Oleh: Rissa Churria*
PojokTIM – Nanang R. Supriyatin, seorang penyair dengan sensitivitas mendalam terhadap ruang dan waktu. Melalui buku antologi berjudul Ruang Dalam Puisi, Nanang menghadirkan karya yang mengajak pembaca untuk menyelami makna ruang dalam perspektif sastra. Buku ini tidak hanya menyajikan ruang sebagai elemen fisik, tetapi juga menggambarkan ruang sebagai konsep abstrak yang mewakili berbagai lapisan pengalaman, perasaan, dan interpretasi kehidupan.
Di tangan Nanang, ruang menjadi metafora untuk untuk hal-hal seperti keterasingan, kehampaan batin, batas-batas sosial, hingga kehangatan cinta dan rasa. Melalui pendekatan ini, Nanang memberikan tafsir ruang yang lebih personal dan kaya makna, menggambarkan pengalaman manusia yang kompleks.
Puisi-puisi dalam buku ini diorganisasi menggunakan judul yang sangat unik, berupa kode numerik seperti i/ hingga lxii/ (1 hingga 62). Penggunaan kode sebagai judul bukanlah tanpa alasan. Nanang memberikan ruang kepada pembaca untuk menafsirkan setiap bait puisi tanpa dipengaruhi oleh petunjuk eksplisit dari judul. Hal ini membuka peluang bagi pembaca untuk terlibat lebih dalam dalam pencarian makna, menggali setiap lapisan interpretasi dari ruang-ruang yang diciptakan oleh Nanang.
Kejernihan Diksi dan Kedalaman Makna
Salah satu daya tarik utama Ruang Dalam Puisi adalah kejernihan diksi yang digunakan Nanang, yang tampak sederhana tetapi menyimpan makna mendalam. Keunikan buku ini terletak pada penggunaan judul yang hanya berupa kode, memberikan kesan misterius dan memaksa pembaca untuk menafsirkan sendiri makna di balik setiap bait. Judul minimalis ini memungkinkan setiap puisi berdiri sendiri sebagai ruang yang terbuka untuk interpretasi, menjadikannya tempat bagi pengalaman personal pembaca.
Misalnya, puisi ii/ (2) menawarkan refleksi tentang tubuh dan eksistensi:
hidup hanya sekali, sayangku
cintai tubuhmu yang kurus itu
seperti kau cintai puisi
kau puja siang dan malam
mimpi-mimpi terbakar
di setiap tidurmu
pada perutmu yang kosong
cacing-cacing berkeliaran
menggerogoti kulitmu
hidup hanya sekali
jangan kau bunuh tubuhmu
dengan keliaran dan kedunguanmu itu!
Puisi ini menggambarkan tubuh manusia sebagai ruang yang rapuh, di mana rasa sakit fisik dan emosional bercampur menjadi satu. Tubuh yang digambarkan kurus dan lapar menjadi simbol penderitaan, sedangkan nasihat untuk mencintai tubuh tersebut menyiratkan kepedulian terhadap jiwa yang tak boleh disia-siakan.
Ruang dan Pengalaman Batin
Tema kuat dalam buku ini adalah representasi ruang sebagai pengalaman batin. Banyak puisi menggambarkan individu yang terisolasi dalam ruang batin yang penuh kesepian, keresahan, atau pencarian makna. Namun, ada juga ruang yang dipenuhi cinta dan harapan, memberikan keseimbangan antara kegelapan dan cahaya. Contohnya dalam puisi vi/ (62):
hamparan laut, menara api
o, puncak asmara!
adakah sepiku di sana?
batin gelisah bagai teraniaya!
Hamparan laut dan menara api menjadi simbol kesepian yang tak terhindarkan, seolah menggambarkan bahwa di puncak asmara sekalipun, rasa sepi dan teraniaya tetap ada. Melalui puisi ini, Nanang menunjukkan bagaimana cinta dan kesepian bisa saling berkaitan dan saling bertentangan.
Ruang Sosial dan Identitas Kolektif
Selain ruang batin, Nanang juga mengeksplorasi ruang sosial yang menjadi arena bagi individu untuk berinteraksi dengan orang lain dan dunia luar. Puisi xxix/ (30) memperlihatkan bagaimana ruang sosial mempengaruhi cara manusia memahami hidup dan mati:
sebuah lagu lama kembali hadir
memecahkan kesunyian yang panjang
bertahun-tahun mengembara. Aku kembali
ke ruang-ruang yang tak kukenal
sunyi yang mengingatkan pada kematian
: hidup, dan kembali mati
seperti permainan kartu. Aku membaca
raja-mu, engkau membunuh as-ku!
Di sini, Nanang menggunakan metafora permainan kartu untuk menggambarkan siklus kehidupan dan kematian. Sunyi yang dihadirkan dalam puisi ini adalah sunyi yang mengingatkan manusia akan kefanaan hidup, di mana kita, seperti dalam permainan, selalu berhadapan dengan kematian sebagai kekuatan yang tak terhindarkan.
Selain ruang batin dan sosial, Nanang juga menggambarkan ruang sejarah dalam puisi-puisinya. Dalam puisi xliv/ (45), misalnya, ia memuliakan puisi sebagai entitas yang abadi:
sejarah yang terpuruk,
dan yang bangkit
manuskrip yang tertata
dan terjaga
ucapkan selamat ulang tahun
bagi puisi yang tak pernah mati
Katanya!
Puisi ini seolah merayakan kekuatan puisi yang mampu melampaui batas-batas waktu dan sejarah. Bahkan ketika sejarah terpuruk dan bangkit kembali, puisi tetap menjadi entitas yang tak pernah mati, terus hidup dan berfungsi sebagai saksi zaman. Dalam konteks ini, puisi adalah ruang sejarah yang hidup dan terus memberikan makna bagi generasi berikutnya.
Melalui Ruang dalam Puisi, Nanang R. Supriyatin berhasil menciptakan ruang-ruang yang mengajak pembaca untuk merenungkan makna dalam kehidupan mereka. Dengan menggunakan kode minimalis sebagai judul puisi, ia membebaskan pembaca dari pengaruh interpretasi awal, sehingga setiap puisi menjadi ruang terbuka untuk makna yang lebih dalam. Karya ini tidak hanya menghadirkan estetika puisi yang indah, tetapi juga menyentuh lapisan-lapisan terdalam dari pengalaman batin dan sosial manusia.
Nanang menggambarkan ruang sebagai medium yang melintasi berbagai dimensi: dari batin yang sunyi, ruang sosial yang penuh interaksi, hingga ruang sejarah yang kekal. Dengan begitu, Ruang dalam Puisi menjadi kontribusi berharga dalam dunia sastra Indonesia, memperkaya khazanah perpuisian dengan refleksi mendalam tentang hidup, cinta, kesepian, dan kematian. Buku ini adalah sebuah karya yang tak hanya menginspirasi, tetapi juga patut dikenang dalam perjalanan sastra Indonesia.
—–
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 7 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.