen, saya masuk TIM. Tahun 2000-an saya mengenal para senior seperti Bang Rudi Sinambo, Mas Ebok dan yang lain. Saat itu hubungan antara yunior dan senior sangat hangat. Namun sekarang seperti ada gap. Yang muda sungkan, yang tua merasa di atas.
Akibatnya seperti tidak ada kesinambungan. Jalan masing-masing. Yang senior asyik dengan ketenarannya, yang yunior berusaha eksis sendiri. Tadi saya lihat di Gedung Teater Wahyu Sihomboing sedang ada pementaran teater dari kalangan Gen Z. Megah dan harga tiketnya cukup malah, antara Rp 250.000 sampai Rp 500.000. Ternyata penontonnya cukup banyak dan antusias.
Saya miris karena tidak ada teman-teman kita di TIM yang terlibat. Rupanya selama ini mereka berproses di luar TIM dan tidak kenal dengan para dedengkot di sini. Terus terang saya kagum. Mereka bisa berkarya dan eksis.
Meski tidak ada keharusan, alangkah bagusnya jika ada kesinambungan antara yang senor dengan yuniornya. Bagaimana pun para seniman muda ini perlu mendapat perhatian dari para senior, minimal berbagi pengalaman bagaimana membuat pertunjukan yang lebih baik. Tetap dalam koridor kesenian ketika melakukan kritik, baik kepada pemerintah maupun paham yang tidak sesuai. Supaya tidak lost control.
Jadi, menurut saya, TIM sangat bagus untuk menyatukan Gen Z yang ada di luar dengan para senior yang ada di TIM. Toh para senior juga butuh menyerap keliaran, gaya dan pemikiran-pemikiran anak-anak muda untuk dimasukkan dalam karyanya agar related dengan kondisi saat ini.