PojokTIM – Tidak mudah untuk wawancara dengan Shantined. Bahkan ketika bisa, “take” dilakukan sampai 3 kali. Tentu bukan karena kesibukannya. Bukan pula karena bentrok dengan jadwal lain. Shantined bukanlah pribadi yang bisa langsung leluasa berbicara ketika diminta secara mendadak (doorstop), atau di tempat yang tidak nyaman, semisal kantin yaang ramai.
“Sebenarnya aku introvert. Tidak terlalu aktif membangun komunikasi dengan teman-teman juga. Kalau pun bersosialisasi, itu terpaksa karena tuntutan pekerjaan,” ujar Shantined di pusat kuliner Gedung Trisno Sumardjo, Taman Ismail Marzuki (TIM). Rabu (8/5/2025) sore itu suasana tidak terlalu ramai sehingga Shantined bisa leluasa mengungkap banyak hal terkait perjalanan hidup, juga proses kreatifnya di bidang sastra.
Perjalanan kesenian Shantined, cukup berliku. Dimulai dari masa kanak-kanak, sempat vakum untuk waktu yang lama, dan aktif kembali setelah bertemu orang-orang yang sejalan. Bukan hanya sastra, namun juga teater. Pun pejalanan hidup yang dilalui penulis buku kumpulan puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan kumpulan cerpen Saga, Srigala dan Sebilah Mandau, banyak titian tajam yang tidak semua orang bisa melaluinya.
Aku juga ingat, betapa bulan Desember seperti biasa menghantar berkah. Sebagai gembala jemaat, ayahku mendapat perlakuan Istimewa setiap jelang Natal berupa bingkisan, makanan, parcel ketika mendapatkan berbagai undangan menjadi pengkotbah. Sungguh, aku kembali teringat masa kecilku. Berbagai kenangan masa lalu seolah tampil di hadapanku seperti layar film yang diputarkan kepadaku. Aku terharu, air mataku mengalir. Namun walaupun demikian, aku sangat mantap dengan pilihan hidupku sebagai muslimah saat ini, dengan memilih menjadi mualaf pada saat aku berusia 20 tahun, tulis Shantined di wall Facebook menjelang perayaan Natal 2024.
Karyanya banyak mengangkat dominasi perempuan, keberpihakan kepada yang rentan, namun juga dipenuhi darah dan letupan “kebencian” kepada laki-laki. Apakah itu ekspresi dari lipatan kenangan atau pilihan tema sebagai identitas jalan kesusasteraannya? Berikut petikan wawancara PojokTIM dengan Shantined yang dilakukan dalam beberapa kesempatan.
Anda dari Yogyakarta atau Balikpapan?
Aku lahir dan besar di Yogyakarta. Aku meninggalkan Yogyakarta setelah selesai kuliah. Aku hijrah ke Balikpapan, Kalimantan Timur, namun sekarang lebih banyak berkegiatan di Depok dan Jakarta, khususnya di TIM. Hanya sesekali pulang ke Yogyakarta.
Jadi kapan Anda mulai menulis?
Aku menulis sejak kecil, sejak Kelas III SD, baik puisi maupun cerpen. Kelas V, puisiku sudah dimuat di Majalah Bobo, dan sejak itu aku punya banyak Sahabat Pena. Aku juga rajin mengisi buletin gereja karena saat itu aku penganut Nasrani, sementara bapakku pendeta di Yogyakarta. Aku mualaf sejak usia 20 tahun.
Anda sempat vakum menulis?
Iya, sempat mati suri cukup lama. Tahun 2003 baru menulis lagi, cerpen dan juga puisi. Melalui cerpen aku bisa menumpahkan perasaan, ide dan gagasan, Sementara menulis puisi hanya untuk antologi bersama. Ketika ada yang mengajak dan aku suka dengan temanya, baru aku bikin puisi. Makanya puisiku banyak dimuat dalam buku antologi bersama.
Anda juga sering diundang baca puisi?
Iya, senang-senang saja disuruh baca puisi. Padahal dulunya tidak mau, tidak pede kalau di panggung. Saat di Kalimantan juga jarang baca puisi. Setelah punya suami aktor, diajari baca puisi, akhirnya berani tampil. Jujur, aku sebenarnya lebih suka teater, tapi di belakang panggung. Aku punya beberapa naskah teater yang pernah dipentaskan oleh anak-anak sekolah.
Apakah itu sebabnya Anda baru sekarang menerbitkan buku kumpulan puisi?
Bukan hanya buku kumpulan puisi yang baru dibukukan sekarang, namun juga cerpen. Tapi faktornya lebih kepada timing-nya yang belum tepat. Saat masih di Kalimantan, kumpulan cerpenku sudah jadi manuskrip dengan editor Pak Korrie (Korrie Layun Rampan) serta kata pengantar dari Faruq HT dan Isbedy Stiawan ZS. Namun sebelum terbit, Pak Korrie wafat sehingga buku itu terbengkalai.
Faktor lainnya karena aku sering pindah tempat tinggal dan berganti laptop sehingga banyak file yang hilang. Untuk mengumpulkan kembali sangat sulit, kecuali yang pernah dimuat di media massa, dan ada klipingnya. Tinggal aku ketik ulang. Aku berterima kasih kepada Bang Riri Satria (Staf Khusus Menko Polhukam yang juga Ketua Jagat Sastra Milenia) yang terus memberi support agar cerpen dan puisi-puisiku dibukukan. Tanpa dorongan yang kuat, mungkin aku belum menerbitkan buku antologi cerpen dan puisi.
Tapi kabarnya Anda juga sempat takut untuk membukukan?
Masih banyak yang beranggapan bahwa apa yang kita tulis sebagai apa yang kita alami. Realitas itu membuat aku takut akan muncul stigma negatif setelah mereka membaca karya-karyaku.
Apa karya-karya Anda mengusung tema khusus?
Tidak ada tema spesifik. Tapi cerpenku umumnya tajam, menukik dengan memberi kejutan di akhir. Jarang ada yang bisa menebak ending cerpenku. Demikan juga di puisi, aku belum menemukan gaya penulisan yang khas.
Tetapi memang aku menyukai 2 tema, humanisme dan feminisme. Untuk kasus-kasus psikologis yang ada dalam cerpenku, idenya kebanyakan didapat saat nongkrong dengan teman-teman LBH (Lembaga Bantuan Hukum), KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan lain-lain. Dari mereka aku banyak mendengar cerita terkait kekerasan domestik yang mana korbannya perempuan dan anak.
Secara interest, aku feminisme. Aku ingin perempuan merdeka, mandiri, punya pemikiran maju, tidak terbelenggu (oleh laki-laki). Meskipun aku akui, dalam cerita-ceritaku banyak yang kebabalasan. Membunuh, mematikan tokoh laki-laki, dan tindakan kekerasan lainnya..
Dalam acara bedah buku puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan kumpulan cerpen Saga, Srigala dan Sebilah Mandau di PDS HB Jassin, Anda disebut memiliki keliaran imajinasi dan keberanian mendobrak stigma lama. Tanggapan Anda?
Aku pikir setiap penulis memiliki keliaran imajinasi, melihat suatu peristiwa atau pemikiran, dari sudut berbeda. Jadi mungkin saja aku memiliki (keliaran imajinasi) itu, namun aku menulisnya secara terbalik. Ketika melihat berita di TV, ada perempuan dibunuh, mayatnya dimutilasi dan dimasukkan dalam koper, aku tergerak untuk membuat cerpen. Idenya dari peristiwa itu. Namun dalam cerpenku, tokoh perempuan yang membunuh dan memutilasi laki-laki.
Cerpen mana yang paling berkesan?
Tentunya Saga yang aku buat tahun 2008. Ceritanya tentang lesbian, yang punya suami tapi kembali menjadi lesbian. Cerpen Saga cukup fenomenal. Pernah dimuat di sejumlah media seperti Jurnal Perempuan. Pernah juga dibahas di berbagai kelompok studi, termasuk kelompok lesbian. Di website mereka, aku sempat dijuluki pelopor genre lesbian, dan akan dijadikan juru bicaranya. Tentu saja aku menolak, bahkan aku tidak pernah berpikir ke situ.
Mungkin kelompok lesbian enganggap cerpenku cukup mewakili perasaan dan posisi mereka di tengah masyarakat yang termarjinalkan. Dalam Saga aku tidak melabeli mereka benar. Tetapi mendekati melalui empati, meski tetap dalam batasan tertentu, tidak vulgar. Bagiku, (menjadi lesbian) itu adalah pilihan hidup. Ada banyak yang mengalami hal itu dan menurutku kita harus bijak. Tidak langsung menghakimi tapi merangkul mereka. Mengembalikan ke jalan yang benar dengan cara terhormat karena mereka manusia yang terluka, dikhianati pasangan, dan sebab lainnya.
Catatan redaksi: Saga telah terjemahkan ke Bahasa Inggris, Bahasa China, dan Bahasa Perancis. Dalam buku kumpulan cerpen berjudul Un Soir du Paris, Saga dimuat bersama cerpen karya penulis-penulis top tanah air seperti Cok Sawitri, Triyanto Triwikromo, Ratih Kumala, Agus Noor, Seno Gumira Ajidarma, Maggie Tiojakin, dan lain-lain.
Anda aktif sekali di komunitas …
Iya, belakangan terjerumus ke lingkungan orang-orang sastra semua. Jadi sering ikut acara-acara sastra dan disuruh baca puisi. Aslinya aku pekerja. Selain marketing asuransi, aku juga menjual produk-produk herbal untuk kesehatan .
Nah, agar karya sastra bisa “dijual” kepada kelompok yang tidak mengenal sastra, apa yang harus dilakukan?
Tentu perlu promosi dan kemasan yang menarik. Ada review positif yang bisa menjadi alasan mengapa seseorang harus membeli produk itu. Disebar ke kontak teman, sebanyak mungkin, apakah melalui email, WA atau alat komunikasi lainnya.
Kedua, sosialisasikan ke sekolah-sekolah. Di Balikpapan, saya pernah datang ke sekolah sebagai pribadi. Setelah ngobrol sana-sini, mereka memperbolehkan saya membaca puisi di kelas eskul. Puisi yang saya baca karya penyair-penyair Balikpapan. Pada akhirnya puisi itu dipakai untuk lomba tingkat Provinsi Kalimantan Timur. Itu suatu pencapaian. Itu salah satu strategi marketing.
Kalau untuk pertunjukan sastra, di luar mereka yang sudah punya nama besar, bagaimana mengemasnya agar menarik dari sisi marketing?
Dalam konteks visual, daya tarik sastra ada di panggung. Jadi kita bisa tawarakan ke perusahaan, termasuk BUMN. Misalnya mereka akan mengadakan perayaan ulang tahun perusahaan. Di situ pasti ada acara hiburan. Kita masukan proposal, tawarkan kerjasama sebagai salah satu pengisi acara hiburan. Misalnya musikalisasi selama 30 menit. Kalau pun teater juga harus dengan durasi terbatas karena kita ikut lapak orang.
Jika proposalnya menarik, kemasannya menarik, pasti mereka mau. Jika pun mereka tidak ada anggaran, untuk pertama kita boleh tidak dibayar. Itung-itung untuk promosi dulu. Karena kan tujuannya untuk memperkenalkan sastra ke audiens yang lebih luas. Pembacaan puisi di ruang-ruang publik seperti Kota Tua juga menarik dan ternyata pengunjung di sana tertarik.
Ada obsesi lain?
Aku tidak punya obsesi. Semua dijalani natural, mengalir. Paling ingin cerpennya dimuat di Kompas, meski aku belum pernah kirim ke sana.
Apa kesan Anda tentang TIM?
TIM adalah rumah keduaku, terutama saat aku tinggal di Kalimantan. TIM tempat yang sakral dan memiliki daya tarik. Setiap ada acara besar di TIM, aku berusaha untuk datang. Selain melihat acaranya, juga untuk bertemu dengan teman-teman seperti Rara Gendis (almarhum), Nuyang Jaimee, Mas Kef (Kurnia Effendi), Sihar (Sihar Ramses Simatupang) dan lainnya. TIM juga jadi sumber inspirasi. Kalau kita ndoprok saja di TIM, buka laptop, pasti dapat ide untuk tulisan.
Kalau sekarang, bagiku TIM hanya tempat sosialisasi, melepas penat dari kesibukan sehari-hari sebagai emak-emak. Kalau duduk di TIM, rasanya muda lagi.