Prof Asvi Warman Adam. Foto: PojokTIM
PojokTIM – Seandainya tidak ada kritik terhadap rancangan atau konsep penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang dibuat Kementerian Kebudayaan, maka niscaya pada 17 Agustus 2025 sudah terbit buku yang akan melegitimasi rezim penguasa serta mengukuhkan narasi kebangkitan kembali Orde Baru. Ini terkesan dari target penerbitan buku serta skenario pengangkatan mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional pada November 2025, yang seakan satu paket.
Demikian disampaikan sejarawan senior Asvi Warman Adam dalam acara bertajuk Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana yang digelar Akademi Jakarta (AJ) di Teater Kecil, kompleks Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Dalam makalah berjudul Dari Polemik Kebudayaan Sampai ke Polemik Sejarah, Asvi mengakui tidak ada proses ideal dalam penulisan ulang sejarah. Namun demikian mantan Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu berpendapat, lebih bagus penulisan sejarah dengan anggaran pemerintah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tidak tergesa-gesa dan dilaksanakan secara rutin sebagai program tahunan Direktorat Sejarah dan Permuseuman.
“(Dengan cara) itu maka akan dapat membantah jika penulisan ulang sejarah memiliki tujuan tertentu, untuk kepentingan tertentu,” tegas Asvi.
Selain penulisan ulang SNI, Asvi menyoroti 3 poin penting dalam rancangan penulisan ulang SNI yang penerbitannya telah ditunda. Pertama tentang upaya pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto. Padahal proses hukum perdata terhadap Yayasan Supersemar, yang diketahui sebagai yayasan milik keluarga Cendana, belum sepenuhnya dilaksanakan.
“Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung menggugat Bapak Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat. Hasilnya, pengadilan melalui berbagai putusan, dari Pengadilan Negeri sampai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 2015, menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan amar putusan mengharuskan Yayasan Supersemar membayar kerugian kepada negara, yang sebagian sudah dibayarkan,” ujar Asvi.
Pengangkatan pahlawan nasional, menurut Asvi, mestinya bukan tokoh yang kontroversial, apalagi masih ada pro-kontra yang besar. Terlebih Presiden Prabowo Subianto sudah tegas mencanangkan gerakan anti-korupsi dalam pemerintahannya, sehingga pahlawan nasional mendatang sebaiknya yang sejalan dengan semangat itu.
Kedua, terkait Keputusan Menteri Kebudayaan No 162/M/2025 tertanggal 7 Juli 2025 yang menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan. Tanggal 17 Oktober dipilih sesuai Keputusan Pemerintah tentang Lambang Negara Republik Indonesia No 66 tertanggal 17 Oktober 1951. Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dianggap memiliki nilai historis dan strategis dalam perjalanan budaya bangsa.
Namun penetapan itu mendapat penolakan dari sejumlah pihak karena dinilai sarat dengan kepentingan politik di mana 17 Oktober (tahun 1951) merupakan tanggal kelahiran Presiden Prabowo. Terlebih pada tanggal itu, tepatnya pada 17 Oktober 1952, moncong meriam tertuju ke Istana sehingga kemudian terjadi debat panas antara Presiden Soekarno dengan beberapa perwira militer yang berujung kepada penonaktifan Jenderal Nasution sebagai KSAD.
Bila tanggal 17 Oktober tetap dipertahankan maka seyogyanya itu bukan Hari Kebudayaan melainkan Hari Lambang Negara Garuda Pancasila yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Pemerintah No 66 tertanggal 17 Oktober 1951.
“Tetapi yang terpenting, apakah penetapan hari besar merupakan kewenangan menteri, bukan presiden seperti saat penetapan Hari Buruh dan hari-hari nasional lainnya,” gugat Asvi.
Ketiga, terkait wacana untuk menjadikan Margono Djojohadikusumo sebagai Bapak Koperasi seperti disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam acara peluncuran sebuah buku di Jakarta tanggal 9 Agustus 2025. Padahal pada kongres koperasi kedua di Bandung tanggal 15-17 Juli 1953, Bung Hatta telah disebut sebagai Bapak Koperasi. Sebelumnya tanggal 12 Juli 1951 Hatta berpidato soal koperasi sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme ekstrem.
“Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bahwa Margono Djojohadikusumo tepat disebut Bapak Koperasi, sementara Bung Hatta menjadi Bapak Ekonomi Kerakyatan. Kalau begitu apakah terjadi “reshuffle” gelar,” ujar Asvi dengan nada sarkasme.
Sebelum mengkritisi rekayasa sejarah oleh Orde Baru dan berbagai upaya “pelurusan sejarah” oleh rezim sekarang, Asvi memaparkan tentang pedebatan-perdebatan panjang dalam sejarah Indonesia. Polemik itu terjadi antar tokoh-tokoh kebangsaan tanpa campur tangan negara, seperti STA dengan Djamaluddin Adinegoro dan STA dengan Muhammad Yamin.
“Ada adagium populer, sejarah ditulis oleh pemenang. Ternyata sejarah itu bukan hanya ditulis, tetapi juga dikuasai sepenuhnya,” tutup Asvi.
Sebelumnya, saat membuka acara yang dihadiri sejumlah seniman dan sastrawan itu, Ketua AJ Seno Gumira Ajidarma mengatakan pelaku sejarah yang berkuasa, berpeluang mengendalikan jalannya sejarah, termasuk dalam artinya yang sempit, yakni menghapus dan menuliskan kembali sejarah, demi citra pelaku sejarah tersebut, dalam keterbacaan sejarah pada masa yang akan datang.
“Suatu keadaan yang potensial bagi meruaknya polemik dan kontroversi sejarah,” ujar mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang juga dikenal sebagai cerpenis.