Pojok TIM – Aula PDS HB Jassin yang baru selesai direnovasi menjadi tempat pertemuan kembali Ariany Isnamurti dengan Oyon Sofyan, teman sejawat ketika sama-sama sebagai staf di PDS HB Jassin yang saat itu masih dikelola oleh Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin. Mereka tampak berbincang serius di sela-sela acara diskusi sastra. Sesekali mereka disapa dengan hangat oleh penyair senior yang hadir pada acara tersebut.
“Kenalkan ini Pak Oyon, seniorku,” ujar Ariany mengenalkan kepada Pojok TIM.
Bagi Ariany, PDS melekat dalam dirinya. Sejak kuliah, Ariany sering mengunjungi dan menggunakan koleksi sastra milik HB Jassin, yang tersimpan di ruang bidang sastra Lembaga Bahasa Nasional (LBN) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Dalam perkembangannya LBN menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang kini dikenal dengan nama Badan Bahasa.
“Saya dan Rita Sri Hastuti, rekan mahasiswa jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) sering diminta Bapak HB Jassin untuk membuat resensi buku sastra koleksi beliau yang ada di ruang sastra di LBN. Kami sering mendapat tugas mengkliping artikel-artikel sastra budaya berbagai media massa yang sudah ditandai oleh Bapak HB Jassin Masa itu banyak mahasiswa, peneliti, maupun wartawan memanfaatkan koleksi dokumentasi milik Bapak HB Jassin yang saat itu bekerja di LBN.”
Bisa ceritakan sekelumit sejarah PDS HB Jassin?
PDS HB Jassin berawal dari koleksi dokumentasi sastra milik Bapak HB Jassin yang dari hari ke hari jumlahnya terus bertambah. Koleksi itu tersimpan di beberapa tempat, di antaranya di rumah beliau dan di LBN. Ternyata yang membutuhkan dokumentasi sastra juga semakin banyak.
Atas jasa Ajip Rosidi dan kawan-kawan melobi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dibuatlah Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin pada tanggal 28 Juni 1976 untuk menampung dan merawat dokumentasi sastra milik pribadi HB Jassin. Keberadaannya juga didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Bahasa. Dengan terbentuknya yayasan, maka Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) memberi tempat untuk seluruh koleksi dokumentasi sastra HB Jassin di Taman Ismail Marzuki {TIM}. Kemudian pada tanggal 30 Mei 1977, Ali Sadikin meresmikan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang kini populer dengan sebutan PDS HB Jassin.
PDS HB Jassin mengalami 3 kali perpindahan tempat di TIM. Pertama ruang bekas LPKJ, kemudian Lantai 4 Gedung Arsip Jayakarta, dan pada tahun 1982 menempati gedung yang konon memang dibuat khusus untuk PDS HB Jassin yakni di sebelah gedung Arsip Jayakarta.
Kapan tepatnya Anda mulai bergabung dengan PDS HB Jassin?
Setelah menamatkan kuliah Strata 1 FSUI, saya sempat bekerja sebagai staf redaksi Penerbit Bhratara Karya Aksara. Satu setengah tahun bekerja, secara resmi saya mengundurkan diri, tepatnya pada akhir Juli 1983. Setelah itu saya mendapat tawaran bekerja di PDS HB Jassin sebagai honorer (November 1983—Januari 1984). Akhirnya pada 17 Februari 1984 saya menjadi pegawai tetap PDS HB Jassin. Tanpa terasa saya mengabdikan diri di PDS HB Jassin selama 33 tahun. Saya juga pernah mendapat amanah menjadi Kepala Pelaksana selama sewindu sebelum serah terima pengelolaan PDS.kepada Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2017.
Ariany Isnamurti bersama teman-temannya di makam HB Jassin. Foto: Ist
Seberapa strategis keberadaan PDS HB Jassin di TIM bagi kalangan sastrawan dan seniman saat itu?
Pada saat didirikan yayasan dan PDS HB Jaassin diberi tempat di TIM, Bapak HB Jassin sangat berterima kasih dan hormat kepada Gubernur Ali Sadikin yang memiliki pandangan jauh ke depan dengan sehingga konkretlah cita-cita yang diidamkan yaitu Indonesia memiliki pusat dokumentasi sastra yang menyimpan dokumen sastra Indonesia, sastra daerah, sastra klasik, maupun sastra dunia, yang bermanfaat bagi sastrawan, mahasiswa, wartawan, peneliti dari dalam dan luar negeri, maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Menurut saya juga sangat tepat PDS HB Jassin mendapat tempat di TIM. Sebagaimana kita ketahui, TIM adalah pusat kegiatan kesenian dan kebudayaan, tempat berkumpulnya para seniman maupun sastrawan. Sejak tahun 70-an sampai dengan 90-an, TIM ramai dengan pelbagai kegiatan seperti pentas teater, pembacaan puisi, diskusi sastra, maupun pameran lukisan. Dengan demikian para seniman maupun para sastrawan sering berkunjung dan berkumpul di TIM.
Sejak berdomisili di TIM, makin banyak seniman dan sastrawan yang dan dan menggunakan koleksi dokumentasi sastra PDS HB Jassin sebagai refrensi dan untuk menambah pengetahuan. Selain itu, PDS HB Jassin juga dijadikan tempat untuk bertemu atau diskusi. Saya perhatikan mereka merasa nyaman berlama-lama di PDS HB Jassin. Banyak sastrawan yang kagum dan takjub melihat naskah asli atau buku-buku serta kliping-kliping dalam map biografi maupun pembicaraan karya para pengarang tersimpan rapi sebagai koleksi PDS HB Jassin.
Yang pernah berkunjung ke PDS HB Jassin antara lain Sapardi Djoko Damono, Aoh K Hadimadja, Budi Darma, Hamka, Mochtar Lubis, Pramoedia Ananta Toer, Djohan Effendi, Abdul Hadi, Ramadhan KH, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, WS Rendra, Korrie Layun Rampan, Seno Gumira Aji Darma, Leon Agusta, Hamid Jabbar, K Usman, NH Dini, La Rose, Lastri Wardani, Titi Said, Titiek WS, Yvonne de Fretes, dan Jose Rizal Manua. Ada juga Eka Budianta, Remmy Novaris DM, Selamet Rahardjo Rais, Wahyu Wibowo, Ahmadun Y. Herfanda, Bambang Widiatmoko, Wowok Hesti Prabowo, Ayid Suyitno, Martin Aleida, Azwina Aziz Miraza, Fatin Hamama, Medy Loekito, Wig S, dan banyak lagi yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu. Bahkan ada komunitas sastra yang kepengurusannya diresmikan di PDS HB Jassin. Sering juga PDS menjadi tempat kegiatan ragam komunitas.
Tidak hanya pengunjung perorangan seperti mahasiswa, peneliti dari dalam dan luar negeri, wartawan, seniman, dan sastrawan, PFD HB Jassin juga banyak dikunjungi rombongan siswa SMA, mahasiswa, dan juga para guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia dari Jakarta maupun daerah.
Menurut Anda apa keunikan PDS HB Jassin pada masa itu?
PDS HB Jassin memiliki keunikan dalam koleksi dan cara penyimpanannya. PDS HB Jassin bukan perpustakaan seperti pada umumnya, tapi pusat pendokumentasian koleksi yang berkaitan dengan sastra dan kebudayaan. Orientasi utamanya sebagai tempat penyimpanan dokumentasi sastra Indonesia terlengkap agar pencari informasi, khususnya generasi muda, yang ingin membaca dan memperoleh informasi tentang sastra Indonesia tidak perlu ke luar negeri namun cukup ke PDS HB Jassin.
Koleksi yang terdapat di PDS HB Jassin tidak hanya buku karya para pengarang – dari cetakan pertama sampai cetakan terakhir jika buku tersebut terbit ulang – tapi juga naskah-naskah asli dan peristiwa sastra, naskah-naskah drama, majalah sastra dan budaya, serta kliping-kliping yang sering dicari oleh para peneliti dari dalam negeri maupun luar negeri.
Cara penyimpanan koleksi sesuai yang dilakukan oleh HB Jassin yakni mendokumentasi koleksi berdasarkan jenisnya, memudahkan dalam pencarian. Alhamdulillah semua karyawan PDS HB Jassin mampu dengan segera memberikan dokumen yang diperlukan para pengunjung.
Melihat keseriusan kami dalam merawat dokumen sastra, akhirnya banyak pengarang ataupun keluarga pengarang yang percaya dan menghibahkan dokumentasinya kepada PDS HB Jassin agar dapat dirawat dengan baik dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Ariany Isnamurti di antara tumpukan kardus berisi dokumen sastra milik PDS HB Jassin sebelum diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta. Foto: Ist
Bagaimana pandangan Anda terhadap sosok HB Jassin?
Saya mengenal Bapak HB Jassin sejak mengikuti mata kuliah Sejarah Sastra di FSUI tahun 1976. Sebagai dosen, beliau tidak terlalu banyak menerangkan. Kami malah lebih sering diberi tugas membaca dan membuat tulisan dari isi buku. Saya senang karena beliau selalu memberi nilai tinggi.
Pada dasarnya HB Jassin sosok yang pendiam, pemalu dan lebih menyukai suasana tenang. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis bidang sastra. Kemampuan menulisnya memang tidak diragukan. Berkat konsistensi dan ketekunannya mengikuti perkembangan sastra, serta rajin menulis kritik, Pak Jassin pun terkenal sebagai kritikus sastra.
Menurut saya , Pak Jassin seorang dokumentator yang luar biasa. Beliau mendokumentasi sastra tanpa melihat hasil karya penulis yang sudah terkenal ataupun penulis yang masih awal berkarya. Menurut beliau dalam berkarya setiap penulis melewati proses dari bukan siapa-siapa sampai kemudian menjadi penulis terkenal atau ternama.
Saya sependapat dengan Nirwan Dewanto dalam tulisannya berjudul Obituari Hans Bague Jassin (1917—2000) bahwa hanya seorang Jassin yang bisa mengalami rentangan terpanjang sastra modern Indonesia di abad 20 ini; hidup di dalamnya, menyaksikan pasang surut dan pasang naik kaum penulis, tanpa memihak salah satu generasi.
Mengapa akhirnya pengelolaan PDS HB Jassin diserahkan kepada Pemprov DKI?
Saat itu PDS HB Jassin berkendala dalam hal dana pengelolaan dan perawatan seluruh koleksinya. Oleh karena itu, pihak Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, di bawah koordinasi Ajip Rosidi menyerahkan pengelolaan PDS HB Jassin kepada Pemprov DKI Jakarta yang diterima langsung oleh Bapak Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada tanggal 28 Januari 2018 di Balai Kota. Kemudian pada bulan Maret 2018, PDS HB Jassin mulai dikelola oleh Pemprov DKI di bawah Dinas Perpustakaan & Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta.
Apa harapan Anda terhadap PDS HB Jassin yang sekarang dikelola oleh Dispusip?
Terlalu banyak kenangan indah di PDS HB Jassin yang menempa maupun mengisi perjalanan hidup saya. Sepucuk harapan saya, agar semua warisan dokumentasi sastra yang dihimpun oleh HB Jassin dapat terkelola dan terlestari oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai amanah dunia sastra Indonesia sehingga dapat terus bermanfaat bagi masyarakat luas di dalam maupun luar negeri.