Puisi-Puisi Edgar El-Rumi
KOTA. KATA. KITA
Kota-kota menua. Kata kita menua. Kita-kita menua. Cinta kita berbunga di pekarangan kata. Di antara sejarah tua yang tak tau mana benar dalam bahasa. Sementara kita menjelma pembaca. Mencoba mengeja dan meraba segala yang dihaturkan indra.
Darah mengalir deras dalam degup sejarah. Rintihan, tangis, amis pesakitan, dibasuh paksa desah tawa dan candaan. Segala yang bacin, segala yang licin, semua terpilin. Segala yang basah, segala yang resah, semua terbasuh. Hong! Ada, tiada, mengada. Cambuk-menumbuk-rusuk-budak-terpuruk-busuk.
Orang-orang datang, Orang-orang pergi, kota-kota mati. Orang-orang hidup, Orang-orang mati, Alam-tubuh kembali. Apakah dinamis adalah menukar bengis historis dalam selembar karcis di antar blus dan gamis kita yang necis? Siapa mampu menanggung busung tamak yang terpasung dalam panggung peradaban yang kadung biadab?
Jiwa?
Jakarta, 2024
KEMARAU BULAN JUNI
Tiada lagi hujan, tiada lagi basah
Parit di bawah matamu telah mengering
Malam-malam sunyi, legam gumam gelisah
Menjumpa hening di antara lolongan anjing
Kau memeluk dirimu di dalam celuk kabung
Yang kadung dirundung lalang lalu mendung
Rindu mengeja sunyi dalam puisi yang terbalik
Huruf-huruf berjatuhan, di pekarangan hati yang terik
Dipayungi bahasa bisu di antara batu-batu yang riak
Sembari mengulang mantra yang sembunyi dalam bisik
Waktu tak lagi melelehkan airmatamu yang melelahkan
Langit-langit telanjang, sunyi dalam kesepian
Kemarau datang, Juni menelan puisi liar
Haru merangkak di atas lantai yang terhampar
Di antara genangan dan kenangan, menanti kematian.
Bayang-bayang patah, harap berbisik, keheningan retak
Hari-hari terbakar, kau benam jantungmu merupa akar
Sembari mengais tangis yang telah kau ubah jadi arak
Jakarta, 2024
DI HADAPAN SUDIRMAN
Malam melambat. Rembulan memahat remang-remang binar kunang-kunang. Jejak yang hilang, menyerap bayang-bayang seperti memori usang. Serpihan kenangan bertaburan. Langkah memudar dalam udara, hilang dalam gelap.
Tangis tercecer di aspal. Kata-kata mengental. Sajak-sajak terurai, jadi debu di udara. Sengau angin memudar dalam langit tak berwarna. Beku. Bisu. Tak ada suara. Kecuali gema jarak yang menari dalam sunyi, menyusuri patahan waktu.
Dunia retak, Cikini hingga Setiabudi menyerupa serpihan kaca. Kau melangkah dalam luka, meraba tawa yang tersisa. Tak ada sisa-sisa, hanya desah angin menerobos celah rindu yang lindu. Menyisakan sunyi, mengisahkan sepi.
Pada waktu yang membeku, pada detik yang rapuh, kaki terus berjalan melewati lembah kesepian, di mana rindu merintih tanpa gema. Meski patah, meski hancur. Sekali lagi kau mencoba mengeja rasa yang berlalu. Di bawah rembulan yang terdiam, doamu merapal dendam yang tak terbaca.
Harapmu terhenti di persimpangan, jalan-jalan terlipat dalam sunyi. Kernyit dahi memancarkan keluh yang mencair jadi peluh. Amarah yang terbungkus rapat mencari jalan keluar dari dada yang tersesat. Di hadapan Sudirman kau meneriaki dirimu sendiri. Mencoba menari di atas sepi. Hingga jiwa bertanya
Apakah ini luka, rasa?
Jakarta, 2024
BIODATA
Edgar El-Rumi lahir di Jakarta, 25 Desember 1995. Sempat mengemban pendidikan tinggi di salah satu Universitas Negeri dan juga swasta di Yogyakarta. Saat ini aktif di komunitas literasi bernama Literaksy yang ia inisiasi sejak akhir tahun 2023. Buku kumpulan Puisinya yang berjudul “Menyeruput Cemas” dan antologi Puisinya yang berjudul “Menanak Puisi” terbit di tahun 2024. Selain aktif mengelola komunitas Literaksy, Edgar juga menyibukan diri menjadi penulis lepas di berbagai media cetak maupun online.