PojokTIM – Tubuh tinggi besar dengan rambut panjang berwarna putih, muncul dengan langkah tergesa menuju kantin di selasar Taman Ismail Marzuki (TIM). Wajahnya tampak serius. Pakaian dari bahan denim sudah kusut di sana –sini. Dengan santai tas selempangnya dilempar ke atas meja, itulah sosok Imam Ma’arif.
“Dari dalam (kantor Dewan Kesenian Jakarta/DKJ, pen). Ini mau ke sanggar. Kalau kita tidak meluangkan waktu untuk melatih mereka (anggota sanggar), bagaimana regenerasi akan berjalan, ” ujar Imam Ma’arif, Senin (28/5/2024).
Sebagai anggota DKJ, Imam diserahi tanggungjawab di Komisi Simpul Seni, di mana salah satu tugasnya adalah menguatkan dan menghidupkan ekosistem kesenian di Jakarta. Tidak heran jika Imam selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan seni di lingkungan TIM dan kegiatan seni di Jakarta. Tidak peduli siapa yang menyelenggarakan.
“Kita (seniman, pen) memiliki tujuan yang sama untuk memajukan kesenian. Bahwa ada kepentingan (pribadi/kelompok) di dalamnya, kita semua memaklumi, namun tidak perlu ditonjolkan jika ujungnya menimbulkan ketersinggungan pihak lain,” ujar Imam.
Semilir angin sore yang menelusup di antara gedung-gedung membawa obrolan hingga jauh ke masa awal proses kreatif Imam Ma’arif. Proses yang tidak mudah, melalui pergumulan batin panjang. Berikut petikan perbincangan dengan PojokTIM.
Nama Anda sering diasosiasikan sebagai “preman” di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Tetapi sekarang Anda dikenal sebagai pemain teater, sebagai penyair, sekaligus deklamator yang mumpuni. Sebenarnya sejak kapan proses kreatif Anda sebagai seniman dimulai?
Saya pernah hidup di menggelandang di kawasan Senen. Saya tidak pernah menutupi fase itu. Saya ngamen ketika ingin beli buku. Kadang jadi juru parkir kendaraan, dan apa saja untuk bertahan hidup. Sampai kemudian kerjanya hanya duduk-duduk, menunggu setoran per bulan dari teman-teman. Pada puncaknya saya pernah menerima setoran Rp 8 juta per bulan. Namun, semua itu kutinggalkan. Rasanya malu dengan proses kesenian dan malu pada Tuhan.
Saya pernah belajar teater di sanggar Poros pimpinan Acep S. Martin dan guru-guru teater yang lain. Saya belajar dasar-dasar teater, olah tubuh, pernafasan , dan lain-lain. Pokoknya yang paling dasar, elementer sekali. Saat itu saya belum merasa atau berkeinginan untuk menjadi seniman. Sebatas ingin main teater, belum memiliki wawasan, apalagi konsep berkesenian. Mengalir begitu saja.
Titik balik hidup saya terjadi ketika bertemu dengan Bung Aspur Ashar, saya memanggil beliau dengan sebutan, Bung. Bukan pertemuan yang manis. Sebab saat Aspur tengah dalam kondisi bimbang juga. Sebagai jurnalis, Aspur melakukan investigasi terkait persoalan di sebuah yayasan pendidikan. Ketika hasil liputannya dimuat, terjadi kehebohan, kalau sekarang viral, hingga akhirnya sekolah di bawah naungan yayasan itu ditutup. Aspur merasa dilema karena tujuannya agar sistem pendidikan di yayasan itu lebih baik, malah berujung ditutup. Bagaimana dengan siswanya? Bagaimana dengan nasib tenaga pengajar? Pertanyaan-pertanyan itu terus menghantui hingga akhirnya memutuskan berhenti sebagai jurnalis dan memutuskan selesai dengan persoalan dunia
Dari seringnya bertemu, saya mendapat banyak pencerahan terkait sejumlah pertanyaan tentang ketuhanan yang sudah meneror saya sejak usia belasan tahun ketika masih di pesantren. Bung Aspur memberi buku-buku karangan (Friedrich) Nietzsche, (Jean-Paul) Sartre, serta beberapa buku tentang eksistensialisme dan filsafat modern. Ada juga buku puisi sufi (Jalaluddin) Rumi, hingga Khalil Gibran. Saya melahap semuanya, di bawah bimbingan Bung Aspur. Hidup kuhabiskan di perpustakaan, tidur di perpustakaan, bahkan belum bisa tidur jika belum baca buku. Saya juga kursus kewartawanan selama tiga bulan atas bimbingannya, dan juga banyak pelatihan-pelatihan yang lain, termasuk pelatihan manajemen kesenian. Boleh dibilang, Aspur ini guru kehidupan (religi) saya, dan Radhar Panca Dahana sebagai guru kebudayaan saya. Mas Radhar ini orang yang sangat baik, Semua pertanyaan saya pasti dijawab. Kapan pun saya telpon pasti diangkat, Kalaupun tidak sempat mengangkat, nanti pasti ditelpon balik. Segala hal terkait kebudayaan saya tanyakan dan diskusikan dengan beliau. Kadang-kadang juga merembet ke soal-soal politik dan filsafat.
Sampai di mana proses pencarian diri yang Anda alami?
Sewaktu Bung Aspur pulang ke Kalimantan, saya merasa ada kekosongan dalam jiwa saya. Didikan agama yang dogmatis bercampur-baur dengan paham filsafat yang belum sepenuhnya saya kuasai. Akhirnya saya tinggalkan semuanya. Ketika pamit sama istri, saya bilang, kamu pulang ke rumah orang tuamu. Jika mau menunggu, tunggu sampai saya kembali dan saya tidak tahu, kapan saya akan kembali. Semua tergantung kehendak Tuhan. Jika kamu tidak mau menunggu, saya siap menceraikan kamu. Istri saya terkejut. Dia tanya saya mau pergi ke mana, dan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan dia dan kedua anak yang masih kecil-kecil? Saya jawab, Tuhan yang akan memberimu makan seperti yang tertulis dalam Al Qur’an bahwa Tuhan memberi rezeki kepada setiap hambanya. Saya kutip mentah-mentah ayat itu untuk membujuk istri agar merelakan kepergian saya.
Saya kemudian ke Kalimantan, menyusul Bung Aspur. Di sana saya memperdalam ilmu-ilmu yang telah saya pelajari secara otodidak. Juga melatih menghidupkan jiwa. Caranya, belajar sabar, belajar jujur, belajar ikhlas, dan mengendalikan tubuh. Kenapa tubuh perlu dikendalikan. Tubuhlah yang seringkali intervensi jiwa. Tubuh sering minta aneh-aneh yang kadang-kadang berbenturan dengan etika, norma dan agama. Nah, Salah satu latihannya adalah menidakkan kemauan tubuh. Contoh, tubuh ingin minum air dingin, itu dilawan dengan memberikan air panas. Contoh lain, nafsu ingin meminta, maka harus dilawan dengan cara memberikan milik kita pada orang lain saat itu juga.
Selama di Kalimantan saya berkebun, mencangkul, cari ikan, pokoknya apa saja asal bisa bertahan hidup. Adaptasi dengan ruang dan keadaan. Hutan menjadi temen kesepian. Pada alam inilah saya banyak berinteraksi dan banyak menemukan jawaban terkait dengan eksistensi Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan saya tentang Tuhan mulai reda setelah bertemu dengan beberapa peristiwa yang saya yakini terjadi karena kehendak Allah. Tiba-tiba saya merasa begitu dekat dengan Tuhan. Ketika membaca Al Qur’an, saya merasa sedang bercakap-cakap dengan Tuhan.
Setelah “menemukan” Tuhan, Anda mulai konsisten berkesenian?
Saya merasa, kesenian adalah jalan yang diberikan Tuhan. Saya bisa mengeluarkan kegundahan dan seribu pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran melalui puisi, cerpen, atau pada saat berteater.
Imam Ma’arif saat menghadiri kegiatan Komunitas Sastra Reboan. Foto: Ist
Kapan Anda mulai “masuk” ke TIM?
Sebenarnya ketika belajar berkesenian di Senen, saya juga sudah sering ke TIM. Ikut lomba, diskusi, nonton, ke perpus PDS. HB. Jassin, atau pentas ketika sanggar saya bikin acara. Tetapi memang belum intens. Maklum, TIM saat itu dihuni dewa-dewa kesenian yang “jaraknya” sangat jauh dengan saya. Sementara saya masih bertanya-tanya tentang format berkesenian saya. Bahkan saya pernah seminggu di Bengkel Teater pingin “Nyantrik”, namun tidak ada yang negur. Akhirnya saya tidak betah. Namun di usia tuanya beberapa kali saya ke sana (bengkel) ngobrol dengan beliau (Rendra). Saya justru lebih banyak belajar melalui buku-bukunya saja.
Proses dan pergulatan berkesenian Anda cukup ekstrem. Bagaimana Anda melihat munculnya beberapa seniman yang tidak melalui proses matang, namun lebih tenar dan karya-karyanya lebih disukai puiblik?
Sekarang zaman teknologi. Semua hal dengan mudah viral dan terkenal. Netizen yang punya kuasa untuk menentukan seseorang terkenal atau tidak terkenal. Sah-sah saja. Tidak perlu dicemaskan. Pada akhirnya akan ada seleksi alam. Mereka yang naik tanpa proses matang, mungkin usia popularitasnya hanya sekejap sebagaimana hukum media sosial. Hari ini terkenal, viral di mana-mana, sebulan kemudian dilupakan. Sementara bagi konsisten dalam berkarya, dan melewati pergulutan berkesenian yang panjang, meski tidak menikmati popularitas tetapi mendapat apresiasi abadi dari orang-orang yang paham kesenian. Kembali kepada diri kita masing-masing, mau memilih cara yang mana.
Sekarang Anda sudah menjadi bagian dari TIM, bahkan anggota Dewan Kesenian Jakarta. Bagaimana proses Anda menjadi anggota DKJ?
Saya menganggap, terpilihnya saya sebagai anggota DKJ karena kehendak Tuhan. Saya sering berharap sesuatu dan menjadi kenyataan karena mendapat pertolongan Tuhan. Saya menjalani takdir saja. Bagi saya hidup jadi apapun dan dimanapun sama saja. Itu hanya tugas dunia. Semakin banyak tugas maka semakin menderita. Karena hidup adalah menjalani penderitaan. Belajar itu menderita, bekerja itu menderita, keinginan itu penderitaan, terkenal juga penderitaan. Namun dari penderitaan itulah orang akan matang, orang jadi bijak, orang jadi sabar, orang jadi ikhlas. Karena penderitaan merupakan salah satu jalan mengenal Tuhannya.
Jadi saya biasa-biasa saja ketika nama saya masuk dalam daftar DKJ. Bagi saya ini tugas kehidupan. Saya merasa ada tambahan tanggungjawab dalam kehidupan saya. Saya hanya merenungi dan mempelajari tugas-tugas dalam DKJ. Semoga saya bisa menjalani dan menjaga amanah dari Masyarakat Kesenian Jakarta.
Nah, terkait dengan prosesnya masuk DKJ, memang cukup berliku dan unik ketika pemilihan. Seperti ada proses kompetisi karena yang daftar juga banyak dan pinter-pintar. Saya sendiri belajar sastra secara otodidak di bawah pohon, bacaan saya peristiwa sosial, membaca peristiwa alam, membaca petanda, membaca penanda, yang harus bersaing dengan teman-teman yang belajarnya teratur, baca bukunya berurutan, kaum akademisi, atau yang pengalaman berkeseniannya lebih panjang dari saya.
Jujur saja, awalnya saya sama sekali tidak memiliki keinginan menjadi anggota DKJ. Tetapi teman-teman komunitas terus mendorong saya untuk maju. Akhirnya saya bersedia. Saya kemudian membuka kembali buku-buku yang dulu pernah saya pelajari, mencari referensi dan pengetahuan baru tentang konsep dan isu-isu kesenian. Alhamdulilah, semua proses dapat saya lalui dengan lancar hingga kemudian terpilih sebagai anggota Komite Sastra dan mendapat tugas di Komisi Simpul Seni.
Banyak yang mengkritik kinerja Dewan Kesenian Jakarta tidak seperti periode-periode sebelumnya, terutama sebelum tahun 2000-ab. Salah satunya tidak ada lagi kegaitan yang digelar oleh DKJ. Menurut Anda?
Begini, kita harus memahami dulu semangat pembentukan Dewan Kesenian Jakarta yang dikukuhkan oleh Gubernur Ali Sadikin tanggal 7 Juni 1968. DKJ adalah lembaga independen yang tugasnya memberi masukan kepada Gubernur terkait perkembangan seni budaya yang nantinya akan dijadikan dasar dari kebijakan Gubernur.
Demikian juga yang termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 Tahun 2020 yang menjadi dasar hukum kepengurusan DKJ sekarang. Di dalam Pasal 18 disebutkan DKJ sebagai pemberi masukan kepada Gubernur bagi kegiatan pembinaan dan pengembangan kesenian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Sementara di pasal 21 huruf (d) disebutkan (DKJ) menyelenggarakan kegiatan-kegiatan non pergelaran yang bersifat meningkatkan wawasan, pengetahuan, kreativitas dan keterampilan para seniman.
Artinya, kalau DKJ menyelenggarakan kegiatan berbentuk pagelaran, malah menyalahi aturan, kecuali seminar, diskusi, pemetaan dan penguatan komunitas kesenian, dan kegiatan-kegiatan yang sejenis. Terus terang saja, saat ini DKJ sedang berusaha mengembalikan marwahnya sesuai khittah 68 sehingga selaras dengan semangat pembentukannya. kita sekarang fokus pada kegiatan advokasi, mediasi, konsultasi, penguatan ekosistem, monitoring, supervisi, kurasi dan evaluasi.
Terlebih sekarang ada undang-undang baru menyangkut perubahan status Jakarta yang tidak lagi menjadi ibu kota. UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta bersisian langsung dengan tugas DKJ terutama terkait pembinaan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang tumbuh di Jakarta,
Dengan semakin kompleksnya tugas DKJ – sudah seperti anggota dewan (DPRD) di Kebon Sirih saja – maka sebisa mungkin DKJ terus melakukan penguatan dan menyuarakan kepentingan komunitas kesenian seperti komunitas-komunitas seni yang banyak berkegiatan di TIM maupun di Jakarta.