TAK kusangka bahwa aku telah berjalan jauh setelah hari-hari sebelumnya aku bagai musafir, tanpa tujuan yang pasti. Banyak kejadian yang aku alami dalam perjalanan ini. Bahkan, kejadian-kejadian yang tak sempat aku ingat kembali selama perjalananku; yang entah kemana maunya.
Aku terus saja melangkahkan kakiku, melangkahkan kakiku, melangkahkan kakiku – hingga kenangan berderet-deret, menggumpal, memeram dan

landas dalam kubangan tubuhku, memanggil-manggil namaku dan memaksa telingaku serta hati nuraniku untuk merekamnya dan terus merekamnya. Aku pun terbang tinggi, melayang-layang jauh di angkasa. Terlempar ke ruang-ruang hampa. Terguling dan merasakan sakit yang dahsyat. Kini tubuhku berada di sebuah kota bernama Jakarta. Kota metropolitan, sekaligus megapolitan. Aku pun terpuruk di antara jalan-jalan berliku, dan gedung-gedung pencakar langit. Terbaring di hotel, motel, swalayan dan museum. Terbanting dalam kemacetan jalan raya, kepadatan penduduk dan lorong-lorong rawan.

“Apakah yang engkau cari di sini, Rini?” Seseorang bertanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu, sungguh, membuat batinku terguncang. Pertanyaan yang mendesak jiwaku untuk berontak, menghindar dari badai dan guncangan di masa lalu.

“Apa sesungguhnya yang kamu cari?” Kembali desaknya.

“Kegaiban. Ya, kegaiban!” jawabku.

Orang tersebut terperangah. Diamatinya wajahku dan seluruh tubuhku, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Diamatinya lekuk-liku tubuhku.
“Kau mau jadi apa hidup di kota yang padat, sesak serta bising ini?”

“Tak tahu. Tak tahu. Aku tak tahu apa yang mesti aku perbuat!” kataku kemudian, “Aku tak tahu apa yang mesti aku kerjakan di kota ini. Untuk saat ini, bahkan di saat nanti. Tapi aku bertekad untuk terus hidup. Menjalani segala beban yang menumpuk.”

“Jawabanmu terlalu konyol, Rini. Itu hanya retorikamu saja. Seharusnya kamu mampu mempertimbangkan segala sesuatu yang akan kamu kerjakan. Dengan persiapan yang matang kelak kamu akan memiliki prinsip dan pandangan hidup. Nah prinsip dan pandangan hidup itulah yang akan membuatmu menjadi manusia. Ingat, kamu hanya seorang perempuan yang hidup dari masa lalu dan akan kau jejaki masa depanmu…”

“Aku paham. Tapi aku tak dapat melakukannya. Aku butuh instropeksi. Aku butuh ketenangan!”

***

Esok harinya, dan esok harinya. Lusa. Minggu depan. Bulan depan, dan hari-hari selanjutnya, apakah aku akan terus begini? Hidup tak keruan? Pertanyaan-pertanyaan terasa asing masih melingkar-lingkar dalam pikiranku. Siang ke malam, dan kembali ke siang, terus ke malam – tak henti-henti. Tak pernah berhent. Aku berbaring dan tertidur. Terkadang tubuhku tanpa kusadari ada di emper pertokoan, di atas batu-batu dan keramik dalam taman, di antara bangsal rumah sakit yang menunggu keluarganya terbaring di ruang unit gawat darurat, di dalam mesjid, di ruang tamu pos jaga kantor polisi, di stasiun kereta api. Aku lakukan hari-hariku bertahun-tahun tanpa pernah aku pikirkan akan jadi apa aku kelak.

Malam berkubang dingin. Jika datang mendung, gerimis dan hujan – dunia terasa bagai kiamat kecil. Tapi perjalanan hidup tak pernah henti. Perjalanan hidup bagai liku-liku. Meskipun dengan keterpaksaan yang amat berat aku tertidur juga di antara cahaya lampu 5 watt, tanpa selimut, tanpa ada sekat antara dinding dan ruang terbuka. Tapi mimpi itu datang lagi. Ya, aku benar-benar sedang bermimpi.

Salah seorang pertugas jaga membangunkanku. Menepuk-nepuk bahuku dengan tangannya. Awalnya dia sangat sopan. Tapi karena kantuk menderu, aku hanya sepintas membuka mataku dan menatapnya sejenak. Tapi kemudian dia mengusirku pergi malam itu. Aku pindah ke ruang yang tak jauh dari lokasi, dan kembali aku tertidur. Kucari sudut yang bakal mengistirahatkan tubuhku, meskipun hanya sementara waktu. Semoga aku dapat mengulang mimpi-mimpi indahku. Tapi, ya tetapi kembali aku dibangunkan seseorang. Tubuhnya tam[ak kekar dan besar. Matanya agak memerah. Ia memperlihatkan gigi-giginya yang besar serta suara gemeretuk di dalam mulutnya. O, aku diusirnya tanpa ada rasa kasihan. Dengan kembali terpaksa aku pindah ke tempat yang tak jauh dari pembuangan sampah. Di sana ada sebuah gubuk dengan dinding kayu agak keropos serta genting yang tampak pudar. Yang menjengkelkan dan bikin muak tentulah bau tak sedap yang keluar dari tanah-tanah basah dan lembab, sisa kotoran yang dibuang warga. Baunya sangat bikin aku mau muntah. Antara sisa nasi dan sayuran basi, antara kornet dan bangkai anjing. Tapi apa boleh buat. Semua orang tak bersahabat. Tuhan pun marah padaku.

Belum lama pulas kembali aku dibangunkan seseorang, dan aku diusirnya dengan kalimat sumpah serapah. Dari mulutnya menghembus bau alkohol yang bikin aku muntah. Aku ingin menjerit, tapi tak mampu. Aku berdoa, tapi doaku hanya retorika yang tak jelas yang selalu terbang tinggi dibawa angin dan kabut.

Kini aku merasakan tidur yang amat indah. Aku benar-benar terlelap. Terbawa mimpi dan bayangan. Kedua mataku terlahan terbuka. Di hadapanku berdiri tegak seorang lelaki paruh baya, bersarung dan berkopiah, menyapaku dengan perlahan dan amat hati-hati. Oh, ternyata aku tertidur tak jauh dari halaman sebuah masjid. Ya, aku hapal benar dengan nama masjid ini. Ada yang bikin aku terkejut tatkala lelaki paruh baya itu berkata, “Maaf, saya telah memindahkan Saudari dari tempat yang menurut saya tak lazim Saudari tiduri. Saya mengamati, kamu seperti sedang gelisah. Makanya saya bersama merbot di masjid ini coba angkat dan pindahkan tubuh kamu dengan perlahan dan sangat hati-hati…”

Entah, siapa yang dia maksud dengan merbot? Aku belum melihat orang lain selain dia. Apakah dia malaikat penolong jiwaku? Malaikat penolong? Lama aku mengamati tubuhnya serta mencermati ucapan-ucapannya.

“Kau kah itu?” tanyaku dalam hati dengan amat terbata.

***

Tak hanya berhenti pada mimpi pertama. Di hari-hari lain aku pernah bermimpi dengan suasana mencekam. Kudengar suara tangisan bayi-bayi hingga merasuki gendang telingaku. Bayi-bayi itu merintih, berteriak-teriak dengan suafra khas bayi, menangis, merangkak, berteriak, menangis, merangkak. Terus begitu. Salah seorang bayi merangkak tertatih mendekatiku dan berusaha menggapai tubuhku. Kudengar jerit tangisnya. Miris! Aku mendengar ia memanggil namaku pelan, “Ibu!” Aku terperangah. Sungguh bayi ajaib, kataku. Mula-mula tangisnya kencang, tapi setelah salah satu tangannya menggapai kutang, setelah mulutnya melekat di puting tetekku – ia mendadak ia terdiam.

“Siapa namamu?” tanyaku, seolah ingin bercakap dengan bayi itu lebih lama. Ini aneh bin ajaib, kenapa aku mampu bercakap dengan seorang bayi?
“Apakah kamu ingin mendapatkan kebahagiaan?” tanyaku.

Bayi mungil itu hanya membuka matanya dan tajam memandang mataku. Mungkin ia sedang merasakan kehangatan tubuhku, serta sedang menikmati air susu yang keluar dari tetekku. Bayi itu sangat serius dan sungguh-sungguh merasakan kenikmatannya. Begitu pula ketika kutanya, “Siapa namamu?” Ia tak juga menjawab. Hanya sesekali matanya melirik ke wajahku.

“Hei, matamu tampak tajam dan mengerikan?” Dan anak itu tak peduli dengan ucapanku. Namun belum selesai ia menikmati putingku, tiba-tiba bermunculan bayi-bayi lain. Mereka mendekatiku. Mulanya suara mereka pelan dan samar-samar, tapi lambat laun suara mereka membesar. Sontak mereka merangkak menghampiriku, menangis, menggapai tubuhku. Menangis kembali. Kuterima mereka dengan ikhlas. Mereka adalah anugerah. Anak-anak dari sorga. Anak-anak titipan Tuhan.

“Aku heran, kenapa kalian sangat napsu ingin menguasai tubuhku tanpa mengerti siapa aku? Aku Rini. Aku hanya seorang wanita pengelanan yang tak pastinya tak berguna bagi kalian. Berapa harga air susuku jika dibanding air susu ibu kalian yang telah melahirkan dan memelihara kalian?”

***

Tak berapa lama kembali aku tertidur. Kembali mimpi-mimpi itu menggelayuti tubuhku. Mulanya kuanggap sebagai hal yang biasa. Wajar. Tapi lama-lama aku merasakan seperti ada mukjizat. Gaib. Kemukjizatan dan kegaiban tersebut benar-benar telah memukul batinku. Aku terlempar jauh, jauh sekali. Melayang jauh, jauh sekali. O dunia, kini aku terasa berada di angkasa dalam gumpalan awan tebal. Mungki kah aku akan mencapai langit yang jauh?

***

“Apa sesungguhnya yang kamu cari, Rini?” Seseorang bertanya.

Aku terbengong. Terkesima.

“Apakah yang kamu cari?”

Pertanyaan itu tambah bikin gaduh.

“Kegaiban! Ya, kegaiban!”

Orang tersebut memandangku dengan tatapan matanya tajam. Tajam. Lebih tajam dari sebilah pedang. Aku terdiam ketika ia menghampiriku. Dan kembali aku terkesima saat dia memerintahkanku membuka pakaianku. Setelah itu ia pergi meninggalkanku seorang diri. Tapi tak lama kemudian ia sudah kembali membawa sepaket pakaian, dan disodorkannya sepaket pakaian itu padaku. Tak kusangka dengan agak malu orang itu memalingkan mukanya. Apakah ini yang dinamakan kegaiban? Aku tak tahu. Ia sangat misterius. Dan aku menduga dengan kemungkinan-kemungkinan.

O, aku kini merasa nyaman dengan dandanan seperti ini. Kau lihat, tubuhku meliuk-liuk seperti seorang penari yang memperlihatkan keindahan-keindahan. Aku memanggilnya dengan, entah siapa.

Orang itu membalikkan tubuhnya. Menatapku.

“Terima kasih,” kataku perlahan sambal menundukkan kepalaku.

Belum sempat aku mendengar jawabannnya, ia sontak menghilang. Entah ke mana. Aku benar-benar dibuatnya penasaran. Aku mencarinya dan terus mencarinya. Tapi tak pernah kulihat lagi ke mana jejak kakinya.

***

Seseorang telah membangunkan tidurku. Dia memandangku. Aku langsung saja menebak,

“Kau kah itu?”

Tatapannya tajam ke arahku. Rasanya aku tak pernah mengenalnya. Tidak. Ia bukan orang yang kucari. Rasanya orang ini sangat berbeda perangainya dengan orang yang sedang kucari.

Tapi aku luluh juga oleh tatapannya. Oleh pandangannya yang tajam. Aku benar-benar tak berani memandangnya. Sungguh, aku tak berani bertanya lebih jauh. Bahkan ketika dia bertanya, “Siapa namamu?”

“Rini. Aku Rini. Panggil saja aku Rini.”

Orang itu tersenyum. Senyumnya rasanya sangat menakutkan. Firasatku makin ganjil. Bahkan tatkala ia mendekatiku. Menggenggam tanganku. Aneh. Sedikit pun aku tak berani berontak. Begitu pula ketika ia mengajakku berjalan ke tempat yang cukup rawan. Seenaknya tangan kanannya menggapai pinggulku, bahkan meraba-raba sebagian tubuhku.

Kuamati sekeliling. O, gelap dan gelap!

Sekejap aku tak sadarkan diri. Barangkali ia telah menghipnotisku untuk kemudian menguasai tubuhku. Dan aku kini dalam keadaan terbaring di atas rumputan. Ketika sadar mataku menatap sekaliling. Sepasang manusia sedang berciuman di antara semak belukar. Kembali aku ternganga. Orang yang menjamahku kini telah tiada. Namun, tiba-tiba aku merasakan sakit yang amat perih di sebagian selangkanganku. Aku meronta. Berteriak. Namun tak seorang pun mendengar teriakkanku.

***

Kini aku makin menyadari siapa aku sesungguhnya.

Ini Jakarta, kota megapolitan!” katanya.

Oh Tuhan…

Aku menangis dan terus menangis. Aku terperangkap dalam ketololan dan kebodohanku sendiri. Tiba-tiba aku teringat anakku yang telah pergi, entah kemana. Ya, aku juga teringat ucapan suamiku terakhir kali yang kudengar.

“Kamu perempuan laknat! Kamu sudah gila! Hiduplah kamu di rumah sakit jiwa!”

Kulihat suamiku mengeluarkan koper besar dan memasukkan sebagian pakaiannya ke dalam koper. Anakku menangis dekat pintu. Demikian juga aku, menangis sesungguk di atas kursi. Suamiku menarik tangan anakku. Mereka pergi meninggalkan aku seorang diri.

Keesokkan harinya, aku mencoba mencarinya. Terus mencarinya. Lama aku berjalan. Terus berjalan. Tapi Jakarta yang sangar telah membawaku ke dunia lain. Ya Tuhan, apakah aku benar-benar telah gila? Tanyaku tak habis kumengerti.

“Aku Rini. Ya, aku Rini!”

Tak kusadari siapa aku. Sungguh.

Guntur, 1987/1990/2022

Bagikan ke Media Sosial

Hubungi Admin Jika Ingin Meng-copy Konten Website ini