Akhirnya aku punya kesempatan pulang ke kampung halaman setelah bertahun-tahun merantau. Aku merasa menjadi orang penting ketika semua orang di kantor ikut mengantar, termasuk Tuan Lee, bosku yang orang Malaysia. Sungguh membuat bangga karena ternyata mereka tidak seperti yang aku duga selama ini.
Aku bergegas naik kereta malam. Sepi. Sebagian penumpang langsung tidur setelah roda kereta bergerak. Bersembunyi di balik selimut tebal. Sisanya sibuk memainkan gadget. Mungkin menghubungi orang-orang terkasih yang ditinggalkan. Atau mengabari seseorang yang akan ditemui di ujung perjalanan.
Selintas keinginan itu muncul. Namun buru-buru aku menepis. Aku ingin membuat kejutan. Sudah 5 tahun lebih aku tidak pulang. Mungkin ada yang mengira aku sudah lupa pada kampung halaman. Padahal aku selalu terkenang bau lumpur sawah, lenguh kerbau milik ayah dan juga jejerit burung prenjak di kebun samping rumah.
Aku kadang tersenyum sendiri jika mengingat hal itu. Sudut-sudut benua yang aku singgahi selama ini tidak ada yang mampu menyihirku untuk melupakan jalan setapak di belakang rumah. Saat malam minggu tiba, aku akan setia menyusurinya, tidak peduli cipratan lumpur sehabis hujan. Bukankah aku sudah berjanji akan merenangi lautan api agar dapat melihat senyum Narti di ujung jalan? Apalagi sekedar jalan becek, tekadku saat itu.
Narti pasti akan terkejut melihatku. Dan entah mengapa aku merasa senang. Terlebih jika sampai ngambek karena selama ini aku tidak pernah berkirim kabar. Bau tubuh Narti selalu menggoda kala sedang gundah. Dan aku suka itu.
Setelah menarik selimut, aku berusaha memejamkan mata. Seketika seribu bayangan menumpuk, seolah berebut ingin hadir duluan di layar ingatan. Aku tidak jadi memejamkan mata. Berusaha menikmati putaran roda kereta. Deritnya nyaris tak terdengar. Padahal aku ingin sekali mendengar dan merasakan seperti tahun-tahun lalu saat meninggalkan kampung halaman.
Aku juga baru sadar tidak ada lalu-lalang penjual makanan. Tidak terdengar lagi suara parau anak-anak yang dipaksa melek hingga larut untuk mengais rejeki di atas kereta. Tidak ada lagi jeritan masgul pengemis yang salah masuk gerbong tanpa menerima sedekah sehingga mengambil dompet penumpang yang tertidur sebelum kemudian dipukuli oleh orang-orang yang tadi menyembunyikan tangan seolah takut tertular bakteri yang menempel di batok pengemis.
Ke mana mereka semua? Aku mendadak merasa cengeng. Memang aku pernah mendengar tentang perubahan ini. Kereta, juga angkutan umum lainnya, sekarang sudah nyaman, tanpa gangguan. Gangguan? Mendadak aku ingin tertawa. Jika yang dimaksud hama wereng, tikus dan sebangsanya yang merusak tanaman, aku setuju itu disebut gangguan. Sebab dampaknya sanggup membunuh satu kaum yang kelaparan.
Tetapi pengemis, pedagang asongan, apakah juga gangguan? Siapa yang merasa terganggu? Orang-orang kaya? Cerdik pandai? Pejabat pemerintah? Militer?
Aih! Sebersit doa aku panjatkan untuk mereka; para pengemis, tukang copet, dan pedagang asongan, yang katanya tidak bisa lagi masuk stasiun, apalagi naik ke kereta. Semoga mereka di luar sana mereka tidak lagi menjadi warga pengganggu orang-orang kaya.
Kereta berhenti di Stasiun C. Neon menerangi gerai roti dengan merek yang pernah aku jumpai saat menepi di salah satu sudut benua. Pelayannya cantik-cantik, tidak kumal dan parau.
Menjelang pergantian malam, kereta berhenti di Stasiun P. Aku turun dan langsung naik ojek yang pengemudinya tengah terkantuk-kantuk. Hanya dia yang tidak memegang gadget sehingga aku tidak harus pesan secara online. Tadi aku sempat dengar beberapa orang meributkan pesanan kendaraan dari gadget. Aku takjub karena tidak paham. Aku rindu pengojek yang berebut dengan tukang becak di mulut stasiun yang sialnya tidak aku temukan lagi. Mungkin mereka juga sudah dilarang masuk karena tubuhnya yang bau sengak.
Motor melaju dengan kecepatan tinggi. Aku diam menikmati semilir angin. Udara kaki pegunungan membawa anganku kembali ke masa kanak-kanak. Aku masih mengingat dengan baik setiap lekuk jalan menuju kampungku.
Tiba di mulut kampung aku turun. Pengojek pergi begitu saja. Aku teriaki karena belum membayar. Tetapi dia terus melaju seolah tidak merasa telah membawa penumpang.
Aku berjalan beberapa meter. Di depan rumahku tampak beberapa orang tengah berkerumun. Seperti menunggu sesuatu. Menungguku? Ah, tidak mungkin. Bukankah aku tidak memberi kabar?
Aku berbelok ke jalan kecil menuju samping rumahku. Tidak banyak perubahan. Atau mungkin aku tidak melihatnya karena gelap. Ternyata di dalam rumah juga banyak orang. Wah, sepertinya mereka benar-benar sudah tahu aku akan pulang. Mungkin bosku yang memberitahu. Aku semakin merasa bangga punya bos seperti Tuan Lee.
Aku berjinjit masuk melalui dapur. Ingin memberi kejutan pada ibu. Tidak ada yang melihatku. Aku tersenyum ketika beranjak ke ruang tengah karena misiku untuk mengejutkan ibu berhasil. Namun langkahku terhenti ketika melihat Ibu sedang menangis. Sementara Bapak diam terpaku di kursi depan pintu.
Narti? Mengapa dia juga menangis? Bukankah mestinya menangis setelah kami bertemu, berpelukan melepas rindu seperti di film-film? Aku bayangkan Narti akan marah karena aku pulang tanpa memberi kabar. Bau tubuhnya saat ia marah benar-benar aku rindukan.
Aku mengesot mendekati ibu. “Bu, ini aku, Narto,” bisikku.
Ibu menoleh tanpa menjawab. Tangisnya semakin kencang. Aku peluk sambil memijit tengkuknya. Ibu pernah bilang, semarah apa pun padaku, hatinya langsung luluh ketika aku pijit tengkuknya.
Namun kali ini ibu tetap menangis. Aku mulai bingung. Perlahan aku bergeser ke Narti. Aku bisikan sesuatu yang pasti diingatnya. Ya, sebelum aku pergi, kami sudah sepakat menentukan waktu untuk pergi bulan madu yang belum sempat terlaksana karena aku mendadak mendapat panggilan kerja. Saat itu aku bilang dua tahun, tapi Narti menawar setahun.
“Kalau begitu 5 tahun saja,” kataku yang langsung disambut gemeretak giginya.
Namun bisikan paling berkesan pun tidak diindahkan. Narti terus menangis. Perempuan kecil mirip Narti tampak tertidur di pangkuannya.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan. Narti bangun. Demikian juga Bapak dan Ibu. Kegaduhan berasal dari luar ketika mobil masuk halaman.
“Jenasah Narto sudah tiba,” ujar seseorang.
Aku terbengong memandang peti mati diturunkan dari mobil ambulan. Siapa yang mati? Narto? Benarkah aku sudah mati?
“Kita langsung makamkan saja karena menurut petugas, jenasahnya sudah dimandikan dan disholatkan.”
Ibu meraung-raung. Narti pingsan. Bapak tampak memeluk peti tanpa suara. Hanya bahunya yang terguncang.
“Perusahaannya memang kejam. Narto sudah kerja 5 tahun lebih di tengah laut, belum pernah terima gaji. Bahkan kirim kabar saja tidak boleh. Untung ada operasi gabungan di laut sehingga ditemukan jasadnya. Kalau tidak ada operasi, jasadnya pasti sudah dibuang ke laut seperti yang lain.”
Aku ingin sekali membantah keterangan Mas Put, kakak sulungku. Tetapi jejerit ibu yang baru sadar dari pingsannya, membuatku semakin trenyuh.
“Kenapa kowe lunga disit, To! Mbok gawa Ibu sekalian!”
Aku ingin sekali memijit tengkuk ibu untuk menenangkan hatinya. Tetapi ibu tidak bisa merasakan lagi pijitan tanganku. Maafkan aku, Ibu.
Jakarta, 22 November 2020