Puisi-Puisi Ngadi Nugroho
BUMI
Bumi begitu sunyi
Merengkuk keriputnya sendiri
Cacing-cacing mati beku dalam cairan aspal hitam
Hujan melayang dan akhirnya jatuh mengeram
Tak hendak pergi
Bergemuruh di jalanan
Melahirkan sungai-sungai yang telah pindah haluan
Bumi begitu piatu
Menelan kegelisahan tentang masa depan
Aku menghitung bayang-bayang
Apakah tetap sembunyi di bawah kakiku
Atau berlari menjauh dirutuki zaman
Yang gagal menumbuhkan sisa pohon yang pernah ditebang
Bumi begitu kuyu
Hanya menyimpan batu-batu
Yang semakin keras lebih keras dari padas
Lantas di pelupuk mataku
Hujan semakin beringas
Menggapai ujung-ujung cemara
Di sebuah taman kecil
Lebih kecil dari sekomplek perumahan elite
Yang tak pernah kebanjiran walaupun setinggi tumit
2025
KEPADA PEMEGANG AMANAH
Kini akhirnya hanya kabut yang berputar seperti burung-burung malam. Tak ada yang berteriak
ketika tubuh menggigil. Harapan pun tak berujung. Sajak-sajak hanya dituliskan menghiasi kolom-
kolom bisu sebuah koran. Dengan mata pisau yang tumpul untuk ditikamkan.
Ada pemakaman di barisan huruf-hurufnya. Kelam–rasa putus asa. Yang kata-katanya kerap dicuri
dan diulang-ulang untuk mencari simpatisan. Ah… Penderitaan kami bukan milikmu Tuan.
Keperihanlah yang menyerap darah kami, hingga bayangan kami pun ragu tentang jalan ini.
Langit kian mendung, ketika bendera kita berkibar dengan nyeri. Angin membawa kenyerian ini
menusuk hati. Andai merah adalah tanah tumpah darah, seharusnyalah putih adalah kesucian yang
Tuan berikan tak hanya sekadar sebuah jubah.
2025
JALAN FANA YANG SELALU PATAH
Telah Kau lemparkan api di hati kami.
Jalan-jalan bagai perdu melilit kaki.
Menidurkan doa-doa yang menahan tangis.
“Kami tidaklah lupa pada Engkau”
Tapi ketika mata ini memandang, di situ, jalan seperti seribu simpang.
Lantas, tubuh kami bergetar dan hanyut dalam putaran jarum jam.
Entah, ke mana tubuh ini bakal terancah. Hingga keperihan ini menciptakan jejak pekat.
Kerinduan semakin membuncah. Mungkin menjadi kanak-kanak lebih berarti. Sebab kami tak
perlu belajar menenun sayap-sayap mimpi. Yang selalu patah sebelum terbang tinggi.
Hingga aku menyapaMu, mendzikirkan air mata. Di tengah malam yang gerhana. Dengan sujud
ke arah kiblat. Mencari sisa cinta dan kesunyian. Yang mungkin pernah hilang.
2025
Bionarasi:
Ngadi Nugroho, lahir di Semarang Juni 28. Sekarang lebih sering beraktivitas di Kota Kaliwungu
Seseorang yang menyukai sajak/puisi dan juga suka menulis sajak/puisi. Beberapa sajaknya pernah dimuat di media massa online dan majalah. Juga beberapa buku antologi bersama. Bisa disapa lewat email: ng.adinugroho81@gmail.com